Ads
Ramadan

Kapan Persisnya Nuzulul Quran

Ditulis oleh Panji Masyarakat

Bulan Ramadan, yang di dalamnya diturunkan Al-Quran, petunjuk bagi manusia, penjelasan tentang petunjuk serta pembeda. (Q.S 2:185)

Nuzulul Quran, peristiwa turunnya kitab suci umat muslimin, kita peringati setiap 17 Ramadan. Benarkah penentuan tanggal ini akurat? Ini memang bisa menjadi problem, karena dari ayat di atas (lihat terjemahan) tidak bisa ditarik perkiraan tanggal tertentu, dan tentu saja demikian.

Yang di atas itu adalah bagian pertama dari ayat tentang bulan Ramadan, Al-Quran, dan (tidak kita tuliskan) sebagian hukum puasa. Bukan kalimat selesai: hanya ada subjek dan keterangan subjek. Ini karena ia hakikatnya sebuah penjelasan, dan ini penjelasan kedua, bagi kandungan ayat sebelumnya (183): “dituliskan atas kamu puasa”. Jadi kelengkapan ayat ini, dalam asumsi kita, bisa menjadi “Waktu puasa yang dituliskan atas kamu ialah bulan Ramadan, yang di dalamnya diturunkan Al- Quran…” (‘Alauddin Al-Khazin,

Lubabut Ta’wil.fi Ma’anit Tanzil, 1:113). – Dengan demikian status kalimat ayat, yang adalah subjek (mubtada’), sebenarnya predikat (khabar) dari sebuah kalimat lengkap, sementara subjek aslinya, yang dihapuskan (mahdzuf), adalah “waktu puasa”

sekaligus penjelasan bagi “sampai hari berbilang” di awal ayat 184, yang sendirinya merupakan penjelasan pertama untuk “dituliskan atas kamu puasa” di ayat 183 (Panji, 23 Desember 1998). Beda antara kedua penjelasan itu: “pada hari-hari  berbilang” merupakan bagian dari kalimat ayat sebelumnya (183), berkedudukan zharf dalam tata bahasa Arab. Sedangkan “Bulan Ramadan…” membentuk kalimat tersendiri: ia subjek semu, berasal dari predikat sebuah kalimat lengkap yang diasumsikan. Demikian Trab, analisis kalimat.

Sementara itu, beberapa pengertian bisa ditarik dari “Bulan Ramadan, yang di dalamnya diturunkan Al- Quran”. Pertama, ungkapan itu menunjuk awal penurunan Kitab Suci. “Karena awal (pertumbuhan) agama- agama dan dinasti-dinasti adalah hal yang ditarikhkan, mengingat sifatnya sebagai waktu yang paling terhormat…” demikian Fakhruddin Razi.

 Kedua, pemaknaan Ibn Uyainah: “Bulan Ramadan, yang dalam hal keutamaannya diturunkan Al-Quran.” Ini juga pengartian Al-Husain ibn Al-Fadhl. Katanya: Seperti kalau orang mengucapkan, “Dalam hal Ash-Shiddiq, Allah menurunkan ayat anu.” Artinya: dalam hal keutamaan Abu Bakr Ash-Shiddiq.

Ketiga, pemahaman Ibnul Ambari: Bulan  Ramadan, yang untuk pewajiban puasanya kepada makhluk diturunkan Al- Quran.” Ini sama dengan: “Untuk pewajiban zakat, Allah menurunkan ayat anu.” Di atas segala-galanya, penghargaan kepada Ramadan, karena diturunkannya Al-Quran di dalamnya, berarti penghargaan kepada Al-Quran sendiri (faktor penting yang menyebabkan Ramadan berharga; pen.). (Al-Qasimi, Mahasinut Ta’wil, 111:85,86).

