Tasawuf

Stasiun-Stasiun Kehidupan Manusia

Menyusuri jejak orang Jawa tempo dulu belajar tentang keislaman.

Mengenai asal mula dan tujuan mengapa manusia dijadikan beserta tahap-tahap kehidupannya, paham Jawa khususnya Islam Kejawen meyakini adanya 5 (lima) tahapan atau stasiun pengembaraan manusia. Stasiun Pertama adalah Stasiun Kota Asal yang disebut Alam Ruh. Di stasiun ini semua ruh yang belum memperoleh tugas dari Gusti Allah dikumpulkan. Jika Allah Yang Maha Kuasa berkenan menugaskan satu ruh untuk turun ke bumi, maka diperintahkan dewa atau malaikat meniupkan ruh ke dalam janin di rahim seorang ibu yang merupakan Stasiun Kedua. Pada periode peniupan ini dibuat perjanjian antara ruh dengan Gusti Allah tentang keesaan Tuhan (Sang Hyang Tunggal), tentang kemahakuasaan Allah (Sang Hyang Wenang), tentang kebaikan dan keburukan, tentang tugas-tugas di dunia dan alam raya, yaitu “hamemayu hayuning bawono” atau melestarikan (sekaligus mengandung pengertian menebarkan kebahagiaan) alam semesta dan segenap isinya.

Bagaikan sebuah pertunjukkan sandiwara, Sang Dalang Maha Sutradara memberikan briefing mengenai peran yang akan dilakonkan oleh ruh, dan semua itu dituliskan dalam sebuah kitab yang dijaga ketat oleh para malaikat balatentara Allah. Dalam cerita wayang dijaga oleh para dewa yang dipimpin Betara Indra. Dalam kehidupan di dunia, manusia diijinkan berikhtiar, namun harus tetap ingat 5 hal yang sudah digariskan Gusti Allah yaitu:
1.   anak-anak dan kelahiran
2.   jodoh
3.   kematian
4.   derajat kehidupan
5.   harta benda.

Kelahiran Sang Jabang Bayi membawa ruh memasuki Stasiun Ketiga, yakni kehidupan manusia di dunia. Kehidupan dunia inilah yang diandaikan dengan singgah sejenak untuk istirahat minum. Singgah sejenak dari suatu perjalanan panjang, dari stasiun Pertama ke Stasiun Kelima. Dalam istirahat sejenak ini manusia diuji apakah taat dan teguh pada perjanjian, serta menjalankan peran sesuai yang digariskan dalam skenario Pangeran Yang Maha Agung. Untuk itu seperti dalam kisah-kisah pengembaraan seorang ksatria di cerita pewayangan, Gusti Allah memberikan mandat dan kuasa kepada jin–setan–peri perayangan, kepada para raksasa jahat buat menggoda. Menciptakan hawa nafsu serta pesona dunia guna menguji apakah manusia goyah atau tidak. Apakah kita benar- benar memainkan peran dengan baik selaku utusan-Nya, ataukah lalai berasyik masyuk dengan bujuk rayu setan, terlena oleh buaian hawa nafsu, tenggelam dalam gemerlap dunia nan mempesona? Asyik masyuk sendiri dengan godaan harta, tahta kekuasaan dan sang rupawan?


Adakah tatkala di Stasiun Ketiga, kita tetap khusyuk menghayati peran kita? Tetap eling, tetap mengingat perjanjian kita dengan Gusti Allah Sang Maha Sutradara? Adakah kita menjaga kebersihan, keindahan, ketertiban, keharmonisan dan kelestarian Stasiun Ketiga yang kita singgahi? Ataukah kita mengotori, merusak dan menimbulkan kegaduhan? Adakah kita melestarikan dan menegakkan rahmat bagi alam semesta dengan segenap isinya, ataukah justru menghancurkannya, membabat porak-porandakan hutan, mengaduk bumi, menggempur gunung sesuka kita, membunuh
sesama makhluk, merusak berbagai ciptaan Tuhan untuk memuaskan dahaga angkara murka dan keserakahan? Adakah kita menerima dengan ikhlas, sabar dan tawakal atas peran kehidupan yang bagi ukuran manusia dinilai tidak baik atau kurang menguntungkan? Atas kelahiran, jodoh, derajat kehidupan dan harta benda kita? Ataukah kita menyesali dan tidak terima mengapa diberi peran yang buruk? Dilahirkan dari kedua orang tua yang miskin dan sebagainya?

