Setiap Sabtu, syaikh Juha selalu berbelanja ke pasar untuk keperluan rumah tangganya selama seminggu. Karena hari itu dia letih, sementara barang belajaannya begitu banyak, syaikh Juha memutuskan menyewa kuli angkut.
Begitulah, setelah upah disepakati, mereka berdua berjalan beriringan. Syaikh Juha di depan, si kuli angkut membawa keranjang mengikutinya dari belakang. Tapi, tanpa diketahui, di tengah jalan si kuli ternyata menghilang, membawa lari keranjang syaikh Juha beserta isinya.
Sabtu berikutnya, Syaikh Juha kembali ke pasar. Ditengah tawar-menawar dengan pedagang sayur, syaikh Juha tiba-tiba lari ketakutan dan bersembunyi di balik tumpukan sayur. Melihat tingkah aneh syaikh Juha, salah seorang temannya penasaran.
“Kenapa kau sembunyi?” tanyanya mendekati syaikh Juha yang berjongkok ketakutan di balik tumpukan sayur.
“Ssstt, jangan berisik! Aku sedang sembunyi dari orang yang minggu lalu membawa keranjang belajaanku!” Bisik syaikh Juha sambil menarik temannya untuk ikut berjongkok bersamanya. Meski heran, sang teman menurut saja. Agak lama mereka berdua bersembunyi di sana, sampai syaikh Juha yakin bahwa si kuli angkut sudah keluar dari pasar.
“Ada apa sebenarnya? Kenapa bersembunyi? Apa belum kau bayar upahnya?” tanya sang teman terheran-heran.
“Justru itu masalahnya…!” jawab syaikh Juha ringan. “Orang itu sudah seminggu membawa keranjangku yang cukup berat. Untuk waktu yang kurang dari setengah jam dari sini ke rumahku saja dia minta upah lima ribu; bayangkan kalau yang dia tagih adalah upah seminggu, pasti uangku tak cukup untuk membayarnya!”
***
Kalau syaikh Abdul Qodir Jailani pernah berujar: jadikan akhiratmu sebagai modal dan duniamu sebagai keuntungan; sebaliknya, kita justru dibesarkan dalam iklim yang menempatkan dunia sebagai modal dan akhirat sebagai keuntungan; atau bahkan mungkin ruang untuk akhirat itu sendiri pun sudah ketlingsut entah kemana, dianggap tak lagi menarik untuk jadi bahan pertimbangan bagi lalu-lalang berpikir dan bertindak kita.
Meski kita sholat, puasa, zakat dan haji dan hari-hari kita basah dengan air mata doa, pola pikir kita penuh dengan nilai-nilai yang berbasis ekonomis. Kita terdidik untuk memandang dan mengkalkulasi hampir semua hal -termasuk apa yang kita anggap ibadah- dengan tolok ukur ini.
Bahkan, jujur saja, kita acap terguguk-guguk menangis saat berdoa atau sholat; bukan karena mengingat kebesaran Allah, mentafakuri ayat-ayatNya atau mengingat akhirat; tapi karena merasa kehilangan atau mengharap sesuatu dari dunia ini.
Mungkin inilah dampak yang paling langsung bisa dirasakan dari fenomena modernitas, dimana dunia diintegrasikan sebagai satu satuan dan didikte oleh kepentingan-kepentingan yang mematerialisasi segala sesuatu dan kemudian mencoba mengekonomisasikan semua lini dan level kenyataan.
Baik-buruk, benar-bathil tidak lagi ditempatkan dalam tolok ukur moral religius-transendental; tapi ditempatkan semata-mata dalam perspektif matematis-ekonomis-meterial. Suatu tindakan dipandang baik dan benar bila tindakan tersebut dianggap menguntungkan menurut standar-standar matematis-ekonomis-material yang telah disediakan. Sebaliknya akan disebut buruk dan bathil karena merugikan menurut standar matematis-ekonomis-material.
Inilah tema mayor peradaban masa kini; yang mau tak mau harus kita hadapi setiap saat, karena kita hidup di dalamnya dan juga karena birahi kita luar biasa besar untuk ikut menikmatinya. Peradaban yang cenderung melahirkan jenis manusia berkaca mata kuda, one dimensional man menurut istilah yang dulu dipakai Herbert Marcuse; yang hanya akan memiliki akal-instrumentalis untuk mengabdi pada kepentingan-kepentingannya belaka.
