Abu Manshur Al-Hallaj menyatakan anal qaq (Akulah Kebenaran), dan khalifah serta sejumlah ulama minta dia dihukum mati. Mengapa dia disebut Al-Hallaj?
Banyak julukan yang diberikan kepada Abu Manshur Al-Hallaj, sufi “tingkat dewa” yang dihukum mati karena menyatakan dirinya “Anal Haq” (Akulah Kebenaran) itu. Orang-orang India menyebut Hallaj sebagai Abul Mughits, orang-orang Cina menyebutnya Abul Mu’in, dan orang-orang Khurasan menyebutnya Abul Muhr, orang-orang Fars menyebutnya Abu Abdillah, dan orang-orang Khuzistan menyebutnya Hallaj yang mengetahui rahasia-rahasia. Di Bagdad ia dijuluki Mustaslim, sedangkan di Bashrah orang menyebutnya Mukhabar.
Abu Manshur memang dikenal sufi pengembara. Tempat-tempat yang pernah menjadi persinggahannya adalah Tustar, Bagdad, Mekkah, Khuzistan, Khurasan, Transoxiana, Sistan, India dan Turkistan, sebelum akhirnya kembali lagi Bagdad, yang sekaligus menjadi persinggahan terakhir hidupnya.
Ia lahir sekitar tahun 244 H / 858 M di dekat kota al-Baiza’ di Provinsi Fars. Ketika di Bagdad ia antara lain berguru kepada Junaid Al-Bagdadi, seorang sufi besar yang memiliki pengaruh sampai sekarang. Di majelis Al-Junaid, ia kerap mengajukan sejumlah pertanyaan yang tidak dijawab oleh Syeikh Junaid.
Ketika Syekh Junaid tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan, Hallaj menjadi jengkel dan pergi menuju Tustar tanpa pamit. Di sini ia tinggal selama setahun dan mendapatkan sambutan luas. Karena Hallaj kurang acuh terhadap doktrin yang populer pada masa itu, para theology sangat benci kepadanya. Sementara ‘Amr bin ‘Utsman menyurati orang-orang Khuzistan dan memburuk-burukan nama Hallaj. Tetapi Hallaj sendiri sebenarnya sudah bosan di tempat itu. Pakaian sufi dilepaskannya dan ia mencebur ke dalam pergaulan orang-orang yang mementingkan duniawi. Tetapi pergaulan ini tidak mempengaruhi dirinya. Lima tahun kemudian ia menghilang. Sebagian waktunya dilewatinya di Khurasan dan Transoxiana, dan sebagian lagi di Sistan.
Kemudian Hallaj kembali ke Ahwaz, dan khutbah-khoubahnya mendapat sambutan hangat dari berbagai kelompok masyarakat. Di dalam khutbah-khutbahnya itu ia mengajarkan rahasia-rahasia manusia, sehingga ia dijuluki sebagai Hallaj yang mengetahui rahasia-rahasia. Setelah itu ia mengenakan jubah guru sufi yang lusuh dan pergi ke Tanah Suci bersama-sama dengan orang-orang yang berpakaian seperti dia. Ketika ia sampai di Mekah, Ya’qub an-Nahrajuri menuduhnya sebagai tukang sihir. Oleh karena itu Hallaj kembali ke Bashrah dan setelah itu ke Ahwaz.
“Kini telah tiba saatnya aku harus pergi ke negeri-negeri yang penduduknya ber-Tuhan banyak untuk menyeru mereka ke jalan Allah”, kata Hallaj. Maka berangkatlah ia ke India, Transoxiana dan Cina untuk menyeru mereka ke jalan Allah dan memberikan pelajaran-pelajaran kepada mereka. Setelah ia meninggalkan negeri-negeri tersebut banyaklah oarng-orang dari sana yang berkirim surat kepadanya.
Setelah itu banyak cerita-cerita orang mengenai Hallaj. Maka berangkatlah ia ke Mekkah dan menetap ia di sana selama dua tahun. Ketika kembali, Hallaj telah mengalami banyak perubahan dan menyerukan kebenaran dengan kata-kata yang membingungkan. Orang-orang mengatakan bahwa Hallaj pernah diusir dari lebih lima puluh kota. Salah satu ucapannya yang dianggap kontroversial adalah “Anal Haq” itu, yang membuat sebagian besar ulama mengatakan bahwa Al-Hallaj harus dihukum mati.
Syekh Junaid pernah mengatakan kepada Al-Hallaj, “Akan tetapi tiba saatnya kelak, engkau akan membasahi sepotong kayu dengan darahmu.” Kata-kata itu kemudian terbukti kebenarannya. Para ulama yang menentang Hallaj menyampaikan ucap-ucapannya kepada Khalifah Mu’tashim,dan memohon supaya Al-Hallaj dihukum mati. Khalifah menyatakan bahwa mereka perlu mendapatkan tanda tangan Syekh Junaid. Sang Guru menolaknya, tetapi setelah didesak tiga kali, akhirnya Syekh Junaid menandatangani surat keputusan dan menyatakan dalam surat balasannya: “Kami memutuskan sesuai dengan hal-hal yang terlihat. Mengenai kebenaran yang terbenam di dalam kalbu, hanya Allah yang Maha Tahu.” Bagamana proses eksekusinya? (Bersambung)
Sumber: Fariduddin Attar, Tadzkiratul Auliya