Ramadan

Jangan Menggampangkan Taubat dan Permintaan Maaf

Dalam beberapa hari terakhir di bulan Sya’ban menjelang Ramadan banyak beredar copas/forward/share/broadcast melalui WA, twiter, sms, bbm dan sejenisnya menyambut nisfu sya’ban dengan menyampaikan permintaan maaf, plus embel-embel pintu maaf dan pintu rahmat sudah akan ditutup pada saat nisfu sya’ban. Masya Allah. Saling bermaafan itu bagus, namun embel-embelnya itu menakutkan. Padahal Gusti Allah Yang Maha Pengampun, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, akan selalu membuka pintu ampunan dan pintu rahmat-Nya sampai kita “menutup mata”.

Dalam kehidupan sehari-hari, sesungguhnya banyak orang yang bertindak ceroboh dan gegabah. Gegabah dalam mencari rejeki, tak peduli halal-haram. Kerakusan, keserakahan atau pun ketakutan kita pada kesusahan kehidupan dunia, mengalahkan ketakutan kita kepada Gusti Allah, mengorbankan ketaatan kita pada Allah Swt dan Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Itulah yang disebut syirik khafi atau syirik yang tersembunyi.

Banyak orang yang telah menjadikan kekuasaan, kedudukan, pangkat, gelar, harta benda, hadiah, komisi, order pekerjaan, dan berbagai pesona dunia lainnya sebagai berhala modern yang telah menjerumuskan kita ke dalam lembah kesalahan bahkan merusak ketauhidan kita.

Celakanya lagi, ada orang-orang yang seperti ini justru kehidupan dunianya makin hebat. Mereka tak merasa bersalah. Bahkan menganggap berkah. Setiap tahun umroh atau pergi haji. Traktir sana sini. Obral hadiah dan sedekah kiri kanan, semuanya tentu saja dengan uang “haram”.

Mulut dan perbuatan yang ceroboh, baik secara sengaja maupun tidak, dapat pula merugikan atau menyakiti hati orang lain. Yang tidak sengaja dan sering orang tidak menyadari misalkan ia menyaksikan seseorang melakukan kesalahan bahkan perbuatan kriminal, dan ia diam saja tidak berusaha mencegahnya, sesungguhnya ia telah melakukan apa yang disebut “crime by omission”. Ikut bersalah karena membiarkan terjadinya tindakan kriminal. Secara spiritual dan moral keagamaan, tentu saja dengan kadar yang berbeda, orang yang membiarkan seseorang melakukan kesalahan terhadap orang lain tanpa berusaha mencegahnya, bisa disebut ikut bersalah. Ia tidak menegakkan nahi munkar.

Lantaran gengsi atau bisa juga karena pengecut, bahkan orang-orang yang jelas bersalah terhadap orang lain, tak mau segera meminta maaf. Nunggu saja nanti pada saat hari raya Idul Fitri, cukup kirim pesan singkat via telpon atau kartu lebaran, mohon maaf lahir batin.

Orang-orang yang melakukan kesalahan baik secara vertikal terhadap Gusti Allah, maupun secara horizontal terhadap sesamanya, dan kehidupan dunianya terus membaik, disebut “istidraj”. Ia sedang “diujo”, dimanjakan sekaligus dimabokkan dengan aneka ragam kesenangan, dilambungkan ke atas tinggi-tinggi sampai pada akhirnya nanti dihempaskan remuk-redam. Kecuali segera menyadari kesalahannya dan bertobat.

Sementara itu ada orang yang berbuat salah dan dosa sedikit saja langsung dihukum oleh Allah Yang Maha Adil. Hukumannya spontan. Tapi justru jenis yang terakhir inilah yang harus lebih “bersyukur”, karena Gusti Allah tidak rela ia menimbun dosa.