Setiap bangun tidur, hal pertama yang muncul dalam pikiran kita adalah bagaimana mencari keuntungan material untuk melangsungkan hidup. Begitu juga, setiap akan tidur, hal terakhir yang melintas di otak kita adalah bagaimana memaksimalkan semua upaya untuk memperbesar keuntungan. Sehingga, konon, peradaban ini diputar oleh motivasi para pencari untung, lebih sempit lagi: para pencari untung material.
Ada bermilyar alasan dan sebab yang sepertinya bisa begitu saja dipetik dari udara untuk membenarkan semua ini. Mulai dari alasan remeh seperti kebutuhan keluarga, sampai dengan alasan spektakuler seperti keseimbangan penguasaan sumber-sumber ekonomi. Mulai dari alasan mengganjal perut, sampai urusan menciptakan kesejahteraan orang banyak. Walhasil, selalu ada alasan yang bisa dibuat, alasan yang selalu akan memposisikan kita untuk mau tak mau harus terikut dalam pusaran ‘pencari rente’ macam ini.
Dalam perspektif berpikir semacam ini, tindakan syaikh Juha diatas pasti segera tampak sebagai sesuatu yang absurd dan bahkan akan disebut gila. Padahal, sebaliknya kalau menurut standar syaikh Juha, justru kitalah yang absurd dan gila.
Apa yang sedang dilakukan Syaikh Juha rasa-rasanya justru sedang mengejek pola berpikir kita dengan menggunakan pola pikir kita sendiri. Dengan kalkulasi matematis-ekonomis-material, seharusnya memang kitalah yang membayar orang yang sampai seminggu mengangkut keranjang belajaan kita. Sesuatu yang tentu saja tidak akan pernah kita lakukan, karena tindakan tersebut terlanjur lebih dahulu kita kategorikan sebagai pencurian.
Cara pandang yang ditawarkan syaikh Juha secara diametral memang berlawanan dengan nilai-nilai yang kita geluti sehari-hari. Sadar atau tidak, harus diakui bahwa kita biasa melihat dunia nyaris sebagai tolok ukur bagi segalanya; sementara sebaliknya, syaikh Juha sedang menandaskan bahwa pada dasarnya dunia adalah beban. Ibarat orang hendak naik gunung, semakin berat beban yang dia panggul, semakin terhambat langkahnya menuju puncak; sebaliknya, semakin ringan beban di punggungnya, semakin cepat langkahnya ke puncak.
Nabi sendiri pernah bersabda: Aku melihat Abdurrahman Ibn Auf masuk surga dengan merangkak! Abdurrahman Ibn Auf adalah salah seorang sahabat Nabi yang dikenal kaya raya. Sisa keterikatannya terhadap dunialah yang dilihat Nabi menjadi beban, sehingga jalannya ke surga seolah harus dengan merangkak. Paling tidak begitulah menurut penafsiran Imam Ghozali. Dalam perspektif ini, justru wajar kalau orang memberi upah pihak yang dengan sukarela mau membantu mengangkat bebannya.
Inilah yang membedakan kita dengan orang-orang bijak dari masa lampau. Dulu untuk memimpin sholat saja, sesama kyai berebut menghindar jadi imam dan memilih jadi makmum. Karena dalam perspektif ini, makmum lebih ringan bebannya ketimbang imam. Kalau jadi imam sholat saja mereka berebut menghindar, apalagi menjadi ketua RT, RW, Lurah, Camat, Bupati, Gubernur, Menteri, Presiden atau apapun yang berpedikat Ketua atau Kepala lainnya; pasti lebih terbirit-birit lagi perebutan menghindarnya.
Tapi, rasa-rasanya sekarang yang terjadi sebaliknya: banyak orang yang apabila diukur menurut standar syaikh Juha, adalah jenis orang tolol. Mereka mau-maunya secara sukarela mengangkat beban orang lain; tanpa upah lagi!
Lebih hebat lagi: untuk menambah beban di punggungnya sendiri, dengan ringan orang rela mengorbankan segala hal, termasuk persaudaraan!

Budayawan, tinggal di Pati Jawa Tengah. Pendiri Rumah Adab Indonesia Mulia