Ramadan

Puasa Adalah Pusdiklat

Dalam tulisan sebelumnya yang berjudul “Puasa, Perisai Perang Kehidupan”, telah kami kutipkan uraian Al Ghazali perihal puasa sebagai membangun benteng atau perisai kehidupan. Mengapa? Karena dengan puasa maka secara lahiriah kita berlatih sabar dan kuat mengelola panca indera serta seluruh anggota tubuh agar menaati Gusti Allah dan tidak melakukan hal-hal yang dilarangNya, sekaligus membangun semangat kepedulian dan setiakawan kepada fakir miskin.

Secara batiniah, puasa akan melatih kita dalam mencegah cita-cita rendah dan fikiran keduniaan, mencegah hati dari apa-apa yang selain Allah, sejalan dengan firman Allah dalam hadis qudsi, “puasa itu untukKu”. Contoh kecil, jika kita memberikan sesuatu hadiah kepada seseorang atau menahan hak seseorang yang kebetulan berada dalam kewenangan kita, sudahkah itu dilakukan dengan niat dan semata-mata karena Allah, ataukah karena kita ingin dipuji dan dihargai orang lain termasuk si penerima hadiah, atau ingin sok kuasa dengan seribu satu alasan apalagi dendam dan sakit hati dalam hal menahan hak seseorang? Jika demikian, maka yang pertama disebut riya dan yang kedua disebut zalim. Keduanya boro-boro karena Allah, bahkan sebaliknya dibenci Allah.

Mengenai hikmah puasa, ulama ahli tafsir Muhammad Ali as-Sabuni dalam kitabnya Rawa’i al Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam nin Al-Qur’an (uraian yang menarik tentang tafsir ayat-ayat hukum di dalam Al Qur’an) juga menyatakan, sekurang-kurangnya ada empat hikmah puasa.

Pertama, sarana pendidikan agar bertakwa kepada Allah Swt, patuh pada perintahNya dan menghambakan diri kepadaNya. Kedua, pendidikan jiwa dengan melatih kesabaran serta tahan menghadapi segala penderitaan dalam menaati perintah-perintahNya. Ketiga, sarana menumbuhkan rasa kasih sayang, persaudaraan dan kesadaran menolong sesamanya, terutama orang-orang yang menderita dan kekurangan. Keempat, menanamkan pada diri kita rasa takwa kepada Gusti Allah dengan senantiasa melaksanakan perintahnya baik secara terang-terangan maupun tersembunyi, serta meninggalkan segala yang dilarangNya.

Dari berbagai uraian tentang hakikat puasa, kita dapat menyimpulkan bahwa puasa itu tiada lain adalah sebuah Pusdiklat, Pusat Pendidikan dan Latihan, atau kawah Candradimuka dalam kisah pewayangan. Setiap tahun selama sebulan penuh, Allah Swt memberikan kesempatan kepada hamba-hambaNya untuk menyegarkan serta meningkatkan potensi dirinya melalui Pusdiklat Ramadan, sekaligus juga melakukan mawas diri dan memperkuat perisai diri yang akan digunakan dalam Perang Kehidupan sebelas bulan kemudian.


Demikianlah sahabat-sahabatku, puasa itu memang bukan tujuan, bukan terminal akhir, melainkan sarana. Sarana guna mewujudkan atau meraih hikmah sebagaimana yang diuraikan guru kita Al Ghazali dan Muhammad Ali as-Sabuni tadi. Karena itu marilah kita camkan sungguh-sungguh sabda Kanjeng Nabi Muhammad Saw. ini, “Banyak orang yang berpuasa tetapi tidak mendapatkan apa pun dari puasanya kecuali lapar dan haus. Banyak orang yang bangun malam, tetapi tidak mendapatkan apa pun dari bangunnya kecuali terjaga.” (Hadis Ibnu Majah dari Abu Hurairah ra).
Marilah sedari awal puasa kita melatih diri agar selama bulan Ramadan dan juga selama sebelas bulan sesudahnya, nafas kita senantiasa  mendendangkan tasbih dan tidur kita sebagai ibadah. Semoga kemahasucian Allah, senantiasa menyertai seluruh denyut kehidupan kita, memenuhi hati nurani, melandasi setiap lintasan pikiran, menjadi untaian perkataan dan sulaman emas nan indah atas perbuatan kita, baik selama bulan Ramadan maupun sebelas bulan lainnya, bahkan selamanya. Amin. (Mutiara Hikmah Puasa, B.Wiwoho).

About the author

Avatar photo

B.Wiwoho

Wartawan, praktisi komunikasi dan aktivis LSM. Pemimpin Umum Majalah Panji Masyarakat (1996 – 2001, 2019 - sekarang), penulis 40 judul buku, baik sendiri maupun bersama teman. Beberapa bukunya antara lain; Bertasawuf di Zaman Edan, Mutiara Hikmah Puasa, Rumah Bagi Muslim-Indonesia dan Keturunan Tionghoa, Islam Mencintai Nusantara: Jalan Dakwah Sunan Kalijaga, Operasi Woyla, Jenderal Yoga: Loyalis di Balik Layar, Mengapa Kita Harus Kembali ke UUD 1945 serta Pancasila Jatidiri Bangsa.

Tinggalkan Komentar Anda