Tobat seseorang, khususnya yang terkait dengan dosa-dosa sosial yang dilakukannya, mungkin akan diterima Allah. Tetapi hal itu tidak menghalanginya untuk menerima hukuman dunia. Permohonan ampun kepada Tuhan merupakan keharusan, sementara hukuman yang mewakili keadilan manusia juga harus ditegakkan.
Ramadhan diyakini bulan penuh pengampunan. Keyakinan ini antara lain bertolak dari hadis Nabi yang diriwayatkan Imam Bukhari: “Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadan dengan penuh iman dan perhitungan (pengharapan), maka akan diampuni dosa-dosanya.”
Seperti dikemukakan Ibn Hajar al-Asqalani dalam kitabnya Fathul bari. man yang dimaksudkan di sini adalah keyakinan bahwa ibadah puasa merupakan kebenaran perintah Allah SWT. Sedangkan ihtisab adalah harapan untuk memperoleh pahala dan ridha Allah tatkala melaksanakan ibadah tersebut. Ada juga ulama yang mengartikan ihtisab sebagai perhitungan, yakni perhitungan di akhirat nanti terkait perbuatan manusia di dunia.
Demikianlah, kaum muslim di bulan suci ini berupaya memperoleh maghfirah, ampunan, dari Allah SWT dengan cara bertobat, serta diikuti dengan sedekah. Derma atau shadaqah, kita tahu, merupakan sebuah kebajikan, dan seperti disebut dalam Quran “kebajikan itu mengusir keburukan.” (Q.S. 11:114).
Dzunun Al-Mishri, sufi-penyair, yang mengatakan bahwa tobat merupakan “kecanduan tangis untuk dosa-dosa yang sudah lampau, ketakutan untuk jatuh lagi ke dalamnya, tindakan untuk menyingkiri mereka yang rusak moral, dan mempergauli para penduduk surga.” Secara lugas, Al-Burusawi (Tafsir Ruhul Bayan) menyebut empat syarat untuk sebuah tobat; meninggalkan dosa dengan kesadaran mengenai keburukannya, menyesal atas keterlanjutan memperbuatnya, berniat untuk tidak mengulangi, dan berusaha melakukan berbagai tindakan kebajikan.
Kalangan ahlus sunnah umumnya meyakini bahwa tobat itu cukup dengan penyesalan dan komitmen kuat untuk tidak mengulang. Tapi bagaimana dengan dosa sosial? Kalangan Muktazilah secara tegas mengatakan bahwa orang yang melakukan dosa sosial wajib mengembailkan hasil kezalimannya itu. Hal serupa juga dinyatakan oleh Ali ibn Abi Thalib, yang menambahkan ke dalam syarat-syarat tobat sebagaimana sudah disebutkan, yaitu mengembalikan hasil kezaliman dan melenyapkan permusuhan. Dari syarat tobat yang disebut Ali ibn Abi Thalib, bolehlah dikatakan untuk konteks kita sekarang, bahwa orang-orang yang gemar menyebar kebencian, di antaranya melalui media sosial, tidak menunjukkan laku seorang yang bertobat. Bagaimana dengan kewajiban mengembalikan hasil kezaliman?
Di antara hasil kezaliman yang wajib dikembalikan itu adalah harta yang diperoleh dari hasil korupsi. Oleh karena itu, seorang koruptor tidak bisa dikatakan bertobat jika dia masih menyimpan harta hasil kezalimannya. Harta hasil korupsi, seperti juga harta hasil perampasan, tidak boleh dizakati, tidak boleh disedekahkan, tapi harus dikembalikan.
Tobat seseorang, khususnya yang terkait dengan dosa-dosa sosial yang dilakukannya, mungkin akan diterima Allah. Tetapi hal itu tidak menghalanginya untuk menerima hukuman dunia. Permohonan ampun kepada Tuhan merupakan keharusan, sementara hukuman yang mewakili keadilan manusia juga harus ditegakkan. Dengan kata lain, pertobatan tidak sendirinya menggugurkan sebuah hukuman. Ini berlaku bagi orang-orang yang melakukan “perusakan di muka bumi’ seperti kerusuhan, penjarahan, pemerkosaan, penculikan, penghilangan nyawa secara massal, dan seterusnya.
Ramadan adalah bulan yang bagus untuk bertobat. Tetapi untuk tobat atas dosa-dosa sosial diperlukan bukan hanya keikhlasan, tetapi juga keberanian untuk mengambil konsekuensi atas kezaliman yang telah diperbuat.