Melanjutkan bahasan tentang Stasiun-Stasiun Kehidupan Manusia dalam tulisan terdahulu, marilah kita sedikit mendalami Stasiun Keempat. Akan hal ini faham Jawa terbelah dalam dua aliran. Pertama, aliran yang mempercayai bahwa ruh orang yang sudah meninggal dapat menyaksikan perilaku ahli warisnya di dunia, bahkan masih dapat berkomunikasi secara gaib. Ia juga membawa serta berbagai kesaktian dan kekuatan gaib yang dimiliki selama hidupnya, sehingga keturunannya disamping harus tetap berbakti, juga bisa meminta restu dan pertolongan darinya. Sedangkan meminta tolong kepada ruh maupun balatentara Tuhan yang gaib, menurut penganut faham ini adalah perkara tolong-menolong biasa di antara sesama hamba Allah dan tidak berarti menyekutukan Tuhan.
Aliran kedua berpendapat, orang yang sudah meninggal bisa melihat kembali seni perannya selama di Stasiun Ketiga, namun sudah tak berdaya memperbaiki dengan mengulang kembali seperti anak sekolah ikut ujian ulangan. Apalagi menolong orang yang masih hidup. Yang dapat memoles wajah dunianya, yang dapat memperbaiki kejelekannya, yang dapat menambah nilai serta menyempurnakan seni perannya hanyalah ilmunya yang bermanfaat, sedekah jariah dan anak saleh, yang selalu mendoakannya.
Kedua aliran tersebut memiliki persamaan dalam berbakti kepada keluarganya yang sudah meninggal, oleh karena itu mereka sama-sama senang melakukan ziarah kubur dan mengirim doa dengan tahlilan serta membacakan Yaasiin.
Demikianlah, tatkala Sangkakala ditiup, maka peradilan Tuhan dimulai, sepak terjang kita selama berada di Stasiun Ketiga dinilai. Vonis dijatuhkan dan kita harus melanjutkan perjalanan ke Stasiun Kelima, yakni Kampung atau Kerajaan Akhirat yang terdiri dari dua bagian yaitu surga dan neraka.
Tahap peniupan Sangkakala, pada hemat banyak orang adalah saat-saat yang dikenal sebagai “hari kebangkitan”, yaitu hari dimana jiwa manusia dibangkitkan dari Stasiun Keempat, untuk mengikuti sidang peradilan akhirat.
Namun bagi sementara orang yang mendalami ajaran hakikat dan makrifat, “hari kebangkitan” bisa dicapai pula pada saat seseorang sudah sampai ke maqam melipat dunia. Yakni peringkat kehidupan kejiwaan yang sudah tidak tergantung dan terikat lagi pada materi, pada pesona dunia.
Orang yang mencapai maqam seperti itu meskipun ia hidup di dunia, tapi jiwanya sudah mengembara jauh ke Kampung Akhirat, menyatu dengan Sang Pencipta. Sudah mencapai tahapan “manunggaling kawulo-Gusti”. Ia tidak lagi terpengaruh dengan ombak perubahan zaman, orang, tempat dan aneka pesona dunia lainnya. Jika kebanyakan orang diperbudak oleh hawa nafsu dan pesona dunia, sebaliknya orang seperti itu telah menjadi tuan yang dipatuhi oleh hawa nafsu dan pesona dunia. Jiwanya tidak lagi menjadi tawanan apalagi budak dari tubuhnya. Merekalah para wali, kekasih Allah, yang meskipun jika kelak badan fisiknya mati, tetapi sesungguhnya “tidak mati”, karena jiwanya sudah mencapai tahap “hari kebangkitan”. Mereka sudah memperoleh derajat yang mulia di sisi Allah Maha Raja di Raja Dunia dan Akhirat.
Tetapi bagi orang awam, sepadan dengan kadar “keelingan”, sepadan dengan ketaatan kita dalam menghayati makna asal mula (dan tujuan) kejadian kita selama hidup di dunia, serta sebaik apa kita membangun hubungan vertikal dengan Sang Maka Kuasa dan hubungan horizontal dengan sesamanyalah, maka rumah kita di kampung Akhirat nan kekal abadi ditetapkan. Azab api neraka ataukah istana surga? Jika istana, istana yang seperti apa dan di bagian mana gerangan?
Waallahu’alam.
(Dari kumpulan tulisan B.Wiwoho, Orang Jawa Belajar Mengenal Gusti Allah)