Kekhalifahan Ali ibn Abi Thalib akhirnya runtuh menghadapi politik Muawiyah yang licin. Bagaimana putra Abu Sufyan ini menghadapi Hasan, putra Ali?
Setelah Khalifah Utsman dibunuh di rumahnya oleh sekelompok pemberontak pada 17 Juli 656, orang ramai membaiat Ali ibn Abi Thalib. Maka, sang Khalifah pun berkirim surat kepada Muawiyah ihwal terbunuhnya Khalifah Utsman ibn Affan dan “kesepakatan orang mengangkat saya.” Ali minta gubernur Syam itu ikut membaiatnya. Atau, jika menolak, nyatakan perang terus terang. Tetapi kepada Hajjaj ibn Ghaziah al-Anshari, yang membawa itu surat, Muawiyah hanya berpesan. “Kamu pulang saja. Balasannya akan dibawa utusan saya sendiri.”
Muawiyah memang dikenal seorang yang cerdas dan licin, selain pemaaf, dan sangat ahli merangkul orang. Ia baru baru masuk Islam semasa penaklukan Mekah. Putra Abu Sufyan ini pindah ke Madinah. Rasulullah mengangkatnya sebagai juru tulis, terutama untuk mencatat wahyu. Ia berjasa dalam menaklukkan beberapa daerah di Utara dari kekuasaan bangsa Romawi. Pada masa kekahalifahan Umar ibn Khattab ia diangkat menjadi gubernur Syam, menggantikan saudaranya, Yazid ibn Abu Sufyan yang meninggal akibat wabah pes pada tahun 18 H.
Muawiyah memang mengirimkan surat melalui kurirnya sendiri. Dan betapa kaget orang-orang yang hadir di majelis Ali, begitu mengetahui surat “Dari Muawiyah ibn Abi Sufyan Kepada Ali ibn Abi Thalib” itu cuma berisi “Bismillahirrahmar rahim.” Ketika ditanya situasi Syam, kurir Muawiyah tadi mengatakan bahwa di sana 50.000 orang tua-tua membasuh janggut mereka dengan air mata, meratapi kemeja Utsman yang berdarah, yang dibawa orang dari Madinah. Baju itu dikaitkan di ujung tombak, dan mereka, katanya, “siap bertempur membela kematian Utsman.”
Ada hadirin yang meradang mendengar cerita itu. “Apa kamu dikirim untuk menakut-nakuti kaum Muhajirin dan Anshar? Demi Allah, kemeja Utsman bukan kemeja Yusuf (Nabi Yusuf, yang di waktu kanak-kanak diadukan oleh abang-abangnya kepada ayah mereka sebagai sudah dimakan serigala). Kemeja Utsman bukan untuk diratapi. Yang meratapi Utsman di Syam itu orang-orang yang dulu mengecewakan Utsman di Irak.”
Akhirnya, tidak ada pilihan lain bagi Ali. Namun, ketika ia dan pasukannya akhirnya siap berangkat ke Syam, terdengar kabar bahwa Aisyah, Thalhah, dan Zubair juga sedang menyusun kekuatan, di Bashrah, juga untuk membela Utsman.” Ali berbelok — dan berhasil melumpuhkan mereka dalam peristiwa yang disebut Perang Unta itu.
Sekali lagi, Ali mengirim Jarir ibn Abdillah al-Bajali ke Syam, membujuk Muawiyah. Tapi sesampai di tujuan, duta itu dirintangi dengan macam-macam pekerjaan, sampai akhirnya Muawiyah mendapat advis dari Amr ibn Ash bahwa baiat belum bisa dilaksanakan sebelum kasus Utsman diselesaikan. Di belakang hari Thabari meriwayatkan, orang-orang Syam berjanji tidak akan campur dengan istri mereka, tidak akan mandi, dan tidak akan tidur di kasur, “sebelum para pembunuh Utsman dibunuh.”