Sangkan paraning dumadi harus dapat senantiasa mengingatkan, bahwa kita lahir ke dunia sebagai bayi nan suci dalam keadaan telanjang bulat tanpa sehelai benang pun. Demikian pula tatkala meninggal dunia, kita hanya di bungkus dengan selembar kain putih, tidak lebih. Lantas untuk apa serakah menumpuk harta benda dengan mengorbankan tata nilai, etika, persahabatan dan merusak alam semesta yang seharusnya kita rawat dan jaga? Takut anak keturunan menjadi miskin? Toh hal itu sudah digariskan oleh Gusti Allah. Mereka anak kita tapi bukan milik kita. Tentang anak-anak, saya teringat nasihat Raja Kasunan Surakarta almarhum Sinuhun Pakubuwono XII, yang berulangkali dikemukakan kepada saya setiap membicarakan putra-putri beliau. Beberapa kali bila membicarakan sikap, perbuatan atau tindakan mereka yang tidak berkenan di hati beliau, saya bertanya bahkan menyarankan agar ditegur, dimarahi dan bila perlu dicegah atau ditentang. Namun beliau selalu menjawab, “Kewajiban saya sebagai orang tua hanyalah memberitahu
mereka mana yang benar, mana yang baik dan mana yang tidak. Selanjutnya mereka sendirilah yang memutuskan. Karena meskipun mereka darah keturunan saya, tapi saya ini sekadar jalan untuk mereka berkiprah di dunia. Sedangkan kiprah dan peranannya itu sendiri sudah digariskan oleh Gusti Allah dengan kebebasan pada mereka untuk melaksanakannya.Mereka masing-masing akan mengukir nasibnya sendiri-sendiri, sesuai dengan niat dan perbuatannya”.

Dalam faham Jawa, setiap manusia memang akan berkiprah sesuai skenario kehidupan yang sudah digariskan oleh Sang Dalang, Sutradara Yang Maha Agung, Allah Swt. dan bukan sesuai skenario kita. Kewajiban kita hanyalah merawat, membesarkan, membimbing dan mendidik mereka. Kewajiban kita mengajarkan kesabaran dan ketawakalan apabila ada kejadian yang tidak menyenangkan yang menimpa kita, serta senantiasa bersyukur dalam suka dan duka. Seberapa besar rasa syukur, ikhlas dan tawakal itulah yang kelak menentukan apakah seseorang meninggal secara husnul khotimah (akhir yang baik) ataukah su’ul khotimah (akhir yang buruk), di samping tentu saja yang paling besar peranannya adalah anugerah ampunan dan kasih sayang Gusti Allah. Kematian membawa kita, yaitu hasil sinergi ruh dan tubuh memasuki Stasiun Keempat di Alam Kubur. Di sini jiwa kita boleh istirahat lagi sejenak sambil menunggu pengadilan akhirat.

Subhanallah.

(Dari kumpulan tulisan B.Wiwoho, Orang Jawa Belajar Mengenal Gusti Allah)

About the author

Avatar photo

B.Wiwoho

Wartawan, praktisi komunikasi dan aktivis LSM. Pemimpin Umum Majalah Panji Masyarakat (1996 – 2001, 2019 - sekarang), penulis 40 judul buku, baik sendiri maupun bersama teman. Beberapa bukunya antara lain; Bertasawuf di Zaman Edan, Mutiara Hikmah Puasa, Rumah Bagi Muslim-Indonesia dan Keturunan Tionghoa, Islam Mencintai Nusantara: Jalan Dakwah Sunan Kalijaga, Operasi Woyla, Jenderal Yoga: Loyalis di Balik Layar, Mengapa Kita Harus Kembali ke UUD 1945 serta Pancasila Jatidiri Bangsa.

Tinggalkan Komentar Anda