Pakubuwono IV menata kehidupan masyarakat dengan memasukkan ajaran Islam dan Kejawen. Bagaimana dia mengadapi tekanan VOC?
Setelah berbagai krisis melanda Tanah Jawa, mulai dari Geger Pacinan (1747), pecahnya Kerajan Mataram menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta (1755) dan Surakarta terpaksa dipecah lagi dengan munculnya Mangkunegaran (1757), keadaan di Kasunanan Surakarta pun mulai berubah secara drastis. Ini terutama berkat kepemimpinan Susuhunan Pakubuwana IV, yang mulai memerintah dari tahun 1788 sampai 1820. Ia disebut-sebut sebagai peletak dasar pendidikan budi pekerti masyarakat Jawa. Ia melakukan beberapa terobosan untuk memajukan agama Islam, seperti mengangkat para ulama dalam pemerintahannya. Karya besarnya adalah Serat Wulangreh, di mana ia mencoba memadukan antara ajaran Kejawen dengan Islam. Ia adalah guru Ronggowarsito, seorang pujangga Jawa terbesar yang telah menghasilkan puluhan serat, dan menjalin hubungan kekerabatan dengan Kiai Kasan Besari. Pengasuh pesantren Tegalsari, Ponorogo.
Pakubuwono IV dilahirkan di Surakarta tanggal 2 September 1768 dengan nama asli Raden Mas Subadya. Ia putra Pakubuwana III yang lahir dari permaisuri keturunan Sultan Demak yang bernama G.K.R. Kencana (Rr. Beruk). Ia naik tahta pada 29 September 1788, dalam usia 20 tahun. Ia dijuluki sebagai Sunan Bagus, karena naik tahta dalam usia muda dan berwajah tampan.
Boleh dikatakan, Pakubuwono IV adalah Muslim yang taat. Hal ini tampak dari pengangkatan sejumlah ulama dalam pemerintahan dan digesernya dominasi mistisisme yang sudah mapan di istana, dengan tetap memadukan ajaran Islam dan Kejawen. Dua ajaran yang, dalam pandangan dia, tidak harus dipertentangkan. Para ulama tersebut mendukung Pakubuwana IV untuk bebas dari VOC dan menjadikan Surakarta sebagai negeri paling utama di Jawa.
Tapi VOC rupanya tidak tinggal diam. Mereka pun bersekutu dengan Hamengkubuwana I dan Mangkunegara I untuk menghadapi Pakubuwana IV. Pada November 1790, mereka mengepung Keraton Surakarta. Dari dalam istana sendiri, para pejabat senior yang tersisih ikut menekan Pakubuwana IV agar menyingkirkan para penasihat rohaninya. Peristiwa ini disebut Pakepung.
Berbagai tekanan tersebut membuat Pakubuwono akhirnya menyerah. Pada tahun 1790 ia menyerahkan para penasihatnya yang terdiri dari para haji untuk dibuang VOC. Atas prakarsa VOC, maka Pakubuwana IV, Hamengkubuwana I, dan Mangkunegara I menandatangani perjanjian yang menegaskan bahwa kedaulatan Surakarta, Yogyakarta, dan Mangkunegaran adalah setara dan mereka dilarang untuk saling menaklukkan. Setelah itu kehidupan politik Pakubuwono IV selalu diwarnai ketegangan, baik dengan pemerintah Hindia Belanda yang mnggantikan VOC maupun dengan kum penjajah Inggris di bawah Gubernur Jenderal Thomas Raffless.
Pakubuwono IV meninggal di Surakarta pada 2 Oktober 1820, dan dimakamkan di Imogiri Yogyakarta, tempat peristirahatan terakhir raja-raja Mataram (Surakarta dan Yogyakarta).