Ads
Mutiara

Jalan di Luar Istana

Kemiskinan adalah harta yang disimpan Tuhan di surga. Tentang perjalan hidup sufi besar Ibrahim ibn Adham dan sastrawan besar Leo Tolstoy.      

Ketika minggat dari istana, konon  ia hanya membawa  sebuah cangkir, sehelai selimut, dan sebuah bantal. Tapi di tengah perjalanan   cangkir itu dibuang lantaran pikirannya  terganggu setelah memperhatikan seorang lelaki yang menimba air dengan kedua tangannya. Juga bantal itu — karena ia melihat orang tidur berbantalkan tangan. Akhirnya, ia meninggalkan selimutnya ketika melihat seseorang tidur tanpa kain penghangat. Dia terus berkelana, melintasi padang pasir dan akhirnya sampai di Mekah. Di sana ia berguru kepada beberapa ulama  antara lain Sufyan Ats-Tsauri, sebelum akhirnya menetap di Suriah.

Pemuda itu adalah Abu Ishaq alias Ibrahim ibn Adham. Ia adalah anak penguasa di Balkh, salah seorang sufi besar yang wafat pada tahun 894 H ketika turut ambil bagian dalam suatu ekspedisi laut melawan Yunani. Tapi mengapa ia meninggalkan istana?      

Alkisah,  suatu malam Ibrahim mendapatkan pembantu perempuannya tidur di peraduannya, yang mewah, yang ditaburi mawar. Jongos ini sebenarnya hanya iseng, ingin menjajal tempat tidur yang empuk. Malang ia ketiduran.  Dan baru sadar setelah sang juragan mencambuknya.

“Beraninya kamu tidur di sini. Mengapa, he?”  Ibrahim menghardik.

Si pelayan yang pucat pasi hanya membisu. Tapi tak berapa lama tawanya meledak. Ibrahim bertambah murka.

“Pangeran,  hamba susah sekali tidur, walaupun sekejap, di peraduan Yang Mulia, sampai ketika hamba merasakan  tiga atau empat  cambukan yang mampir ke tubuh hamba  yang lemah ini. Hamba tak dapat membayangkan hukuman apa yang  Tuanku peroleh dari  Tuhan karena  meniduri peraduan  ini setiap malam.”

Jawaban itu merupakan pukulan telak bagi Ibrahim,  yang memang terbiasa hidup bergelimang kemewahan. Sesudah hari itu, sedikit-sedikit ia mulai mengurangi kesenangan hidupnya dan menambah ibadahnya. Suatu malam, ketika sedang berdoa, dia mendengar bunyi yang mencurigakan di sotoh, bagian terbuka di atap istana. Dia naik. Ternyata seseorang sedang bingung mencari-cari  sesuatu.

“Heh orang asing, apa yang kaucari, di sini, malam-malam begini?”

“Unta saya,” orang itu menjawab sekenanya.

“Gila kamu. Mencari unta kok di atap istana,” kata Ibrahim. Ia lalu tertawa, terbahak-bahak.

“Nah Yang Mulia sendiri……”

“Lho saya? Memangnya, mengapa saya?”

“Tuan mencari Tuhan di istana.”

Ibrahim kali ini  merasa lebih terpukul lagi. Mencari Tuhan? Di istana? Hari demi hari berlalu. Akhirnya, bagai Sidharta Gautama, dia pun memutuskan minggat.

Bedannya dengan Sang Budha: Ibrahim tidak meninggalkan dunia, demi tapanya, lalu hidup  dari derma orang lain. Benar dia mengatakan bahwa kemiskinan adalah harta yang disimpan Tuhan  di sorga dan dianugerahkan kepada orang yang dicintai-Nya. Tapi Ibrahim adalah tipikal sufi kuno yang selalu lebih “praktis”:  lebih “awas” kepada kebersihan setiap barang yang dikonsumsinya. Dia  seorang yang percaya bahwa untuk mencari nafkah orang harus bekerja keras. Dan, untuk membiayai  ongkos hidupnya Ibrahim pernah menjadi kuli pemetik gandum, menjaga kebun, bahkan tentara. Doa yang selalu dibacanya adalah: “Ya Allah, pindahkan diriku dari kehinaan maksiat kepada-Mu menuju jalan taat kepada-Mu.”

Foto Leo Tolstoy

Perjalanan hidup serupa juga bisa kita jumpai pada Leo Tolstoy. Tolstoy, pengarang roman War and Peace dan Anna Karenina  itu, yang oleh Gandhi dinyatakan sebagai rasul utama paham antikekerasan, dilahirkan di lingkungan keluarga bangsawan Rusia yang kaya raya. Tapi kemelimpahan harta duniawi dan kenyamanan hidup, juga ketenarannya sebagai novelis, ia tinggalkan. Dan sebagaimana Ibrahim ibn Adham, Tolstoy tak pernah menoleh ke belakang lagi. Dia beralih dari kehidupan mewah kepada kehidupan kerja keras. Dia mengharamkan rokok dan minuman keras untuk dirinya, menjadi seorang vegetarian, dan selalu berpakaian petani yang bersahaja. Sebisa mungkin dia memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri: menyapu rumah sendiri, bekerja di kebun, membuat sepatu sendiri.

Tolstoy ingin menerapkan ajarannya sendiri. Salah satunya adalah tentang “kerja untuk roti” (bread labour), yakni bahwa setiap orang wajib bekerja, dengan tubuhnya, untuk memperoleh roti. Dia sendiri masih kuat bekerja delapan jam setiap hari. Dan itu pun tidak menumpulkan akal budinya:  pada masa inilah ia mengarang What is Art.

Menurut dia, sebagian terbesar kesengsaraan di dunia ini akibat kelalaian manusia  dalam soal “kerja untuk roti” tadi. Karena itu amal yang pura-pura, tindakan kedermawanan orang kaya untuk meringankan beban orang miskin — padahal si orang kaya tidak pernah bekerja dengan tubuhnya dan terus hidup mewah  — merupakan kemunafikan. Kata dia, asalkan orang kaya tidak menunggangi kaum miskin, sebenarnya segala usaha, amal, dan kedermawanan tidak diperlukan.

Agama memang tidak mengharamkan kita mencari kekayaan. Sebaliknya agama mencela orang yang mengumpulkan kekayaan demi kekayaan itu, demi rasa megah, rasa unggul. Bila orang memperoleh keuntungan melebihi kebutuhannya, dan kelebihan itu dimanfaatkan sebagian umat, lalu ia kembali menikmati buahnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, itulah yang disebut rezeki. Kalangan Mu’tazilah,  seperti dikutip Ibn Khaldun, bahkan menentukan syarat sebuah barang tersebut rezeki — -yakni barang itu harus sah kepemilikannya. Karena itu, barang-barang yang di-ghasah, dipinjam tanpa izin, atau yang diperoleh secara haram, bukan rezeki kita dan harus dilepaskan. Seperti di Indonesia, misalnya, yang disebut-sebut sehubungan dengan kekayaan keluarga para pejabat negara yang diperoleh dengan cara tidak halal

Tentang Penulis

Avatar photo

A.Suryana Sudrajat

Pemimpin Redaksi Panji Masyarakat, pengasuh Pondok Pesantren Al-Ihsan Anyer, Serang, Banten. Ia juga penulis dan editor buku.

Tinggalkan Komentar Anda