Pendidikan, sebagai upaya untuk membangun karakter, mempunyai makna yang lebih tinggi dari pendidikan moral.
Peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) tahun ini boleh dibilang sepi berita. Kalaupun ada tertimbun oleh berita dan perbincangan sekitar pemilihan presiden, yang kini dalam proses penghitungan suara. Apalagi Hardiknas sendiri selalu diperingati dengan acara yang itu-itu melulu dari tahun ke tahun. Misalnya, jalan santai yang melibatkan para pegawai Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan dinas pendidikan di daerah-daerah. Pokoknya acara-acara yang meriah dan hura-hura.
Jika benar bahwa pendidikan di Tanah Air diprioritaskan untuk pengembangan sumber daya manusia yang berkarakter, seperti lamat-lamat kita dengar dari para pemangku kebijakan pendidikan, seharusnya kita beroleh informasi yang cukup, sudah sejauh mana pelaksanaan pendidikan karakter bagi anak-anak sekolah kita. Apakah berhasil, dan jika sukses apa indikatornya. Dan jika jauh dari yang diharapkan, apa yang menjadi kendalanya. Dengan demikian, upaya membangun karakter peserta didik tidak berhenti sebatas omongan.
Benar, pembentukan karakter atau character building termasuk yang sering diucapkan banyak kalangan akhir-akhir ini. Adakah sesuatu yang genting di negeri ini kita, sehingga orang ramai menyinggung masalah pembinaan watak ini?
Dulu, Bung Karno mengucapkan kata-kata itu dalam konteks politik. Yakni bagaimana watak bangsa dibangun. Sedangkan para pendidik seperti Ki Hadjar Dewantara mengungkapkannya dalam hubungan dengan proses pedagogik, yaitu bagaimana mendidik anak di sekolah agar selain menjadi pintar juga menjadi manusia yang berwatak. Sekarang, ungkapan ini sering digunakan untuk menjelaskan posisi Indonesia di dunia internasional, semisal dalam menghadapi tekanan negara-negara lain atau lembaga internasional, atau dalam menghadapi produk-produk budaya asing dengan berbagai implikasinya.
Character building juga kerap dipakai untuk meneropong keadaan di dalam negeri. Begitulah dikatakan, misalnya, bahwa semua kebobrokan yang kita rasakan sekarang lahir dari tiadanya watak yang cukup kokoh pada diri bangsa, pada manusia Indonesia. Kebobrokan-kebobrokan itu antara lain mewujud dalam berbagai praktik korupsi, kolusi dan nepotisme atau yang disebut KKN, absennya keteladanan dalam diri para pemimpin, rendahnya sensitivitas sosial dan lingkungan seperti eksploitasi sumber daya alam yang cenderung mengabaikan dampak sosial dan lingkungan, maraknya konflik horisontal, pelanggaran hak asasi manusia (HAM), dan sebagainya. Begitu juga dengan berbagai keterpurukan yang meliputi hampir seluruh kehidupan bangsa saat ini bersumber dari lemahnya karakter bangsa.
Lalu, mengapa karakter bangsa Indonesia lemah? Serta merta orang pun mengarahkan jari telunjuknya ke sistem pendidikan nasional yang dikatakan lebih berorientasi pada pembangunan fisik, bukan pembangunan jiwa dan karakter bangsa. Meski pendidikan bukan satu-satunya faktor kemerosotan karakter bangsa, kritik yang dialamatkan pada dunia pendidikan kita itu menunjukkan sebuah keyakinan mendalam, bahwa hakikatnya pendidikan mempunyai kontribusi besar, kalau bukan menentukan, dalam pembentukan watak sebuah bangsa.
Pendidikan, sebagai upaya untuk membangun karakter, mempunyai makna yang lebih tinggi dari pendidikan moral. Sebab pendidikan karakter bukan sekadar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, lebih dari itu pendidikan karakter menanamkan kebiasaan mengenai hal yang baik sehingga peserta didik bisa membedakan mana yang baik dan salah, mampu merasakan nilai yang baik dan mau melakukannya. Kepribadian memang erat kaitannya dengan kebiasaan yang terus menerus dipraktikkan. Jadi bukan sesuatu yang dibawa dari sono-nya.