Injil Barnabas. Ramadan adalah bulan ke-9 dalam penanggalan qamariah Hijri. Ia satu-satunya bulan yang namanya disebut dalam Al- Quran, dan hanya disebut sekali ini. (Panji, 19 Januari 1988). Kenyataan itu memang bisa menunjukkan keistimewaannya—seperti yang sudah terlihat dari pensyariatan puasa dan penurunan Al-Quran. Bahkan menurut dua hadis yang bisa kita gabungkan riwayat Ahmad dengan sumber pertama Watsilah ibr. Al-Asqa’ r.a. dan riwayat Ibn Mardawaih dari sumber Jabi: ibn Abdillah r.a., Ramadan (atau bulan yang bertepatan dengan Ramadan; pen.) adalah bulan diturunkannya testamen-testamen (shuhuf, lembar-lembar) Ibrahim. Taurat Musa, Zabur Daud, dan Injil Isa, a.s., sementara .Al- Quran turun pada tanggal 24-nya (Ibn Katsir, Tafsrul Quranil ‘Azhim, 1:216).

Mengenai Injil, yang disebut di atas, dimaksudkan bukanlah Injil sebagai kisah perjalanan hidup (sirah) Almasih. Sepanjang kebenaran Injil Barnabas (yang tidak diakui dunia Kristen aktual), Jibril a.s. menurunkan kepada Isa a.s., pada usia beliau yang ketiga puluh (dalam Lukas 3:23, di umur ini Yesus mulai mengajar), “sebuah kitab laksana kaca yang berkilauan”, yang “meresaplah dalam kalbu Yesus”, dan dilukiskan Yesus sendiri sebagai, : antara lain, “Segala yang akan kukatakan hanyalah semata-mata datang dari kitab itu” (Barnabas 10:3-5). Itulah Injil yang sebenarnya, menurut murid langsung Almasih itu. Yang terakhir itu bisa lebih diperjelas dengan mengambil kalimat Muhammad Abduh. Katanya, “Yang kita lihat, di dalam Injil-Injil ini (yang dipakai sekarang; pen.) ialah bahwa murid-murid Almasih sendiri tidak memahami semua yang beliau khotbahkan, baik,wejangan, hukum-hukum maupun bdrita gembira—dan itulah Injil yang sebenarnya dalam keyakinan kita” (Rasyid Ridha, ,

Ai-Manar, 11:160). Dengan kata lain, yang dikhotbahkan Yesus itulah yang boleh diambil dari atau berdasarkan Injil yang diceritakan Barnabas. Perbedaan penunjukan seperti ini bisa juga dibawa ke Zabur Daud maupun, lebih-lebih, lembar-lembar Ibrahim.

Kitab-kitab tersebut itu, dalam kesimpulan para mufasir yang bisa diwakili Ibn Katsir, diturunkan kepada nabi masing-masing secara utuh. Begitu juga Al-Quran—hanya saja bukan kepada Nabi s.a.w., melainkan “ke Baitil Izzah di langit dunia”. Itu terjadi di bulan Ramadan, pada Lailatulkadar. “Sesungguhnya Kami menurunkannya di Malam Kemuliaan” (Q. 97:1). “Sesungguhnya Kami menurunkannya di Malam yang Diberkati” (Q. 44:3). Kemudian, Al-Quran diturunkan kepada Rasulillah s.a.w. secara terpisah- pisah, sesuai dengan peristiwa dan keperluan.

Begitulah diriwayatkan dari Ibn Abbas r.a., misalnya, lewat lebih dari satu versi. Termasuk versi yang mengantarkan kata-katanya, lewat penuturan Sa’id ibn Jubair, bahwa “Al-Quran diturunkan di pertengahan bulan Ramadan ke langit dunia, diletakkan di Baitil Izzah, kemudian diturunkan kepada Rasulillah s.a.w. dalam dua puluh tahun.” (Ibn Katsir, loc. cit.). Kitab Suci sendiri menjelaskannya: “Berkata mereka yang kafir,

‘Mengapa, sih, Al-Quran tidak diturunkan kepada dia sekaligus saja?’ Demikian agar dengan itu Kami teguhkan hatimu,, dan Kami bacakan pelan-pelan dan baik-baik. Tidak satu kali pun mereka membawa kepada engkau satu umpama yang tidak Kami datangkan kepadamu kebenarannya dan penjelasan yang lebih baik” (Q. 25:32- 33).

