Karya-karya ulama pelosok ini memperoleh pengakuan dari dunia Islam, dan pernah diminta Raja Mesir untuk mengajar di Universitas Al-Azhar. Ia punya pendapat unik tentang rokok dan kopi.
Inilah kebiasaan Kiai Ihsan Dahlan Jampes dalam mengajar: selalu ditemani rokok dan kopi. Kebiasaan yang juga dibawa Haji Agus Salim ketika memberikan kuliah di Universitas Cornell, Amerika Serikat, sambil mengisap keretek. Hebatnya, Kiai Ihsan kemudian menulis kitab dengan berjudul Irsyad al-Ikhwan fi Bayan Hukmi Syurb al-Qahwah wad-Dukhan. Isinya menjelaskan tentang hukum minum kopi dan menghisap rokok. Dalam bahasa Arab, baik untuk ngopi maupun merokok menggunakan kosa kata syurb, yaitu minum. Yang satu nyeruput kopi (qahwah), yang satunya lagi nyeruput asap alias dukhan.
Dalam membahas hukum merokok, Kiai Ihsan mengetengahkan pendapat para ulama, baik yang mengharamkan maupun yang membolehkan. Yang mengharamkan alasannya didasarkan pada alasan hukum (‘illat) tentang efek samping atau bahaya yang ditimbulkan akibat mengkonsumsi rokok. Misalnya, merusak kesehatan, melemahkan badan, dan juga berimbas pada pemborosan (isyraf). Sedangkan ulama yang membolehkan, berpendapat bahwa rokok tidak najis, atau dapat menghilangkan kesadaran. Bahkan, rokok memberikan semangat baru dalam menjalani kehidupan. Bagi mereka, tidak ada dalil yang bisa dijadikan dasar untuk mengharamkan rokok.
Kiai Ihsan tidak berada dalam salah satu kubu, baik yang mengharamkan maupun yang membolehkan. Ia berpendapat bahwa merokok adalah makruh. Meski begitu, hukum makruh ini tidak tetap. Bisa berubah jadi wajib, jika seseorang itu tidak atau berhenti merokok maka badannya akan sakit atau tidak bisa beraktifitas dengan baik. Bisa juga berubah jadi haram, bila uang yang digunakan untuk beli rokok itu seharusnya digunakan untuk menafkahi keluarganya, gara-gara beli rokok keluarganya jadi tidak makan.
Lalu bagaimana dengan minum kopi? Pendapat para ulama dalam soal ini juga ada yang mengharamkan dan adapula yang membolehkan. Kiai Ihsan memberikan alternatif jawaban yang luwes. Ia sependapat dengan Kiai Al-Qadli Ahmad bin Umar Al-Muzjid. Jika minum kopi dengan niat agar kuat beramal dan ber-taqarrub kepada Allah, maka minum kopi itu bagian dari bentuk taqarrub juga. Jika niat hendak mengerjakan yang hukumnya mubah, maka mubah pula. Begitu seterusnya.
Ihsan Dahlan lahir dengan nama kecil Bakri di kampung Jampes, Desa Putih, Gampengrejo, Kediri tahun 1901. Ia adalah anak K.H. Muhammad Dahlan dan Ny Artimah. Ayahnya adalah pengasuh Pondok Pesantren Jampes, kini bernama pesantren Al-Ihsan, yang didirikan tahun 1886. Ibunya adalah putri K.H. Sholeh Banjar Melati, Kediri. Adapun ayahnya, adalah putra Kiai Dahlan anak Kiai Saleh, seorang ulama asal Bogor, Jawa Barat, keturunan Sunan Gunung Djati. Selain belajar kepada ayahnya, ia menuntut ilmu ke berbagai pesantren di Jawa. Pesantren pertamanya adalah Pesantren Bendo di Pare, Kediri, yang diasuh pamannya, Kiai Khozin. Selanjutnya ia belajar di Pesantren Jamsaren, Solo, asuhan K.H. Dahlan Semarang, Pesantren Mangkang Semarang, Pesantren Punduh Magelang, Pesantren Gondang Legi Nganjuk, dan Pesantren Bangkalan Madura dibawah bimbingan K.H. Kholil Bangkalan.
Sepulang haji tahun 1926, ia mengganti namanya menjadi Ihsan. Setelah itu ia pun biasa dipanggil Gus Ihsan Jampes. Ia langsung mengabdi di pesantren ayahnya, mengajar para santri. Ketika usianya 27 tahun, ayahnya meninggal dunia. Pengasuhan pesantren dipercayakan kepada pamannya, Kiai Kholil. Namun Kiai Kholil hanya memimpin pesantren selama empat tahun, selanjutnya ia menyerahkan kepemimpinan pesantren kepada Gus Ihsan. Dengan demikian, di usia 31 tahun, Kiai Ihsan Jampes mulai mengasuh pesantren. Di awal kepemimpinannya, jumlah santri bertambah dari semula hanya 150 santri menjadi 1. 000 santri. Areal Pesantren Jampes diperluas hingga 1,5 hektar. Kemudian didirikan Madrasah Mafatihul Huda pada tahun 1942.
Kiai Ihsan Jampes dikenal ulama yang produktif menulis. Karya-karyanya antara lain Tashrih al-Ibarat Syarah Natijat al-Miqat, berupa komentar dan penjelasan Natijat al-Miqat karya gurunya KH Ahmad Dahlan Semarang mengenai ilmu falak dan astronomi; Manahij al-Imdad, syarah atas kitab Irsyad al-‘Ibad karya Zainudin Al-Malibari, tentang beragam tema seperti iman, murtad, syirik, fadilah ilmu, ziarah makan Rasulullah SAW, nikah, fikih dan lain-lain dengan merujuk langsung kepada hadis-hadis Nabi SAW.
Berikutnya yang fenomenal dari Kiai Ihsan Jampes adalah kitab Shiraj al-Thalibin, Kitab tasawuf berbahasa Arab sebagai penjelas (syarah) atas Minhaj al-Abidin Imam Al-Ghazali. Kitab ini terdiri dari dua jilid besar, dengan jumlah halaman lebih dari 1.089, diterbitkan pertama kali tahun 1936 di Surabaya. Karya ini dikerjakannya selama hampir delapan bulan.
Kitab Shiraj al-Thalibin yang artinya Pelita untuk Para Pelajar dan ditulis saat usia Kiai Jampes 31 tahun. Karya ini mengulas pemikiran tasawuf Imam Al-Ghazali dan dibaca di berbagai dunia Islam. Sejumlah ulama di Timur Tengah Kiai Ihsan melalui karya ini memberinya gelar, ‘Al-Ghazali Ash-Shaghir’ (Al-Ghazali Muda). Bahkan, Raja Faruq Mesir pernah memintanya menjadi dosen di Universitas Al-Azhar, Kairo, setelah membaca kitab ini.
Di Indonesia, karya Kiai Jampes ini dipelajari di berbagai pondok pesantren terutama oleh santri senior yag telah mempelajari kitab-kitab seperti Bidayah al-Hidayah, Sulam al-Taufik, Nashaih al-Diniyyah. Kitab ini bukan hanya dikenal di Nusantara, tapi sampai ke Timur Tengah dan Afrika, dan telah diterbitkan di Kairo dan Lebanon. Di Kairo, kitab tasawuf ini diajarkan dan menjadi literatur wajib di Universitas Al-Azhar dalam memahami pemikiran Imam Ghazali. Selain itu, karya ini juga dikaji di universitas-universitas terkemuka dunia, terutama pada jurusan filsafat, Islamologi, dan tasawuf.
Pada awal tahun 2009 sebuah penerbit terkemuka di Beirut, Libanon, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, melakukan sebuah kesalahan dengan mengganti nama pengarang Siraj al-Thalibin. Nama Syaikh Ihsan Dahlan diganti dengan Syaikh Zaini Dahlan. Selain itu, penerbit Beirut menghilangkan kata pengantar dari Syaikh Hasyim Asy’ari di bagian pertama kitab tersebut. Manipulasi ini pernah dikoreksi dan dimintakan perbaikan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama kepada penerbit bersangkutan. Banyak pihak menduga, kesalahan ini disengaja untuk mengejar keuntungan komersial
Kiai Ihsan juga fasih mengetengahkan metodologi penyelesaian hadits-hadits kontradiktif seperti hadits larangan minum sambil berdiri. Selain itu, Kiai Ihsan mampu memberikan penilaian kedhaifan sebuah hadits yang digunakan Imam al-Ghazali dalam karyanya yang dikomentarinya tersebut. Dengan melihat literatur hadits yang digunakannya serta kajian hadits di dalamnya, Kiai Ihsan memiliki kemampuan luar biasa dalam bidang hadits. Kiai Ihsan Jampes wafat pada 16 September 1952 dalam usia relatif uda, 51 tahun