Kebiasaan berbuat baik tidak selalu menjamin bahwa manusia yang telah terbiasa tersebut secara sadar menghargai pentingnya nilai karakter. Karena mungkin saja perbuatannya tersebut dilandasi oleh rasa takut untuk berbuat salah, bukan karena tingginya penghargaan akan nilai itu. Misalnya saja ketika seseorang berbuat jujur, hal itu dilakukan karena ia takut dinilai oleh orang lain, bukan karena keinginannya yang tulus untuk menghargai nilai kejujuran itu sendiri. Oleh sebab itu, dalam pendidikan karakter diperlukan juga aspek emosi. Jadi selain memahami nilai kebaikan juga ada hasrat dan cinta untuk mempraktikkannya.
Beberapa karakter mulia berikut ini layak diajarkan kepada anak Indonesia: cinta Tuhan dan kebenaran; tanggung jawab, kedisiplinan, dan kemandirian; amanah; hormat dan santun; kasih sayang, kepedulian, dan kerjasama; percaya diri, kreatif, dan pantang menyerah (confidence, assertiveness, creativity, resourcefulness, courage, determination and enthusiasm); keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati; toleransi dan cinta damai.
Dalam impelementasi prinsip, nilai-nilai yang diajarkan harus termanifestasikan dalam kurikulum sehingga para peserta didik faham benar tentang nilai-nilai tersebut dan mampu mengaktualisasikannya dalam perilaku nyata. Untuk itu diperlukan pendekatan optimal dalam pengajaran karakter secara efektif, yang harus diterapkan di seluruh sekolah. Pertama, sekolah dilihat sebagai lingkungan yang unik, ibarat pulau yang punya bahasa dan budayanya sendiri. Meski begitu, sekolah harus memperluas pendidikan karakter bukan saja kepada guru, staf dan siswa didik, tetapi juga kepada keluarga dan masyarakat sekitarnya. Kedua, dalam menjalankan kurikulum karakter, pengajaran tentang nilai-nilai seyogyanya berhubungan dengan sistem sekolah secara keseluruhan, yang diajarkan sebagai subyek yang berdiri sendiri namun diintegrasikan dalam kurikulum sekolah keseluruhan; dan seluruh staf menyadari dan mendukung tema nilai yang diajarkan. Ketiga, penekanan ditempatkan untuk merangsang bagaimana siswa menerjemahkan prinsip nilai ke dalam bentuk perilaku pro-sosial. Oleh karena moral bersifat abstrak, nilai-nilai moral kebaikan harus diajarkan pada generasi muda. Karena itu pula, tema yang sesuai dengan usia anak dalam berpikir konkrit perlu diakomodasi. Misalnya, cerita-cerita kepahlawanan dan kisah kehidupan yang perlu diteladani baik dari para orang bijak, maupun para pejuang bangsa dan humanisme tetap diperlukan. Bahkan, imajinasi anak terhadap kehidupan yang ideal, kendati yang dilihatnya tidak demikian, perlu ditekankan kepada anak agar ia mencintai kebajikan dan terdorong untuk berbuat hal yang sama.
Pendidikan karakter memang sarat nilai. Jika kita berpegang pada idealisme kemanusiaan, nilai merupakan kekuatan penggerak perubahan sejarah. Kemampuan membentuk diri dan mengaktualisasikan nilai-nilai etis merupakan ciri hakiki manusia. Karena itu, manusia mampu menjadi agen perubahan sejarah. Jika kita meyakini bahwa manusia merupakan agen bagi perjalanan sejarahnya sendiri, maka tidak ada alasan bagi kita untuk tidak optimistis dalam melakukan berbagai lompatan sejarah sehingga kita mampu keluar dari kungkungan kemiskinan, keterbelakangan, dan berbagai keterpurukan lainnya. Sejatinya, pendidikan karakter bisa dilakukan secara optimal karena bangsa memiliki tradisi dan akar budaya religius yang kuat. Dengan modal religiusitas yang kuat, kita berkeyakinan bahwa manusia Indonesia memiliki dorongan yang kuat untuk menjadi agen perubahan dalam masyarakat, dan mampu membangun kehidupan bersama dengan saling menghargai satu sama lain. Banyak hal yang bisa ditempuh dalam rangka penguatan pendidikan karakter. Salah satunya melalui pendidikan keagamaan yang tepat, yang tidak sekadar mengedepankan aspek kognitif seperti sekarang ini