Kekuatan rohani hanya diperoleh jika seseorang menginsafi benar tujuan sebenarnya puasa. Jika tujuan ini tercapai, bolehlah seorang muslim berharap menjadi orang yang takwa. Puasa memang tidak serta merta membuat seorang Muslim menjadi takwa.
Tidak sedikit di antara kita yang tambah bobot, justru di bulan puasa. Setelah seharian dikosongkan,memang ada kecenderungan untuk memanjakan perut dengan makanan yang enak-anak. Apalagi pada acara-acara buka bersama. Belanja konsumsi pun seperti sulit dikendalikan. Bulan puasa memang bulan serba ada. Orang-orang boleh mengeluhkan harga-harga yang naik, tetapi itu tidak menghalangi mereka untuk menyediakan ini-itu meski tidak perlu benar. Bulan suci yang penuh ampunan ini sepertinya tidak cukup ampuh menghalangi orang untuk berkata kotor, menghina, menyebar berita bohong, seperti terlihat di media sosial.
Gambaran itu tentu bertolak belakang dengan semangat puasa itu sendiri. Yakni sebagai sarana berlatih mengendalikan diri dari jeratan nafsu perut dan faraj – keinginan melahap apa saja serta mengumbar selera rendah. Karena itu puasa disebut latihan perang melawan hawa nafsu. Rasulullah s.a.w. menyebut perang melawan hawa nafsu sebagai sebuah jihad. Ini dikatakannya sepulang dari Perang Badar melawan musyrikin Quraisy yang dimenangkan kaum Muslim. “Kita kembali dari jihad kecil menghadapi jihad besar,” kata Nabi. “Apa yang dimaksud dengan jihad yang akan kita hadapi itu?” tanya sahabat. “Berjihad melawan hawa nafsu,” jawab Nabi.
Lebih jauh beliau juga mengingatkan bahwa pengumbaran hawa nafsu akan memalingkan manusia dari kebenaran (al-haqq). Hanya dengan mengendalikan hawa nafsunya seseorang akan mampu menghindari hal-hal yang tampaknya menguntungkan namun tidak diridhai Allah. Atau membuat seseorang menyenangi hal-hal yang mungkin membawa risiko dan kerugian tetapi mendatangkan keridhaan Tuhan, seperti menegakkan kebenaran, keadilan dan seterusnya. Kekuatan rohani yang dahsyat ini tentu hanya diperoleh jika seseorang menginsafi benar tujuan sebenarnya puasa. Jika tujuan ini tercapai, bolehlah seorang muslim berharap menjadi orang yang takwa. (Q.S. 2:183). Dengan kata lain, puasa tidak serta merta membuat seorang muslim menjadi takwa.
Inti ibadah puasa, dengan demikian, bukan semata melaparkan dan menghauskan diri. Berlapar-lapar dan berhaus-haus adalah hanya alat untuk melaksanakan ibadah yang sesungguhnya. Yakni menjauhi larangan-Nya, mengerjakan perbuatan-perbuatan yang diridhai-Nya, dan mengendalikan hawa nafsu agar sejauh mungkin tersalur sebagaimana telah digariskan oleh Allah. Rasulullah s.a.w. bersabda: “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan keji (dusta) dan melakukan kejahatan (kepalsuan), Allah tidak akan menerima puasanya, sekalipun ia telah meninggalkan makan dan minum.” (H.R. Bukhari, Muslim dan Ahmad. Dalam hadis lain dinyatakan, “banyak orang yang berpuasa tetapi tidak memperoleh apa-apa, kecuali lapar dan haus, dan banyak orang yang bangun di malam hari (sembahyang, berzikir), tetapi tidak memperoleh apa-apa selain berjaga malam.” Jadi, tujuan puasa adalah untuk mencegah dusta. Itu yang pertama.
Tujuan yang kedua adalah untuk memperoleh pengampunan. Nabi bersabda, ‘”Barangsiapa menjalankan puasa dengan penuh iman dan introspeksi (ihtisab), maka akan diampuni dosanya yang telah lalu.” Jika seseorang menjalankan puasa dengan kedua prinsip ini, yakni menjaga iman dalam hati dan pikirannya serta terus menerus menjaga agar pikiran tindakannya tidak berlawanan dengan ridha Allah, maka seluruh dosanya di masa lalu akan diampuni. Jadi, puasa adalah sarana untuk melakukan introspeksi. Bukankah dengan berintrospeksi, seseorang akan menjadi lebih baik?
Yang ketiga untuk melindungi dari perbuatan tidak patut. Dalam sebuah hadis dinyatakan, “Puasa adalah bagaikan perisai. Karena itu orang yang berpuasa hendaklah (menggunakan perisainya dan) mencegah diri dari hal-hal yang tidak patut. Jika seseorang mengejek dan mengajak bertengkar dengannya, hendaklah ia berkata: ‘Aku sedang berpuasa (dan jangan libatkan dalam perbuatanmu).” Terakhir, untuk merangsang berbuat kebaikan. Dalam banyak hadis disebutkan mengenai ajakan Rasulullah kepada orang yang berpuasa untuk mengerjakan kebaikan. Termasuk mengembangkan solidaritas sesama Muslim, karena dengan merasakan sendiri haus dan lapar, seseorang dapat merasakan apa yang dirasakan oleh saudara-saudaranya yang miskin dan sengsara. Sebagaimana diriwayatkan sebuah hadis, bahwa Rasulullah s.a.w. biasanya sangat dermawan selama bulan Ramadan. Tidak seorang pun pengemis yang kembali dari pintu rumahnya dengan tangan hampa, dan budak-budak pun memperoleh kemerdekaan mereka dari beliau. Di zaman sekarang, tentu banyak cara yang bisa ditempuh untuk merealisasikan berbagai kebajikan dan mewujudkan solidaritas sesama muslim. Wallahu a’lam