Tasawuf

Mengendalikan Nafsu, Mengolah Cipta, Rahsa dan Karsa

Dalam Kitab Wedhatama yang berarti Ajaran Tentang Keutamaan, Mangkunegara IV dari Surakarta menganjurkan agar orang Jawa belajar dari keutamaan pendiri Dinasti Mataram Islam yaitu Panembahan Senopati sebagai berikut:

Nulada laku utama
tumraping wong tanah Jawi
wong agung ing Ngeksiganda
Panembahan Senopati
kapati amarsudi
sudaning hawa lan nafsu
pinesu tapa brata
tanapi ing siyang ratri
amamangun karyenak tyasing sasami

Samangsane pasamuwan
mamangun marta martani
sinambi ing saben mangsa
kala-kalaning ngasepi
lalana teki-teki
nggayuh geyonganing kayun
kayungyun eninging tyas
sanityasa pinrihatin
pungguh panggah cegah dhahar lawang guling

Terjemahan bebasnya adalah, bagi orang-orang Jawa tirulah perilaku utama, Panembahan Senopati dari Mataram. Orang yang siang malam senantiasa mengendalikan hawa nafsunya, serta membangun kebahagiaan hati sesama. Dalam berbagai pertemuan, yang diperbincangkan adalah bagaimana menciptakan kebahagiaan secara merata. Beliau juga sering meninggalkan istana pergi ke tempat-tempat nan sunyi sepi, memadukan cipta-rasa dan karsanya, dengan selalu prihatin, mengurangi makan dan tidur.

Mengapa hawa nafsu harus dikendalikan? Karena pangkal dari segala kemaksiatan dan syahwat adalah menuruti hawa nafsu. Sebaliknya, pangkal dari setiap ketaatan, kebaikan dan kebijaksanaan adalah pengendalian hawa nafsu.Tetapi mengapa hawa nafsu hanya dikendalikan dan tidak ditumpas habis saja? Dibunuh saja?

Nafsu bersama akal dan kalbu  merupakan tiga komponen dasar yang menentukan perilaku kehidupan seseorang. Nafsu adakalanya disebut juga syahwat, adalah satu komponen dalam diri manusia yang merupakan sumber penggerak. Seluruh dinamika dari hidup manusia digerakkan oleh kesadaran dan potensi nafsu. Dalam bahasa sehari-hari yang paling sederhana, kita sering bicara mengenai nafsu makan dan nafsu bicara. Paling sedikit aktivitas manusia sehari-hari itu 80% menurut Prof.K.H.Ali Yafie digerakkan oleh nafsu.

Tentang akal, syahdan komponen inilah yang memberikan daya pikir dan daya nalar sebagai pengendali. Kita bisa berfikir dan menganalisa karena memiliki akal, dalam arti akal yang selalu disambung dengan pikiran. Akal mempunyai bentuk materi yang disebut otak, sedangkan aktivitas dan pemberdayaan otak dinamakan pemikiran dan penalaran. Sebab itu jika ada orang bodoh yang pemikiran dan penalarannya tidak berjalan, sering disebut tidak berotak atau tidak berakal. Meskipun demikian, sepintar apa pun orang, ia tidak mungkin bisa berfikir 24 jam sehari penuh tanpa henti. Sepandai-pandai dan secerdas orang, pada hemat Pak Kyai, hanya akan menggunakan pikirannya paling tinggi 20% dari seluruh kegiatan hariannya. Apalagi orang yang tidak berilmu, boleh jadi sepanjang hari otaknya tidak berfungsi, dan sekadar ikut-ikutan orang lain.

Akan halnya komponen  ketiga yaitu kalbu atau hati nurani, adalah perasaan halus yang ada di dalam manusia, yang paling dalam, di dalam lubuk hatinya. Ia merupakan kesadaran paling tinggi, dan tidak semua orang memiliki kalbu yang berfungsi, atau dalam bahasa yang lebih halus, tidak semua orang mampu mendengarkan suara hati nuraninya sendiri.