Alhasil ketika si utusan melaporkan keadaan Syam kepada Ali, Khalifah itu menyatakan perang kepada Muawiyah. Dia menantang putra Abu Sufyan itu untuk berhadapan satu lawan satu, dan siapa yang menang berhak atas kekhalifahan. Menyadari kehebatan permainan pedang Ali, Muawiyah yang licin itu menolak. Dan perang pun berkobar. Ali boleh memenangi pertempuran demi pertempuran, tapi Muawiyah-lah yang akhirnya menang perang. Bagaimana ini bisa terjadi?
Ali memang dikenal sebagai ahli strategi perang, cendekia, zuhud, dan lurus alias tidak neko-neko. Loibnya kurang bagus. Sebagai intelektual merasa lebih banyak tahu dan dalam banyak hal memang lebih mulia ketimbang Muawiyah. Tapi Ali bukan negarawan — paling tidak, lebih moralis dibanding politikus, dua sifat yang mestinya menyatu. Sialnya lagi, massa pendukungnya kebanyakan pemberontak. Kalau ada ucapan Ali yang tidak mereka setujui, mereka bantah terus terang. Ujung-ujungnya, bukan mereka yang mengikuti Ali, tetapi sebaliknya.
Ketika pasukan Muawiyah semakin terdesak dan kemenangan Ali sudah di depan mata, Muawiyah menawarkan gencatan senjata, dan meminta penyelesaian masalah di antara mereka dilakukan melalui arbitrase (tahkim). Semula Ali menolak karena ia menilai itu hanya akal-akalan Muawiyah. Tapi para pengikutnya terus mendesak agar menerima tawaran itu, karena sudah tidak tahan perang melawan saudara sendiri. Kata Ali, “Teruskan menuntut hak kalian. Teruskan memerangi musuhmu. Mereka bukan ahli agama, bukan ahli Quran. Saya lebih tahu mereka. Dari kecil saya sudah berteman dengan mereka. Dulu mereka hanya anak-anak nakal. Sudah besar menjadi laki-laki yang jahat.”
Ali juga menolak ketika orang ramai meminta agar Ali menunjuk Abu Musa al-Asy’ari menjadi juru runding. “Kalian sudah menolak perintahku yang pertama. Sekarang, jangan membantah lagi,” kata Ali kepada para pengikutnya. “Saya tidak suka Abu Musa menjadi wakil kita.” Toh akhirnya ia mengikuti desakan para pengikutnya itu, padahal Abu Musa pun tidak menginginkannya. Dari sinilah sebenarnya kekalahan Ali dimulai. Abu Musa, yang kemudian di-skak mat di arena perundingan oleh Amr ibn Al-Ash, hanya pelengkap. Sebab, sebelum itu pun kekuatan Ali mulai terpecah. Puncaknya adalah kemunculan kaum Khawarij pasca-tahkim.
Muawiyah memang dikenal seorang yang cerdas dan licin, selain pemaaf, dan sangat ahli merangkul orang. Setelah Ali ibn Ali Thalib r.a. dibunuh oleh kaum Khawarij, para pengikutnya mengangkat Hasan, putranya. Belum lagi enam bulan, dia menyerahkan jabatan kepada Muawiyah — resminya untuk menghindari pertumpahan darah. Muawiyah menyambut baik, lalu mengirimkan selembar kertas kosong yang telah dicap dan ditandatanganinya, dan Hasan boleh menuliskan apa saja yang dia inginkan. Hasan meminta jaminan hidup dan jabatan khalifah setelah Muawiyah meninggal, di samping beberapa tunjangan. Hanya jabatan khalifah yang tidak dipenuhi Muawiyah.
Sumber: Taha Husein, Malapetaka Terbesar dalam Sejarah Islam; Sumber: M.A. Shaban, Islamic History: A. New Interpretation Vol I. (1976) ; Khawaja Jamil Ahmad, Hundred Greater Muslims (1984).