Brunei pekan lalu membatalkan rencana pemberlakuan hukuman mati bagi pelaku seks sesama jenis dan perzinahan, menyusul kemarahan global dan protes keras yang disuarakan pemerintah sejumlah negara dan berbagai kelompok pembela hak-hak asasi manusia. Keputusan Brunei untuk kesekian kalinya memperlihatkan penerapan hukum Islam sebagai bagian hukum nasional (sekular) di sebuah negara rawan diwarnai pergesekan.
Pembatalan rajam (eksekusi mati dengan cara dilempari batu sampai mati) diumumkan Sultan Hassanal Bolkiah dalam pidato televisi yang disiarkan pada Minggu malam (5/5). Ia menanggapi secara langsung kritik dan kemarahan publik atas rencana pemberlakuan hukum syariah terhadap pelaku seks sesama jenis dan perzinaan di negara kerajaan tersebut.
Sultan mengatakan telah terjadi banyak kesalahpahaman atas rencana pemerintah memberlakukan hukum syariah bagi para pelaku seks sesama jenis dan perzinahan. Baik hukum umum maupun hukum syariah yang diterapkan di Brunei bertujuan memastikan perdamaian dan harmoni dapat tercipta di negara itu, ia menandaskan.
Langkah moratorium. Hukuman rajam bagi pelaku seks sesama jenis dan perzinahan di Brunei tercantum di dalam Undang-Undang Jinayah Syariah atau Syariah Penal Code Order (SPCO), yang juga memberlakukan eksekusi mati bagi pelaku pemerkosaan. Pembatalan rajam terhadap kaum gay dan para pezina dilakukan menyusul keputusan pemerintah Brunei untuk menerapkan moratorium hukuman mati atas kasus-kasus yang masuk kategori hukum pidana umum.
Bolkiah mengatakan selama lebih dari dua dekade, Brunei melaksanakan moratorium pelaksanaan hukuman mati untuk kasus-kasus di bawah undang-undang hukum konvensional. “Moratorium ini juga akan diberlakukan terhadap SPCO yang sebetulnya menyediakan ruang lebih luas bagi pengampunan hukuman mati,” ungkap Sultan sebagaimana dikutip BBC.
Mengacu kitab undang-undang hukum syariah Brunei, hukuman maksimum bagi pria pelaku seks sesama jenis adalah rajam dengan cara dilempari batu sampai mati; tetapi, para pelaku juga bisa dijatuhi hukum penjara untuk jangka waktu yang lama, atau dicambuk. Sementara
wanita pelaku hubungan seks sesama jenis dapat dijatuhi hukuman cambuk sebanyak 40 lecutan atau penjara maksimum 10 tahun.
Menteri Luar Negeri Brunei Erywan Yusof dalam pernyataan sebelumnya mengatakan Brunei tidak mengkriminalisasi orang berdasarkan keyakinan atau orientasi seksual, termasuk pelaku hubungan sesama jenis atau LGBT (lesbian, gay, biseksual dan transgender). Menurut dia, ancaman hukuman rajam bagi pelaku “sodomi dan perzinahan” dilakukan untuk melindungi kesucian keluarga dan perkawinan Muslim, terutama kaum perempuan.
Penerapan hukuman berat, termasuk rajam sampai mati, juga bukan hal yang mudah dilakukan karena harus disaksikan dua laki-laki terkemuka di bidang moral. Menurut Erywan, dua saksi tersebut harus memenuhi standar yang “benar-benar tinggi”. Sehingga, “[Sangat] sulit untuk menemukan orang-orang seperti itu dewasa ini,” kata anggota kabinet Brunei tersebut sebagaimana dikutip BBC.
Penegasan ini ia sampaikan untuk menanggapi kecaman Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) atas rencana pemberlakuan hukum syariah tahap ke-2 – yang memuat hukuman rajam bagi pelaku seks sesama jenis dan perzinahan – yang disahkan pada 3 April, menyusul pemberlakuan tahap pertama pada 2014. Pengesahan ini menjadikan Brunei satu-satunya negara di Asia Tenggara bahkan Asia Timur yang memberlakukan hukum syariah secara nasional.
Dalam surat yang dikirim pada 1 Mei kepada perwakilan Brunei di Jenewa, Swiss, Komisioner HAM PBB mengatakan penerapan hukum rajam bertentangan dengan Deklarasi Universal HAM 1948, yang diratifikasi oleh pemerintah Brunei pada 2006. PBB mengatakan pemberlakukan hukum tersebut “pelanggaran terang-terangan terhadap hak asasi manusia”.
Selebritis dunia, seperti George Clooney dan Elton John, menyerukan pemboikotan beberapa hotel terkemuka dunia, termasuk Dorchester di London, Inggris, dan Beverly Hills di Los Angeles, Amerika Serikat, yang dikelola Badan Investasi Brunei milik Sultan Bolkiah.