Dengan memahami ketiga komponen dasar perilaku kehidupan tersebut, maka bisa dibayangkan, bagaimana halnya jika seseorang hidup tanpa memiliki nafsu sama sekali. Hanya berfikir dengan akalnya saja disertai perasaan halusnya di dalam kalbu. Oleh karena itu  nafsu tidak dibunuh, tetapi harus dikendalikan. Misalkan, bila nafsu mulai berkobar, segeralah kendalikan dengan mengerjakan amal soleh. Bila nafsu marah hendak menguasai diri, tinggalkan semua urusan yang menjadi penyebab berkobarnya nafsu marah tersebut, dan padamkanlah dengan mengambil air wudhu, salat sunat dua rakaat dan belajar sabar.

Bila nafsu serakah dan cinta pesona dunia yang bergelora, kendalikan dengan membangkitkan perasaan puas atas apa-apa yang sudah diperolehnya dalam kehidupan (qana’ah). Bila kesombongan bergejolak tenangkanlah dengan sifat rendah hati, mengingatkan diri kita, bahwa semua kelebihan yang membuat kita sombong tadi, adalah milik Gusti Allah yang dititipkan pada kita, yang sewaktu-waktu bisa diambil kembali.

Nafsu yang kasar dan jalang sering disebut nafsu hewani, harus dikendalikan antara lain dengan banyak puasa dan berdzikir, yang dengan itu juga sekaligus membangkitkan kekuatan nabati nan lembut yang bersemayam dalam hati nurani manusia.

Dalam tubuh manusia, ketiga komponen dasar perilaku kehidupan tersebut digambarkan atau juga dilambangkan sebagai berkut: akal berada di otak, kalbu berada di dada dan nafsu berada di organ seks. Orang Jawa  menyebut pula akal sebagai cipta, kalbu sebagai rahsa dan nafsu sebagai karsa.

Para penganut spiritualis non muslim, terutama Barat yang diilhami  oleh aliran spiritual Mesir Kuno, pun mengenal hakikat tiga komponen dasar tadi, tapi mereka menyebutnya sebagai energi yang dilambangkan dengan unsur-unsur kimia. Energi pikiran yang dilambangkan dengan garam berada di kepala, energi nabati atau perasaan  dilambangkan sebagai unsur merkuri berada di sekitar ulu hati dan energi hewani yang dilambangkan dengan sulfur berada di organ seks. Orang yang mampu mensenyawakan dengan baik ketiga unsur kimia itu disebut mampu membuat emas spiritual, dan bisa menyatu dengan kekuatan dahsyat Sang Maha Kuasa sehingga memiliki kemampuan luar biasa. Sejumlah tokoh dunia dianggap mencapai kedudukan seperti itu. (Islam Mencintai Nusantara, Jalan Dakwah Sunan Kalijaga, B.Wiwoho, Penerbit Iiman 2007 dan The Secret History of the World, Jonathan Black, Pustaka Alvabet 2016).

Sahabatku, marilah kita bersama-sama senantiasa berlatih mengasah kalbu, mengendalikan hawa nafsu dan mensinergikan atau mensenyawakan cipta-rahsa dan karsa kita menjadi energi kehidupan dengan maqam yang mulia, sebagai bekal ibadah dan amal saleh. Amin.

About the author

Avatar photo

B.Wiwoho

Wartawan, praktisi komunikasi dan aktivis LSM. Pemimpin Umum Majalah Panji Masyarakat (1996 – 2001, 2019 - sekarang), penulis 40 judul buku, baik sendiri maupun bersama teman. Beberapa bukunya antara lain; Bertasawuf di Zaman Edan, Mutiara Hikmah Puasa, Rumah Bagi Muslim-Indonesia dan Keturunan Tionghoa, Islam Mencintai Nusantara: Jalan Dakwah Sunan Kalijaga, Operasi Woyla, Jenderal Yoga: Loyalis di Balik Layar, Mengapa Kita Harus Kembali ke UUD 1945 serta Pancasila Jatidiri Bangsa.

Tinggalkan Komentar Anda