Beberapa tahun belakangan ini, di masyarakat berkembang kebiasaan baru yang sebetulnya bagus. Yaitu mengirim sesuatu ucapan di jejaring sosial seperti “WhatsApp, Line, Telegram, BBM, SMS, Twitter, menulis di FB” dan sejenisnya kepada kaum kerabat dan handai taulan, berisi permohonan maaf sehubungan dengan datangnya bulan Puasa atau Ramadan.
Permohonan maaf menjelang Puasa sungguh beralasan sesuai hadis yang menyatakan bahwa pada bulan Puasa, Gusti Allah akan menganugerahi hamba-hambaNya dengan menurunkan rahmat, menghapuskan dosa-dosa dan doa-doa dikabulkan. Sementara hadis yang lain mengisahkan penuturan Kanjeng Nabi Muhammad Saw akan ucapan Jibril sebagai berikut, “Celakalah orang yang mendapatkan bulan Ramadhan tetapi ia tidak diampuni”.
Rasulullah juga memberikan petunjuk, barang siapa dibukakan pintu kebaikan maka hendaklah menggunakan kesempatan itu, sebab tidak diketahui kapan pintu kebaikan itu akan ditutup. Terhadap hadis ini, Syekh Abdul Qadir Jailani mengingatkan kepada para murid dan pengikutnya agar segera memasuki pintu tersebut dengan bertobat.
Tentang orang yang terlanjur berbuat salah dan dosa, Al-Hikam dari Imam Attaillah Askandary mengajarkan, jika kita terlanjur berbuat dosa, maka janganlah dijadikan alasan untuk berputus asa dalam menggapai istiqomah dengan Gusti Allah, karena bukan tidak mungkin dosa kita tersebut adalah justru dosa terakhir yang ditakdirkan kepada kita.
Tetapi, apa pula yang disebut dosa itu? Al-Ghazali menguraikan ada tigamacam. Pertama, dosa dengan meninggalkan pekerjaan yang diwajibkan Allah Swt misalkan meninggalkan salat. Kedua, dosa antara manusia dan Allah, seperti minum minuman keras, riba dan terlalu asyik dengan masalah dunia sehingga melupakan apalagi menerjang aturan-aturan Allah.
Ketiga, dosa antar manusia antara lain menyangkut urusan harta benda, urusan diri, urusan perasaan, urusan kehormatan dan urusan agama.
Nah dosa jenis ketiga inilah yang justru paling rumit, sebab Gusti Allah tidak akan mengampuni kita sebelum manusia yang bersangkutan memaaafkannya. Oleh sebab itu, di awal tulisan ini saya menyatakan kebiasaan meminta maaf menjelang Puasa “sebetulnya” bagus.
Mengapa pakai embel-embel “sebetulnya”? Lantaran dalam kenyataannya, apakah begitu mudah orang memaafkan kesalahan orang lain, terutama bila menyangkut harga diri, hanya oleh sebuah SMS, BBM, ucapan di Facebook atau ocehan di jejaring sosial, yang bersifat umum? Karena itu janganlah kita menggampangkan permintaan maaf.
Menurut Al-Ghazali, usaha menghapus dosa melalui tobat dan permintaan maaf harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
1. Menyebutkan secara khusus dosa atau kesalahan yang kita perbuat. Jangan dipukul rata sebagaimana jenis-jenis SMS atau pesan telpon genggam lainnya menjelang Puasa atau kartu lebaran.
2. Jangan mengulangi dosa atau kesalahan lagi. Pahami dan kenali kesalahan kita, agar kita tidak mengulanginya. Apalagi yang menyangkut perasaan, harga diri dan kehormatan orang lain. Stop semua dosa, kesalahan dan perbuatan-perbuatan tercela, dulu, sekarang dan yang akan datang, dengan niat dan tekad semata-mata karena Allah Swt.
3. Tebus dengan perbuatan-perbuatan baik yang sepadan dengan dosa atau kesalahan kita, sepadan dengan akibat yang ditimbulkan. Ini tentu tidak mudah, sebab tidak jarang kerusakan atau kerugian yang ditimbulkan, sudah terlalu besar. Namun toh peluang masih ada.
Akhir kata, marilah kita senantiasa berhati-hati agar tidak sempat berbuat dosa, baik terhadap Gusti Allah maupun terhadap sesamanya. Sedangkan bagi yang sudah terlanjur ikuti tiga cara tadi, dan yakinlah Allah Maha Pengampun. Meski dosa kita bagai buih di lautan, ampunan Allah masih jauh lebih banyak, lebih besar lagi.
Tetapi janganlah lupa, mengingat dosa terhadap sesamanya harus terlebih dahulu dimaafkan oleh yang bersangkutan sebelum Gusti Allah memaafkan, maka permohonan maaf atau pun bertaubat sebaiknya dilakukan secara tatap muka, dari hati ke hati dalam suasana yang enak dan tepat. Karena permintaan maaf yang disampaikan dengan tidak tepat justru bisa memperburuk keadaan.
Demikianlah adab meminta maaf menghapus dosa. Dan lebih penting lagi, jangan mengulangi kesalahan. Kita ini bukan keledai, karena sebagaimana bunyi peribahasa, “keledai (saja) tidak akan terperosok dua kali dalam lubang yang sama.” Apalagi kita manusia. Masa sih nggak bisa?
Naudzubillah.