Keadaan kaum Muslim di antero dunia, agaknya sulit dikatakan sebagai umat yang terbaik, bahkan bisa disebut bangsa-bangsa yang mundur dan terbelakang. Celakanya pula, ada yang mengaitkan perilaku segelintir Muslim dengan terorisme.
Kuntum khairu ummah ukhrijat lin-nas, ta’muruna bil-ma’rufi wa tanhauna ‘anil-munkar wa tu’minuna billah–Adalah kamu umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, memerintahkan yang makruf dan mencegah dari yang mungkar serta beriman kepada Allah. [Q.S. Ali Imran: 110]
Siapakah yang dimaksud dengan umat terbaik, umat pilihan, atau umat yang unggul oleh Alquran itu?
Para mufasir umumnya berpendapat bahwa yang dimaksud khairu ummah itu adalah kaum muslimin atau umat Islam. Pertanyaannya kemudian, umat Islam yang mana? Apakah mereka yang hidup di zaman Rasulullah s.a.w., atau apakah jangan-jangan termasuk kaum Muslim yang hidup di era digital ini?
Dalam sejarahnya umat Islam memang pernah mencapai kejayaan di pelbagai lapangan kehidupan ketika umat lainnya justru hidup dalam kegelapan. Tapi, kalau kita mau jujur, keadaan kaum muslimin sekarang ini di antero dunia, agaknya sulit dikatakan sebagai umat yang terbaik, bahkan bisa disebut bangsa-bangsa yang mundur dan terbelakang. Celakanya pula, ada yang mengaitkan perilaku segelintir Muslim dengan terorisme, dan bahkan pesantren tertentu disebut-sebut sebagai sarang teroris. Menurut tuduhan yang keji itu, ajaran Islam terutama mengenai jihad identik dengan teror dan kekerasan.
Tampaknya diperlukan interpretasi atau penafsiran baru mengenai siapa yang dimaksud umat terbaik atau umat yang unggul itu. Seperti dikemukakan Syu’bah Asa (Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik) ayat tadi sebenarnya mengandung beberapa kriteria, yang dengan itu kita bisa mendefinisikan apa itu khairu ummah. Yakni yang menyuruh kepada kebaikan dan mencegah dari yang buruk serta beriman kepada Allah. Dalam bahasa sejarawan Kuntowijoyo, kriteria-kriteria tadi sebagai proses-proses humanisasi, liberasi (pembebasan) dan transendensi.
Tiga kriteria tersebut dipertegas oleh ayat 104 dalam surat yang sama yang juga amat populer. Yakni; “Hendaklah di antara kamu segolongan umat yang menyeru kebajikan (khair), menyuruh yang makruf dan mencegah dari yang mungkar.” Ayat ini tidak menyebut “beriman kepada Allah” tetapi menyebut acuan lain yaitu kebajikan atau khair.
Kualifikasi lainnya mengenai khairu ummah, disebut dalam surah Al-Baqarah ayat 143, yang bicara tentang umat yang adil dan pilihan atau ummatan wasatha. Secara harfiah wasath berarti tengah-tengah atau moderat, yang menunjuk pada pengertian adil. Bukankah seorang wasit, istilah yang kita kenal di sini dan berasal dari kata wasath, hanya bisa berperan dengan baik jika dia adil atau fair dalam setiap keputusannya? Oleh karena itu, hanya dengan bersikap adil manusia bisa berperan sebagai saksi sebagaimana disebutkan ayat tadi.
Dari ketiga ayat tersebut di atas, ada beberapa kata kunci (keywords) untuk menjelaskan apa yang dimaksud khairu ummah. Yang pertama adalah al-khair yang diartikan kebajikan itu. Dalam beberapa sabda Nabi dan firman Allah kata ini bisa menunjuk pada pengertian kekayaan atau kemakmuran, selain hikmah atau ilmu pengetahuan.
Kedua adalah istilah yang sudah sangat populer dan sering dijadikan jargon oleh gerakan-gerakan Islam di tanah air kita. Yakni “amar makruf nahi mungkar”. Namun demikian, amar makruf dan nahi mungkar ini seringkali mengalami penyempitan makna. Misalnya orang yang berjuang melawan korupsi, perjudian, narkoba, sementara mereka yang berikhtiar memberantas kemiskinan, misalnya melalui pemberian kredit dengan bunga rendah atau tanpa bunga kepada kaum dhuafa, tidak lazim disebut sedang melakukan amar makruf nahi mungkar. Amar makruf sebenarnya tidak bisa dipisahkan dari nahi mungkar. Sebab dalam perbuatan amar makruf implisit mencegah dari yang mungkar. Bukankah jika kebaikan ditegakkan otomatis yang buruk dapat dicegah? Begitu pula sebaliknya.
Dalam kehidupan kita sekarang, mekanisme amar makruf dan nahi mungkar ini dapat mewujud dalam bentuk-bentuk aturan-aturan atau peraturan perundangan, tata hukum dan konstitusi, bahkan rencana-rencana pembangunan yang bisa menciptakan kebaikan atau mendatangkan kemaslahatan di satu pihak, dan mencegah keburukan di pihak lain. Dengan perkataan lain, mekanisme tersebut bisa dilembagakan ke dalam suatu negara hukum atau masyarakat hukum. Tafsir masyarakat hukum atas istilah amar makruf nahi mungkar ini terkait dengan pengertian khairu ummah dan ummatan wasatha yang dideskripsikan sebagai umat yang menjaga keadilan.
Hanya saja, karena didorong semangat menggebu menjalankan syariat yang tidak dibarengi pemahaman yang komprehensif terhadap ayat atau hadis, tidak sedikit di antara kaum Muslim yang ketika menjalankan perintah nahi mungkar, justru terjebak pada anarkisme Hal ini tampak ketika mereka melakukan sweeping terhadap tempat-tempat yang dianggap sarang maksiat, atau merazia warung-warung makan yang buka siang hari di bulan puasa. Dengan demikian, dapat menyimpulkan, bahwa khairu ummah atau umat yang unggul, atau katakanlah umat yang berperadaban unggul, adalah sekumpulan orang yang memiliki kesamaan budaya (a group of people who share common culture). Yakni budaya yang berorientasi kepada kebajikan (al-khair), memiliki mekanisme amar makruf nahi mungkar, aturan dan tertib (law and order), tatanan pemerintahan yang adil, dan beriman kepada Allah.
Maka, umat (al-ummah) yang mengemban missi di atas bisa berbentuk negara, partai politik, organisasi-organisasi sukarela, korporasi, lembaga-lembaga pendidikan, dan kelompok masyarakat madani lainnya