Ads
Aktualita

Mewujudkan Damai Pasca Pemilu

Keputusan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), yang menyatakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) terbukti bersalah atas sejumlah kasus pelanggaran Pemilu, melegakan banyak pihak. Setelah keputusan tersebut, ketegangan politik yang terjadi di antara para pendukung pasangan capres-cawapres Joko “Jokowi” Widodo – KH Ma’ruf Amin dan pesaing mereka, Prabowo Subianto – Sandiaga Uno, diharapkan segera mereda.

Pemilu yang dimulai dengan kampanye damai seharusnya berakhir dengan damai pula. Karena itu, jika ada pihak-pihak keberatan dengan hasil Pemilu, yang akan diumumkan KPU pada 22 Mei, mereka bisa membawanya ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Dalam sidang yang digelar di Kantor Bawaslu, Jakarta, pada 16 Mei, Bawaslu memutuskan KPU bersalah atas proses pendaftaran lembaga-lembaga hitung cepat (quick count) dan input data (data entry) di Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng), sebagaimana dilaporkan Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo – Sandi.

“KPU RI secara sah dan meyakinkan melanggar tata cara terkait pendaftaran dan pelaporan lembaga-lembaga yang melakukan hitung cepat,” ungkap Ketua Majelis Hakim Bawaslu Abhan sebagaimana dikutip kompas.com. Bawaslu menyimpulkan KPU tidak transparan dalam mengadakan proses pendaftaran pelaksanaan hitung cepat. KPU juga dinilai terbukti bersalah tidak menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada lembaga-lembaga survei untuk melaporkan metodologi dan sumber dana yang mereka gunakan.

“[Menyatakan] KPU terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar tata cara dan prosedur dalam input data Situng,” ungkap majelis hakim.

Atas keputusan tersebut, KPU diminta mengumumkan nama-nama lembaga survei yang belum melaporkan metodologi dan sumber dana mereka. KPU juga diminta segera memperbaiki tata cara dan prosedur input data Situng. Namun, Bawaslu juga memutuskan KPU tetap mempertahankan Situng, yang dalam data terakhirnya menunjukkan pasangan Jokowi – Ma’ruf masih unggul atas pasangan Prabowo – Sandi.

Data menyebutkan, sampai pukul 10:30 WIB, Sabtu (18/5), Jokowi – Ma’ruf mendapat 55,84% suara sementara Prabowo – Sandi 44,16%. Dengan total 87,96% suara TPS usai dihitung, selisih perolehan suara di antara dua kandidat mencapai 11,68%. Data ini mengacu pada angka sementara Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng) milik KPU yang ditampilkan dalam pemilu2019.kpu.go.id.

Laporan kecurangan. Jurubicara BPN Prabowo – Sandi, Andre Rosiade, mengatakan sikap BPN jelas, yaitu menolak hasil rekapitulasi pemilihan presiden (Pilpres) yang curang. “Rekapitulasi hasil Pilpres yang curang akan kami tolak. Caranya, kami membawa kasus ini ke Bawaslu. Minggu lalu, kami sudah laporkan soal Situng dan quick count. Alhamdulillah, hari ini Bawaslu memutuskan KPU bersalah di kasus Situng dan quick count,” ungkap Ketua DPP Partai Gerindra tersebut dalam talkshow “Apa Kata Netizen” yang ditayangkan Kompas TV pada 16 Mei.

BPN juga akan melaporkan dugaan kecurangan terstruktur, sistematis dan masif yang dilakukan kubu Jokowi – Ma’ruf dengan harapan pasangan capres dan cawapres tersebut dapat didiskualifikasi, ia menambahkan.

Andre lebih jauh mengungkapkan, terkait pemilihan anggota legislatif (Pileg), BPN akan membawa sengketa yang ada ke MK. Sejauh ini tim sudah membawa sengketa yang terjadi di tiga daerah pemilihan, yaitu DKI 3, Madura dan Nusa Tenggara Timur, ke MK.

“Untuk Pilpres, kami belum terpikir untuk membawa kasus ke MK. Tapi kami akan bawa ke Bawaslu,” kata Andre. Ia mengklaim langkah BPN didasarkan pengalaman buruk yang dialami Prabowo dengan pasangan cawapresnya, Hatta Rajasa, ketika melaporkan ke MK dugaan kecurangan yang dilakukan kubu Jokowi – Jusuf Kalla pada Pemilu 2014. MK saat itu menolak laporan kubu Prabowo – Hatta meskipun sudah berbekal banyak fakta, ia menyebutkan.

“Cara-cara kami sangat konstitusional. Kalau ada orang yang bilang BPN mau makar, kudeta atau menggulingkan pemerintahan yang sah, itu asbun, alias mengigau,” kata Andre. Ia merujuk pada tindakan hukum aparat kepolisian terhadap dugaan perbuatan makar yang disebut-sebut dilakukan pendukung Prabowo – Sandi.

Pada 9 Mei, Polda Metro Jaya menetapkan politisi Partai Amanat Nasional (PAN) Eggi Sudjana tersangka makar berdasarkan orasi politik yang ia ucapkan menyikapi hasil hitung cepat beberapa lembaga survei yang memenangkan pasangan Jokowi – Ma’ruf,. Pidato “people power” yang disampaikan di Rumah Kartanegara pada 17 April oleh pengacara kawakan, yang juga anggota tim pemenangan Prabowo – Sandi, dianggap hasutan untuk menumbangkan pemerintahan dengan cara-cara inkonstitusional.

“Maka jika terus-menerus kecurangan ini diakumulasi, yang saya dengar insya Allah setelah jam 7 atau 8 [malam] ini akan diumumkan resmi apakah betul ada kecurangan yang serius, maka analisis yang sudah dilakukan pemimpin kita Bapak Prof. Dr. Amien Rais, kekuatan people power mesti dilakukan. Setuju? Berani? Berani?,” ungkap Eggi dalam orasi itu, sebagaimana terlihat dalam berbagai rekaman yang ditayangkan di YouTube.

“Kalau people power terjadi, kita tidak perlu mengikuti konteks-konteks dan tahapan-tahapan. Karena ini sudah kedaulatan rakyat. Bahkan mungkin ini cara Allah untuk mempercepat Prabowo dilantik. Tidak usah harus menunggu 20 Oktober. Inilah kekuatan people power. Insya Allah […].”

Dalam pidato Eggi, polisi menangkap sinyalemen provokasi untuk menggulingkan pemerintahan yang sah. Atas pidato tersebut, Eggi dijerat Pasal 107 (1) tentang perbuatan makar di Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan terancam dijatuhi pidana 15 tahun penjara.

Eggi berpendapat penetapan tersangka dirinya melanggar prinsip-prinsip kebebasan berpendapat yang telah diatur dalam UUD 1945. Sementara Sandiaga mengatakan, politisasi dan kriminalisasi yang dihadapi para pendukung Prabowo – Sandi perlu dicermati. “Jangan karena mendukung Prabowo – Sandi semua masalah dilihat dari sisi kriminalisasi,” kata Sandiaga dalam sebuah kesempatan.

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda

Discover more from PANJI MASYARAKAT

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading