Setiap tahun umat Islam di seluruh penjuru dunia menyambut bulan Ramadan atau bulan Puasa dengan penuh sukacita. Bahkan di Indonesia, malam Nisfu Sya’ban yaitu malam tanggal 15 Sya’ban, ada saja yang menyambutnya dengan membunyikan petasan nan gegap gempita.
Entah istilah apa yang paling tepat. Mengungkapkan perasaan gembira menyambut perintah Allah Swt. kepada orang-orang yang beriman untuk wajib berpuasa (Surat Al Baqarah : 183) dengan membunyikan petasan. Tapi kita ini memang bangsa yang unik. Kata puasa yang kita pakai sehari-hari untuk terjemahan dari bahasa Arab saum atau siyam bukankah juga unik? Puasa atau poso berasal dari bahasa Sansekerta upawasa, yaitu kegiatan penganut agama Hindu dalam melakukan sesuatu guna mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa. Sementara siyam dijadikan bahasa Jawa halus atau kromo inggil untuk kata poso (bahasa Jawa kasar).
Cukup banyak kata-kata dari bahasa Sansekerta yang kemudian dipakai menjadi istilah-istilah yang langsung berkonotasi dengan Islam, seperti guru mengaji, mengaji, santri dan kyai. Adakah konotasi dengan agama lain untuk kata-kata tersebut? Tidak. Di lain pihak, kata-kata Islami yang berasal dari bahasa Arab yang sudah mengindonesia, juga dipakai sebagai istilah agama lain khususnya Kristen, misalkan salib, sembahyang, Allah dan berkat atau berkah.
Kembali kepada puasa, Kanjeng Nabi Muhammad Saw bersabda, “Setiap amal yang dilakukan anak Adam adalah untuknya dan satu kebaikan dibalas sepuluh kali lipat bahkan sampai tujuh ratus kali. Allah Ta’ala berfirman, ‘kecuali puasa itu untukKu dan Aku yang langsung membalasnya. Ia telah meninggalkan syahwat, makan dan minumnya karena Aku.’ “ (HR.Bukhari dan Muslim).
Para Sahabat, Kanjeng Nabi lebih lanjut bersabda sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad, An Nasa’i dan Ibnu Majah, “Puasa itu merupakan perisai bagi seseorang dari api neraka, sebagaimana perisai dalam peperangan.”
Menjelaskan perihal perisai tadi, Sang Pembela Akidah Islam – Imam Al Ghazali dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin yang sangat tersohor dan menjadi pegangan di berbagai pesantren di Indonesia, puasa itu untuk membuat benteng atau perisai yang kuat pada diri kita, guna berperang melawan setan khususnya setan yang menetap di dalam hati kita, menyusup dalam nafsu dan syahwat kita. Setan yang senantiasa menggoda agar kita melakukan perbuatan-perbuatan buruk dan aneka perbuatan yang tidak dridhoi Gusti Allah Yang Maha Suci lagi Maha Adil.
Benteng dan perisai diri itu diperlukan sebagai bekal melakukan perjalanan kehidupan nan panjang serta penuh godaan. Dengan benteng dan perisai diri yang kokoh, kita akan dapat mengalahkan musuh-musuh yang senantiasa berusaha menggagalkan usaha-usaha kita untuk melaksanakan perintah Allah, yakni menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Mari kita buat perisai diri yang kokoh, sehingga kita sungguh-sungguh bisa menegakkan kebenaran dan melawan atau meruntuhkan kemungkaran, kebatilan, yang pada umumnya mudah diucapkan namun sulit dilaksanakan. Allahumma amin.
(Mutiara Hikmah Puasa, B.Wiwoho).