Mutiara

Menempatkan Islam dalam Institusi-Institusi Sekuler

Abul Kalam Azad  berada di sisi Gandhi yang tewas oleh fanatikus Hindu. Mengapa dia lebih memilih India ketimbang Pakistan?  

Menyusul pemberontakan yang gagal pada 1857, sebagian ulama India menyingkir ke Hijaz, wilayah yang sekarang menjadi bagian dari Arab Saudi. Di antaranya Maulana Khairuddin. Ia ayah Maulana Abul Kalam Azad, yang kelak, bersama Gandhi, ikut mendirikan India. Keluarga Azad berasal dari Herat, Afganistan, dan menetap di Delhi sejak abad ke-15 M. Tapi Abul Kalam sendiri lahir di Mekah, 1888, dari ibu wanita Madinah, dan baru dibawa kembali ke India di masa kanak-kanak.

Sebagai pemuda, 1908-1912, ia melawat ke berbagai negeri Timur Tengah yang waktu itu menjadi bagian Turki Usmani (Ottoman). Setahun di Bagdad, di lingkungan Syekh Ali Alusi, ia berkenalan dengan Louis Massignon, orientalis Prancis yang sangat terpengaruh tasawuf itu. Waktu itu sedang berkecamuk revolusi Turki Muda menentang Ottoman. Lalu Azad muda melanglang ke Kairo, yang juga pusat gerakan Turki Muda, Suriah, Turki sendiri, dan Paris. Di Paris, lagi-lagi, ia berkenalan dengan tokoh-tokoh mereka. Sedianya ia terus ke London, tapi pada 1912 itu ayahnya wafat. Ia balik ke India.

Dalam usia yang 24, Azad menerbitkan Al-Hilal majalah berbahasa Urdu yang liberal, reformis, dan pan islamis. Dalam paham itu Azad tak sendirian: ada Muhammad Ali, Syaukat Ali, Zafar Ali Khan, dan tentu saja Muhammad Iqbal.

Pada Perang Dunia I, seluruh pers India bersikap pro-Turki yang memihak Jerman. Comrade, majalah Muhammad Ali, diberangus. Juga Al-Hilal. Bahkan Al-Balagh, penggantinya, hanya berumur beberapa bulan. Azad sendiri diusir dari Benggala, dan sembilan provinsi lain serentak menolaknya. Dia pun terkurung di Ranchi, Bihar, satu-satunya provinsi yang masih menerimanya.

Perang berakhir, dan para pemimpin politik India dibebaskan. Azad bersama Ali Bersaudara mendirikan Komite Khilafat. Terpilih sebagai ketua, diberi gelar Imamul Hind (Imam Hindi). Komite ini dibentuk untuk menghadapi ancaman runtuhnya kekhalifahan Ottoman, menyusul kekalahan Jerman dan Austria. Komite gagal.  Ottoman sendiri terpecah belah dan negeri-negeri muslim menjadi (setengah) protektorat negara-negara Eropa, bahkan sebagiannya dicaplok Rusia ke dalam Uni Soviet.

Maka  meletuslah gelombang pembangkangan rakyat India — untuk kemerdekaan India dan negeri-negeri muslim  (bekas) Ottoman. Azad bertemu dengan Gandhi di sebuah sekolah agama di Lucknow, untuk merinci strategi gerakan pembangkangan tanpa kekerasan. Keduanya terbukti saling cocok. Ketika Gandhi tewas tertembak seorang fanatikus Hindu, 1948, penulis Tafsir Surat-ul-Fatiha itu (Tardjumanu’I Qura’an-nya tidak sempat rampung) berada di sisinya.

Pada  1924 Abul Kalam Azad  ditangkap pemerintah kolonial Inggris, menyusul gelombang pembangkangan yang ia rancang bersama Mahatma Gandhi. Ia dituduh menghasut. Dalam sidang-sidang pengadilan, ia membela tindakan-tindakannya dari segi filsafat politik Islam. Sambil menyebut kasus Ibn Taimiyah di depan pengadilan Gubernur Mogul, sebagai muslim Azad menyatakan punya kewajiban mencela kejahatan dan memuji kebaikan, apa pun akibatnya. Karena itu ia tetap menganjurkan perlawanan tanpa kekerasan kepada Inggris –meskipun terhadap penguasa nonmuslim, seperti pemerintah kolonial Inggris itu biasanya perlawanan senjatalah yang dilakukan. Soalnya Azad mengakui, pemerintah dan pengadilan Inggris punya potensi menegakkan keadilan dan peraturan hukum formal, dan mengejar tujuan-tujuan moral, tak peduli betapapun munafiknya.

Dalam doktrin politiknya, Azad memasukkan dua gagasan pokok tentang khilafat dan amr bil-ma’ruf wan nahy ‘ anil munkar. Baginya, khilafat yang ideal adalah yang terbentuk “republik” (seperti di masa Khalifah Empat) yang langsung dipilih rakyat. Toh monarki Dinasti Umaiyah dan seterusnya — yang para penguasanya ia sebut  tiran — tetap sah.

Menrut Rahat Nabi Khan,  dalam pemikiran politiknya Azad menuntut tujuan-tujuan moral sebagai sifat hakiki Islam, walaupun dilaksanakan dalam konteks bukan muslim. “Dari pemikiran Azad itu, kita bisa menduga bahwa institusi-institusi sekuler itu  mendapat pengesahan Islam sepanjang mendekati semangat Islam dalam gagasannya mengenai keadilan, legalitas, dan demokrasi.” Bisa dipahami mengapa, setelah Pakistan memisahkan diri, Azad tetap setia kepada negara plural India yang diperjuangkannya.

Ia terpilih sebagai ketua Kongres Nasional India, 1940. Pada 1942 bersama Gandhi, ia memimpin gelombang besar terakhir gerakan pembangkangan penduduk untuk kemerdekaan. Tahun itu juga dia dijebloskan ke penjara bersama, antara lain Jawaharlal Nehru. Posisinya sebagai ketua Kongres digantikan Nehru pada 1946, yang kemudian membentuk pemerintah sementara. Azad tidak ikut, mulanya —  ingin berkonsentrasi dalam kegiatan intelektual, di tengah kesehatannya yang memburuk akibat pemenjaraan —  kecuali setelah Gandhi mendesaknya terus-menerus. Akhirnya ia duduk sebagai menteri pendidikan, sampai akhir hayatnya pada 1958.

Di pertengahan 1950-an, beberapa tahun sebelum ia meninggal, ulama Al-Azhar mengeluarkan fatwa menentang hak-hak politik perempuan, sehubungan dengan konstitusi baru Mesir. Azad menolak. Sambil mengemukakan berbagai kasus dalam sejarah Islam, ia menyatakan keterlibatan sepenuhnya perempuan dalam politik  sesuai dengan asas-asas dan tradisi Islam. Azad sendiri punya hubungan baik dengan para pemimpin gerakan politik wanita seperti Sarojini Naidu di India dan Khalida Adib Khanam di Turki.

Sumber: Rahat Nabi Khan “Para Ahli Pikir Muslim Modern dari Anak Benua india” dalam Islam, filsafat dan Ilmu (1984)

About the author

Avatar photo

A.Suryana Sudrajat

Pemimpin Redaksi Panji Masyarakat, pengasuh Pondok Pesantren Al-Ihsan Anyer, Serang, Banten. Ia juga penulis dan editor buku.

Tinggalkan Komentar Anda