Washington, DC. Singkat kata, ada dua penurunan Al-Quran. Pertama, dari Lauh Mahfuzh ke “langit dunia”, di Baitil Izzah. Kedua, dari “langit dunia” ke Nabi s.a.w., tahap demi tahap. Terasa bagus, dan logis—kalau saja tidak kemudian bangkit kecenderungan tafsir baru ig menganggap pikiran itu tidak uerdasar. Bagi aliran ini, turunnya (nuzul) Al-Quran adalah turunnya wahyu pertama kepada Nabi s.a.w., dan itu di gua Hira, pada suatu malam Ramadan yang disebut Lailatulkadar. Rasyid Ridha, yang paling kuat dalam hal ini, menyanggah para pendahulu itu dengan jalan pikiran: kalau turunnya Al-Quran dipahami sebagai ke “langit dunia”, berarti “di bulan Ramadan itu Nabi tidak mendapat wahyu apa pun—dan itu bertentangan dengan zahir ayat (‘Bulan Ramadan, yang di dalamnya diturunkan Al-Quran, petunjuk bagi manusia…’).” Untuk apa Quran diturunkan seutuhnya, ke langit dunia, atau langit apa pun, nun jauh di sana, yang dengan demikian “tidak menjadi petunjuk buat kita”, seperti disebut ayat? Untuk apa pula ayat memberitakannya?

Allah tidak menyatakan yang begitu, katanya. Lebih-lebih mengenai Lauh Mahfuzh sendiri, “yang mereka sebut berada di atas langit yang tujuh, dan bahwa ukurannya sekian sekian, dan baliwa di situ dituliskan semua yang diketahui Allah Ta’ala, itu pun tidak dinyatakan di dalam Quran”. Karena itu ia termasuk alam gaib. Dan kenyataan alam gaib itu mewajibkan keimanan kita berhenti pada nas-nas yang teguh, tanpa penambahan, tanpa pengurangan, tanpa perincian. “Dan nas seperti itu tidak ada.” Ia kemudian menyatakan hadis Watsilah riwayat Ahmad, Thabari, dan lain-lain, yang kita muatkan di atas (yang menyebut kitab-kitab sebelum Quran juga diturunkan di bulan Ramadan, sementara Quran sendiri turun pada malam 24) “tidak sahih”. (Rasyid Ridha, op. cif.:161-162; VIL469; Panji, 26 Januari 1998).

Mengenai kitab-kitab sebelum Quran, oke, terserah saja. Tapi mengenai Quran sendiri, kalau tanggal 24 (atau tanggal apa pun di akhir bulan, sebab waktu itulah yang disebut Nabi sebagai jangka beradanya Lailatulkadar) bukan tanggal turunnya kitab suci ini, lalu kapan persisnya Nuzulul Quran?

Masih ada simpanan tanggal pada kita. Yakni, dari keterangan Ibn Abbas versi Sa’id ibn Jubair di atas, yang menyebut diturunkannya Al-Quran ke langit dunia (Baitil Izzah) di pertengahan Ramadan. Kalau ini kita cocokkan dengan Q.S 49, tentang Lailatulkadar sebagai saat turun Kitab Suci, maka Lailatulkadar itu akan harus terjadi pertengahan bulan. Ini, betapapun, menimbulkan kesukaran. Dan itulah, tentunya, yang menyebabkan Prof. Hasbi Ash-Shiddieqy, dalam bukunya, Sejarah dan Pengantar Tafsir Al-Qur’an, menyimpulkan adanya dua—bukan satu—Lailatulkadar. Pertama, yang merupakan malam diturunkannya Al-Quran (tanggal berapa pun), yang hanya terjadi sekali seumur bumi. Yang kedua: salah satu dari sepuluh malam terakhir, khususnya tanggal-tanggal gasal, dan inilah yang berulang-ulang.

Dalam kenyataannya, dunia Islam kemudian terbagi ke dalam dua pendapat. Pertama, yang memilih akhir bulan, khususnya malam 24 (lihat Qurthubi, Al-Jami’ li-Ahkamil Quran, 11:298), dengan memanfaatkan hadis Watsilah yang dinukilkan sebagai daif oleh Rasyid Ridha. Ini yang mayoritas— di Timur Tengah, misalnya, tapi juga di Amerika Serikat (setidak-tidaknya di Washington, DC, yang peringatan Nuzulul Qurannya di masjid Islamic Center, malam 24 Ramadan, penulis hadiri pada 1976). Kedua, yang minoritas—17 Ramadan— ) seperti yang dipegangi di Indonesia. Hari Perang Badar. Pendapat kedua itu sebenarnya punya alasan lain—di samping hadis Ibn Abbas versi Ibn Jubair.