Meminta maaf dan menebus dosa dengan bertobat, dalam tasawuf menempati kedudukan yang sangat penting. Jika diibaratkan rally mobil Sabang-Merauke, etape taubat adalah etape I. Namun sebelum start etape I, pereli harus mempersiapkan diri dengan berbagai bekal dan pengetahuan permobilan serta rute perjalanan berikut halang rintangnya. Persiapan tersebut bagi penempuh jalan Tuhan disebut pemahaman tentang ilmu-ma’rifat.

Demikianlah, orang yang merindukan dekapan dan belaian kasih sayang Gusti Allah, sesudah mempunyai bekal yang cukup, dalam etape I harus membersihkan diri dan jiwanya dari segala macam kesalahan, baik kesalahan terhadap Gusti Allah maupun terhadap sesamanya. Orang yang mengaku Islam haruslah berani bertobat dan bertaqwa. Sedangkan orang yang bertaqwa tidaklah akan melakukan perbuatan-perbuatan tercela.

Tetapi bagaimana kita harus bertobat dan meminta maaf? Janganlah Anda menggampangkan. Tobat dan permintaan maaf menurut Al-Ghazali sebagaimana telah disinggung secara singkat dalam tulisan sebelumnya, harus memenuhi ketentuan berikut :

(1)     Menyebutkan secara khusus dosa atau kesalahannya. Jangan dipukul rata seperti kita mengucapkan: “Selamat Idul Fitri, maaf lahir batin, Kosong-kosong ya…”:

(2)     Jangan mengulangi dosa dan kesalahan lagi. Berhenti total. Stop semua dosa, kesalahan dan perbuatan-perbuatan tercela : dulu, sekarang dan yang akan datang, dengan niat dan tekad semata-mata karena Allah

(3)     Tebus dengan perbuatan-perbuatan baik yang sepadan dengan dosa atau kesalahan kita, sepadan dengan akibat yang ditimbulkan. Ini tentu tidak mudah, sebab tidak jarang kerusakan atau kerugian yang ditimbulkan sudah terlalu besar. Namun toh peluang masih tetap ada.

Akhir kata, maka marilah kita senantiasa berhati-hati agar tidak sempat berbuat dosa dan kesalahan, baik terhadap Gusti Allah maupun terhadap sesamanya. Sedangkan bagi yang sudah terlanjur, ikuti tiga cara tadi, dan yakinlah, Allah Maha Pengampun. Meski dosa dan kesalahan kita bagai buih di lautan, ampunan Allah masih jauh lebih banyak, jauh lebih besar lagi Namun janganlah lupa, kesalahan terhadap sesamanya, haruslah terlebih dahulu dimaafkan oleh yang bersangkutan, sebelum  Allah memaafkan. Oleh sebab itu hati-hati, dan tuluslah dalam meminta maaf ataupun bertobat.

Lebih-lebih jangan mengulang kesalahan. Kita ini bukan keledai, karena sebagaimana bunyi peribahasa,”Keledai (saja) tidak akan terperosok dua kali ke dalam lobang yang sama” atau sebagaimana peringatan Kanjeng Nabi, “Orang mukmin tidak boleh tersengat dua kali dari satu liang”.

Naudzubillah, astaghfirullah al azhiim.

About the author

Avatar photo

B.Wiwoho

Wartawan, praktisi komunikasi dan aktivis LSM. Pemimpin Umum Majalah Panji Masyarakat (1996 – 2001, 2019 - sekarang), penulis 40 judul buku, baik sendiri maupun bersama teman. Beberapa bukunya antara lain; Bertasawuf di Zaman Edan, Mutiara Hikmah Puasa, Rumah Bagi Muslim-Indonesia dan Keturunan Tionghoa, Islam Mencintai Nusantara: Jalan Dakwah Sunan Kalijaga, Operasi Woyla, Jenderal Yoga: Loyalis di Balik Layar, Mengapa Kita Harus Kembali ke UUD 1945 serta Pancasila Jatidiri Bangsa.

Tinggalkan Komentar Anda