Kapankah saat-saat yang paling bagus untuk qiyamul lail? Ada yang rumit dan ada pula yang praktis. Toh ada sebagian dari penggiat malam itu yang kuyu.
Nabi S.A.W. bersabda, “Tuhan kami Tabaraka wa Ta’ala (Mahaberkat dan Mahatinggi) senantiasa turun di setiap malam ke langit dunia, ketika masih tersisa sepertiga malam terakhir. Dia berfirman, ‘Barang siapa meminta kepada-Ku, akan Aku kabulkan. Barangsiapa memohon ampunan-Ku, akan Aku ampuni’.” (Bukhari).
Bagi para ahli ibadah, malam merupakan saat-saat yang bagus untuk menyaksikan keagungan dan kemuliaan Allah. Dan Allah pun memberi pujian kepada penggiat qiyamul lail atau sembahyang malam. “Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam; sedangkan pada dini hari memohon ampunan.” (Q.S. 51: 17-18).
Menurur Al-Qasimi dalam kitab tafsirnya Mahasinut Ta’wil, hikmah diistimewakannya waktu menjelang subuh tak lain karena waktu itulah kesempatan yang paling senggang bagi manusia untuk mencari ‘embusan’ dzat Maha Pengasih dan kelembutan Dzat Yang Maha Suci. Saat itu, kata mufassir ini, melaksanakan ibadat memang terasa amat berat. Tetapi niat menjadi bersih, keinginan menggelora, ditambah amat dekatnya Allah Yang Maha Tinggi dan Yang Maha Kudus. Dalam riwayat Al-Hasan Al-Bashri, Lukmanul Hakim kepada putranya: “Anakku, kamu jangan lebih lemah dari seekor ayam jantan. Ia bisa berkokok menjelang subuh, sementara kamu masih mendengkur.”
Tapi kapakah kita mulai “menghidupkan” malam? Ibnul Qaiyim al-Jauziyah membuat urut-urutan sebagai berikut:
Pertama, tidak tidur sepanjang malam. Kegiatan nonstop dari matahari tenggelam hingga terbit fajar ini bersumber dari riwayat ulama salaf.
Kedua, bangun tengah malam. Ini juga diriwayatkan ulama salaf. Dalam hal ini kita tidur sepertiga malam yang pertama dan seperenam akhir.
Ketiga, bangun pada sepertiga malam. Ini berarti kita tidur hingga pertengahan malam yang pertama dan seperenam yang terakhir. Nabi Daud ‘alaihis salam biasa melakukan hal ini. “Shalat yang disukai Allah adalah shalat Daud a.s. Dia tidur pada separo malam, lalu bangun pada sepertiga malam, kemudian dia tidur lagi pada seperempatnya. Sehari dia berpuasa, sehari dia dia berbuka.” (H.R. Bukhari dn Muslim).
Keempat, kita bangun pada seperenam atau seperlima malam, tapi yang terbaik adalah separo akhir. Sebagian lagi mengatakan yang paling baik adalah justru seperenam akhir.
Kelima, kita tidak perlu mempedulikan perkiraan jadwal seperti tersebut di atas, karena untuk memperhatikannya memang sulit. Untuk itu, dua cara bisa ditempuh. Kita bangun pada awal malam sampai tertidur, lalu bagun kembali. Bila tersentak pasti kita akan bangun, dan bila dibiarkan tertidur pasti akan tertidur. Atau kita tidur pada awal malam. Bila mengambil kesempatan dalam tidur, kemudian bangun, maka pada waktu-waktu selebihnya kita bangun.
Keenam, melakukan shalat kira-kira empat atau dua rakaat. Sabda Nabi, “Shalatlah pada waktu malam, meski hanya empat atau dua rakaat.” (H.R. Baihaqi)
Tapi boleh jadi, lantaran qiyamul lail sebagian ahli ibadah menjadi loyo. Ada cerita dari Aisyah r.a. Suatu hari janda Rasulullah s.a.w. ini melihat beberapa pemuda lewat. Langkah mereka tampak lamban. “Siapa mereka?” tanya Aisyah kepada kawan-kawannya.
“Ahli ibadah,” mereka menjawab.
“Ah, kalian kan tahu Umar ibn Khattab,” katanya. “Dia itu kalau berjalan, langkahnya cepat . Kalau bicara suaranya lantang. Kalau memukul, keras. Kalau makan, kenyang. Padahal dia sebenar-benar ahli ibadah.”