Yakni, seperti disebut Hasbi, penafsiran  tertentu terhadap Q. 8:41: “…kalau kamu memang beriman kepada Allah dan yang Kami turunkan kepada hamba Kami di Hari Al-Furqan, hari bertemunya dua pasukan.” Al-Furqan, yang dalam terjemahan ayat di awal tulisan ini kita salin dengan ‘pembeda’, adalah penentu antara hak dan batil, tapi juga kemenangan (hasil penentuan kalah dan menang), selain berarti juga bukti pemungkas. Karena itu Al-Furqan salah satu sinonim Al-Quran. Tetapi Hari Al-Furqan dalam ayat ini tak lain hari Perang Badar, yang menentukan kemenangan tentara muslimin dan kekalahan kafir, dan itu tanggal 17 Ramadan—menurut Al-Hasan ibn Ali ibn Abi Thalib r.a—meskipun Urwah ibn Az-Zubair menyebut hari Jumat tanggal 19 (Thabari, fami’ul Bayan ‘an Ta’wili Ayil Quran, X:9). Adapun tahunnya tahun ke-2 Hijri.

Tetapi, benarkah yang diturunkan di Hari Al-Furqan itu Al-Quran, untuk pertama kalinya?

Ya, menurut pendapat ini (lih. Al-Quran dan Terjemahnya, 267). Hanya saja, bukan sejatinya di hari (atau malam) Perang Badar, yang berlangsung lebih dari 14 tahun setelah Kenabian. Melainkan di Hari Al-Furqan belasan tahun sebelumnya—dengan kata lain, perang tersebut terjadi di hari ulang tahun turunnya wahyu pertama di gua Hira itu. Dan karena perang itu pecah pada 17 Ramadan (yang dipilih), Nuzulul Quran—yang oleh versi hadis di atas dinyatakan berlangsung di pertengahan Ramadan—ditetapkan sebagai malam ke-17. Itulah, dalam pola pikiran Hasbi, Lailatulkadar dalam arti pertama.

Tentu, mereka yang tidak setuju bisa menyanggah: bagaimana bisa disimpulkan bahwa yang turun di Hari Al-Furqan itu (yang ternyata bukan hari Perang Badar) wahyu pertama Al-Quran, dan bukan, misalnya, “ayat-ayat, para malaikat (yang menolong pasukan Islam, di kancah perang, yang 1 jumlahnya kurang dari sepertiga bala tentara musyrik) dan kemenangan” (Al-Qasimi, op. cit. VIII:64)? Sementara itu Q. 49 jelas- jelas menyatakan turunnya Al- Quran pada Lailatulkadar (yang hanya satu), dan itu, menurut hadis-hadis, di malam akhir Ramadan? Jawabannya bisa menunjuk hadis Ibn Abbas tentang “pertengahan bulan” versi Ibn Jubair di atas.

Hanya saja, seperti juga dimuat Hasbi, kemudian dilakukan kompromi. Yakni, yang dipakai dari hadis  Ibn Abbas hanyalah pertengahan bulannya, untuk turunnya wahyu pertama di gua Hira, dengan tanggal 17 yang didapat dari ayat Perang Badar, sementara kandungan Q.S 49, sesuai dengan keterangan para mufasir klasik, mereka pakai untuk turunnya Quran ke “langit dunia”, bukan kepada Nabi. Dan itulah Lailatulkadar, yang sebagai malam keberkahan berulang setiap tahun (Qurthubi, op. cit., XX:135). Demikian maka kesukaran “terselesaikan”. Benar, ini bukan sejatinya problem agama. Karena itu tidak ada kitab tafsir yang secara khusus mempersoalkan.

Syubah ‘Asa

Artikel ini telah terbit di Majalah Panji Masyarakat edisi 38 tahun 02 1998

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda

Discover more from PANJI MASYARAKAT

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading