Sahabat Nabi ini dikenal berpaham kerakyatan dan sulit dibungkam. Mengapa ia menolak ketika dikompori untuk memberontak? Tentang Abu Dzarr Al-Ghifari yang diasingkan oleh Khalifah Utsman ibn Affan.
Pada masa kekhalifahan Utsman ibn Affan, Abu Dzarr Al-Ghifari banyak melancarkan kritik. Maka, atas desakan berbagai pihak, Khalifah pun membuangnya ke Rabazah, sebuah kampung kecil yang berada di jalur kafilah Irak-Madinah. Mereka tampaknya khawatir oleh kritik dan agitasi Abu Dzarr yang cenderung memanaskan situasi. Padahal sebelumnya ia aman-aman saja kalau di sana-sini melancarkan kritik.
Abu Dzarr adalah sahabat yang sebelum masuk Islam adalah tokoh perampok dan pembunuh. Ia diketahui sebagai orang yang paling memperjuangkan pemerataan distribusi kekayaan. Ia menentang keras penumpukan harta, dan karenanya terus-menerus melancarkan kritik menentang ketidakadilan dan kesenjangan yang merebak terutama setelah enam tahun kekhalifahan Utsman.
Sewaktu bermukim di Syam (kawasan yang sekarang meliputi Suriah, Lebanon, Palestina, Yordania, dan tentu saja Israel), ia menyaksikan Gubernur Muawiyah hidup bermewah-mewah. Ketika Pak Gubernur akan membangun istana pribadi, Abu Dzarr sempat menegurnya. “Kalau Saudara Gubernur membangun istana ini dari uang negara, berarti Saudara menyalahgunakan uang negara,” katanya. “Kalau Saudara membangunnya dari uang sendiri, berarti Saudara hidup boros.”
Muawiyah, negarawan yang licin, tidak menjawab. Tokoh yang adalah bapak Daulah Umaiyah itu juga dicela lantaran memperbesar kekuasaan dengan dukungan kelompok masyarakat yang mendapat hak-hak istimewa yang memungkankan mereka menambah aset pribadi. Dakwah Abu Dzarr di kampung-kampung telah membangkitkan semangat oposisi terhadap pemerintah Syam. Sia-sia Mua’wiyah memintanya menghentikan agitasinya, ataupun melarang rakyat berduyun-duyun menghadiri “mimbar bebas”-nya. Akhirnya Gubernur mengadukannya ke pusat, atas tuduhan mengorbankan kebencian kelas.
“Abu Dzarr rewel terhadap pemerintah, bukan lantaran dengan itu itu dia berharap “sesuatu” dari pihak-pihak yang dikritiknya. Modus yang lazim dilakukan para oportunis negeri ini, yang bukan hanya jinak tetapi berubah perangai dari seorang pengecam yang kejam menjadi tukang puji-puji.”
Abu Dzarr dipanggil ke Madinah. Di sana dia beroleh sambutan luar biasa dari warga Ibu Kota, yang waktu itu juga sudah terkena demam perlawanan. Di sini pun tokoh ini terus melancarkan khutbahnya, sehingga sebagian hartawan Madinah khawatir. Khalifah mempertemukannya dengan Ka’b Al-Ahbar dalam sebuah debat publik. Ka’b adalah intelektual dan mantan tokoh agama Yahudi yang, di dunia hadis, banyak dikritik karena riwayat-riwayatnya yang berbau israiliyat alias dongeng Ibrani. Ka’b menyerangnya dengan pertanyaan: Apa yang sebenarnya kita inginkan dengan mempertahankan hukum waris, padahal Islam tidak mengizinkan penumpukan harta?” Tetapi, seperti sudah diduga, diskusi berakhir tanpa kesimpulan. Sementara itu situasi Ibu Kota makin runyam. Dan Khalifah meminta Abu Dzarr meninggalkan Madinah, pindah ke Rabadzah. Ini sebenarnya merupakan pembuangan, tapi dia menurut, karena ini perintah Khalifah. Malahan ketika sekelompok orang mencoba menghasutnya berontak, ia marah dan berkata, “Walaupun Utsman menggantungku di bukit yang paling tinggi, aku tidak akan mengangkat jariku untuk melawannya.” Ia wafat pada 8 Dzulhijjah 32 H di tempat pengasingannya itu.
Benar, Abu Dzarr tidak merumuskan paham kerakyatannya. Tapi semangat perlawanannya banyak mengilhami generasi-generasi berikutnya, termasuk Hasan Al-Bashri, Ahmad ibn Hanbal, atau Ibn Taimiyah. Dan hampir dipastikan, dia tergolong pengeritik yang tidak bisa dibungkam dengan uang dan attau jabatan. Ia rewel terhadap pemerintah, bukan lantaran dengan itu itu dia berharap “sesuatu” dari pihak-pihak yang dikritiknya. Modus yang lazim dilakukan para oportunis negeri ini, yang bukan hanya jinak tetapi berubah perangai dari seorang pengecam yang kejam menjadi tukang puji-puji.
Sumber: Taha Hussein, Al-Fitnah al-Kubra; M.A. Shaban, Islamic History, A New Interpretation