Kita bisa hidup sehat karena menghirup udara dan meminum air tanah yang sehat dan segar. Sebagian besar dari kita, selama ini pasti jarang merenungkan mengenai hal itu, bahkan sebagian besar tidak menyadari dan tidak memahami. Mengapa ada udara bersih dan kotor. Mengapa ada air tanah yang menjadi sumber utama kehidupan kita, apalagi secara sadar berusaha melestarikannya. Padahal apa akibatnya bila udara yang kita hirup kotor? Apa akibatnya bila tiada air bersih yang kita bisa minum? Mengapa kita tidak berterima kasih kepada udara, air dan siapa pun yang menyebabkan keberadaan keduanya? Sejauh mana kita sudah menanam pepohonan untuk menjaga lingkungan kehidupan kita, membersihkan udara serta menyimpan air tanah?
Belum lagi mengenai kesehatan fisik kita. Bagaimana bila tiba-tiba Gusti Allah Yang Maha Kuasa membuat hidung kita buntu dan tidak bisa bernafas menghirup udara segar? Seperti halnya Qarun, orang-orang sukses sering merasa kesuksesannya merupakan buah perjuangan kerasnya sendiri. Orang-orang pandai sering membanggakan kepandaiannya, dan suka lupa bahwa kepandaiannya itu merupakan hidayah dari Gusti Allah. Apa mungkin ia bisa sukes jika Allah Swt tidak meridhoi dan merahmati perjuangannya? Bagaimana jika Allah Yang Maha Tahu tiba-tiba mengacaukan saraf-saraf otaknya? Membuat si pandai tadi mendadak stroke dan menjadi lupa segalanya? Menjadi tidak berdaya sama sekali dan menjadi sangat tergantung pada orang lain? Naudzubillah.
Semua itulah yang juga disebut hukum sebab akibat, hukum asal mula kenapa sesuatu terjadi. Tidak ada hal di dunia ini yang terjadi karena dengan sendirinya kecuali Gusti Allah. Kita bisa tumbuh besar, kuat, pandai dan jaya karena menyusu banyak hal dari banyak orang dan kejadian. Dan di atas itu semua, adalah karena kersaning Allah, karena kehendak Tuhan. Itulah loro-loroning ngatunggal, dua hal tapi juga satu, yang merupakan filosofi dasar dari pengamalan filosofi sangkan paraning dumadi.
Sering terjadi jika seseorang menghadapi kesusahan, maka penyebab kesusahan terus diingat bahkan mungkin seperti menjadi dendam. Sebaliknya tatkala suskes, semuanya dilupakan, lantaran merasa kesuksesan tadi disebabkan oleh kehebatan dirinya sendiri. Ia lupa adanya peran orang lain, bahkan lupa adanya campur tangan Allah.
Demikianlah, dalam membalas budi baik terkadang kita harus menahan penghinaan dan sakit hati. Sebagai sekedar contoh, tanpa bosan, meskipun sesungguhnya sambil mengelus dada, kita harus membesarkan hati keluarga misalnya, ketika beberapa kali mengunjungi salah seorang kenalan atau pun kerabat dekat sambil membawa oleh-oleh atau buah tangan tanda kasih, tetapi tanda kasih itu dicampakkan begitu saja, bahkan dikomentari, “Saya tidak suka makanan ini”, atau “Saya tidak suka baju ini” dan sebagainya. Kita harus menghibur diri, biarlah; hak beliau untuk menyukai atau tidak menyukai buah tangan kita. Namun merupakan kewajiban kita secara tulus mempersembahkan tanda kasih sebagai bagian dari balas budi dan ungkapan rasa syukur kepada beliau yang pernah menolong, yang berjasa dan pernah membantu kita. Agar bisa berbesar jiwa, ungkapan ketidaksukaan tersebut seyogyanya dianggap sebagai ujian keikhlasan.
Ajaran tentang bersyukur atau berterimakasih, banyak tertuang di dalam Qur’an dan hadis. Lawan dari syukur adalah kufur nikmat, yaitu enggan menyadari atau bahkan mengingkari bahwa nikmat yang ia dapatkan adalah dari Allah Ta’ala. Semisal Qarun yang berkata,“Sungguh harta dan kenikmatan yang aku miliki itu aku dapatkan dari ilmu yang aku miliki” (QS. Al-Qashash: 78).
Padahal syukur itu sendiri merupakan salah satu sifat dari sifat-sifat mulia Allah, “Sesungguhnya Allah itu Ghafur dan Syakur” (QS. Asy-Syura: 23).
Imam Abu Jarir Ath-Thabari, menafsirkan ayat ini dengan riwayat dari Qatadah, “Ghafur artinya Allah Maha Pengampun terhadap dosa, dan Syakur artinya Maha Pembalas Kebaikan sehingga Allah lipat-gandakan ganjarannya” (Tafsir Ath Thabari, 21/531).
Sementara dalam ayat yang lain, Allah SWT berfirman, “Allah itu Syakur lagi Haliim” (QS. At-Taghabun: 17). Ibnu Katsir menafsirkan Syakur dalam ayat ini, “Maksudnya adalah membalas kebaikan yang sedikit dengan ganjaran yang banyak” (Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim, 8/141).
Maka bersyukur adalah menjalankan perintah Allah dan enggan bersyukur serta mengingkari nikmat Allah adalah bentuk pembangkangan terhadap perintah Allah, sebagaimana firmannya, “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu menyatakan, ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih’” (QS. Ibrahim: 7). Azab yang diperoleh manusia lantaran tidak pandai bersyukur dan membalas budi itulah, yang dimasyarakat disebut kuwalat.
Cara untuk menghindari dan mencegah kuwalat adalah mensyukuri nikmat Allah dengan menggunakan nikmatNya untuk hal-hal yang diridhoi Allah, terutama sebagai bekal ibadah dan amal saleh, serta dengan berterima kasih kepada manusia yang menjadi perantara sehingga nikmat Allah sampai kepada kita. Kanjeng Nabi Muhammad Saw bersabda, “Orang yang tidak berterima kasih kepada manusia, berarti ia tidak bersyukur kepada Allah” (HR. Tirmidzi).
Beliau juga bersabda, “Barangsiapa yang telah berbuat suatu kebaikan padamu, maka balaslah dengan yang serupa. Jika engkau tidak bisa membalasnya dengan yang serupa maka doakanlah ia hingga engkau mengira doamu tersebut bisa sudah membalas dengan serupa atas kebaikannya” (HR. Abu Daud)
Jazakallah khairan, semoga Allah membalas anda dengan kebaikan., dan semoga kita dimasukkan ke dalam golongan hamba-hambaNya yang pandai bersyukur, baik terhadapNya maupun terhadap sesamanya. Amin. (Dari kumpulan tulisan B.Wiwoho, Orang Jawa Belajar Mengenal Gusti Allah)