Buya Hamka menyebut Syekh Ahmad Khatib bintang Masjidil Haram. Mertuanya sendiri, Saleh Kurdi, tergolong kaya dan sering membantu Syarif manakala penguasa Mekkah itu kesulitan finansial. Dia guru Ahmad Dahlan dan Hasyim Asy’ari. Mengapa penganut mazhab Syafi’i ini mengizinkan murid-muridnya membaca karangan-karangan Abduh?
Syahdan, Syarif Mekkah mengadakan jamuan buka puasa di istananya, yang juga dihadiri Saleh Kurdi, seorang pengusaha terkemuka di kota itu yang mempunyai hubungan erat dengan keluarga Syarif. Syarif Mekah adalah sebutan untuk gubernur Mekah dan Madinah, yang dijabat oleh keturunan Rasulullah s.a.w.dari garis Hasan ibn Abi Thalib. Sebelum jatuh ke tangan keluarga Ibn Saud, kawasan semenenjung (jazirah) Arabia kala itu merupakan bagian dari Kerajaan Turki Usmani (Ottoman). Kata Hamka, “Ketika Syarif menjadi imam magrib di sana, ada bacaan yang salah, pemuda Ahmad Khatib yang menjadi makmum dengan serta merta menegur kesalahan itu, sehingga sehabis shalat, Syarif bertanya kepada Syekh Saleh Kurdi, siapa pemuda ini. Setelah diterangkan bahwa itu adalah menantunya, Syarif memuji Syekh Saleh mendapat menantu pemuda yang begitu tampan, manis, alim, dan berani. Inilah yang kelaknya menjadi pintu dia akan diangkat menjadi imam dari golongan Syafi’i di Masjidil Haram dan kemudian ditambah lagi menjadi khatib, merangkap pula menjadi guru besar, ulama yang diberi hak mengajar agama di Masjidil Haram.”
Tidak syak lagi, pemuda Ahmad Khatib yang disebut Hamka itu adalah Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, orang Indonesia ketiga yang menjadi Imam Masjidil Haram, setelah syekh Junaid Al-Batawi dan Syekh Nawawi al-Bantani. Tokoh ini sering disebut-sebut pelopor gerakan pembaruan Islam pada awal abad ke-20 di Indonesia. Sekurang-kurangnya guru bagi kaum modernis generasi awal Dia memang guru kaum muda angkatan pertama semisal Ahmad Dahlan, Haji Abdul Karim Amrullah, ayah Haji Abdul Malik Karim Amrullah alias Hamka, Muhammad Jamil Jambek dan Haji Abdullah Ahmad. Tapi jangan lupa, Syekh Khatib juga guru Kiai Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama.
Hamka sendiri memperoleh cerita itu dari Abdul Hamid Al-Khatib, putra Syekh Ahmad Khatib, pada tahun 1927, ketika dia menunaikan ibadah haji dan bekerja pada perusahaan keluarga Saleh Kurdi. ‘‘Setelah 10 tahun dia di Mekkah, karena baik budi dan luas ilmunya dan disayangi orang, beliau disayangi oleh seorang hartawan Mekkah, bernama Syekh Saleh Kurdi, saudagar dan penjual kitab-kitab agama. Syekh Saleh berasal dari keturunan Kurdi dan mazhab orang Kurdi adalah Syafi’i Oleh karena Syekh Saleh seorang hartawan dan baik hubungannya dengan pihak kerajaan syarif-syarif di Mekkah, maka Ahamd Khatib dikenal oleh istana dan ulama-ulama lain; dan memang sikap budi bahasanya dan keteguhan pribadinya menunjukkan pula bahwa dia seorang yang berdarah dan berbudi bangsawan. Bintangnya cepat naik,” kata Hamka.
Meskipun kaum muda itu memperoleh pengajaran dari Syekh Khatib, bukan sendirinya harus mengikuti paham guru mereka. Sebetulnya tidak aneh: bukankah Washil ibn ‘Atha memisahkan diri dari gurunya, Abul Hasan Asy’ari? Ahmad Khatib tidak bisa membebaskan dirinya dari tradisi keagamaan bermazhab. Beliau tetap berpegang alias bertaqlid kepada mazhab Syafi’i. Dia memang menyuruh murid-muridnya membaca karangan Muhammad Abduh, tokoh pembaru dari Mesir yang pemikirannya amat berpengaruh pada Dahlan itu. Tetapi hal ini tidak berarti Ahmad Khatib setuju dengan pemikiran-pemikiran Abduh. Rupanya beliau membolehkan murid-muridnya membaca karangan-karangan Abduh, supaya pemikiran-pemikiran pembaharu dari Mesir itu ditolak.
Ahmad Khatib boleh dibilang berasal dari keluarga terkemuka dan dinamis. Dia lahir di Bukittinggi pada tahun 1855. Ayahnya berlatar belakang adat, sedangkan ibunya keturunan ulama terkemuka. Jadi, darah yang mengalir di tubuh Ahmad Khatib berasal dari golongan ulama dan kaum adat. Namun, unsur ulamalah yang kemudian memainkan peranan lebih penting dalam hidupnya, dan kelak bahkan dia menantang beberapa unsur dan kedudukan golongan adat. Ibunya adalah adik ibu Syekh Taher Jalaluddin (1869-1956). Dia juga punya seorang keponakan yang kelak menjadi orang besar di Republik. Namanya Haji Agus Salim. Pada usia yang masih muda sekali, Ahmad Khatib dibawa ayahnya ke Mekkah dan kemudian bermukim di sana sampai akhir hayatnya (1916)..
Waktu Snouck Hurgronje bermukim di Mekkah (1884/5), Syekh Ahmad Khatib belum begitu terkenal. Orientalis yang menyamar dengan nama Abdul Ghaffar itu tidak menyebut namanya dalam buku tentang Mekah. Satu dasawarsa kemudian, 1894, dan seterusnya barulah Snouck menulis laporan tentang Syekh Khatib. Bahkan pada tahun 1904 Ahmad Khatib disebut sebagai: “Seorang yang berasal dari Minangkabau, yang oleh orang Jawa di Mekkah dianggap sebagai ulama yang paling berbakat dan berilmu di antara mereka. Semua orang di Indonesia yang naik haji, mengunjungi dia”.
Menurut Haji Agus Salim dalam kuliahya di Universitas Cornell pada tahun 1953, Syekh Ahmad Khatib tidak mempunyai hubungan yang baik dengan Snouck Hurgronje waktu dia mengunjungi Mekkah. Memang dalam buku Snouck Hurgronje banyak tokoh yang menerima gambaran yang lengkap tetapi Ahmad Khatib tidak, barangkali karena dia masih terlalu muda pada waktu itu. Pada tahun 1905 Snouck Hurgronje dimintai pendapatnya tentang kemungkinan Agus Salim diangkat sebagai pegawai Kedutaan di Jeddah dan Residen Riau pada waktu itu mengemukakan keberatan: “Mungkin Agus Salim akan dipengaruhi oleh pamannya di Mekkah yang begitu fanatik antiadat.” Pada waktu itu Snouck Hurgronje tidak melihat bahaya dalam posisi Agus Salim di Jeddah.
Boleh jadi Snouck tidak begitu menyukai Syekh Khatib. Bahkan orang yang pernah menikahi mojang priangan ini, dan punya anak pula tapi dia tidak mengakui perkawinan dan otomatis anaknya itu di depan hukum Belanda, punya pandangan yang miring terhadap mertua Syekh Khatib. Menurutnya Saleh Kurdi seorang woekeraar, alias rentenir, yaitu orang yang meminjamkan uang dengan bunga yang terlalu tinggi. Lantaran kaya sekali dia pernah menolong Syarif yang sedang kesulitan uang. Dengan begitu dia pun menjadi cukup akrab dengan penguasa Mekkah itu, dan bisa mendapatkan kedudukan terhormat untuk menantunya. Seperti dikatakan Steenbrink, pandangan Snouck Hurgronje tentang Ahmad Khatib ini penuh dengan kritik tajam dan fitnah. Kritik ini mungkin didalangi oleh Sayid Usman, penasehat pemerintah kolonial untuk urusan Arab dan teman dekat Hurgronje, yang berpolemik dengan dia.
Yang pasti, Saleh Kurdi juga aktif di bidang penjualan buku dan penerbitan – dan di sana pula Hamka, yang waktu itu masih menyebut dirinya si Malik, bekerja sambil mendalami kitab-kitab yang dijual di toko itu. Ia sempat berpikir untuk mengikuti jejak ayahnya, bermukim lebih lama di Tanah Suci untuk belajar dan mengajar. Namun Haji Agus Salim membujuknya. “Lebih baik engkau kembangkan dirimu di tanah airmu sendiri,” saran keponakan Syekh Achmad Chatib, yang waktu itu sudah menjadi pemimpin terkemuka Sarekat Islam. Dan sang paman,yang tak lain juga guru Haji Agus Salim, merupakan pendukung SI ketika organisasi itu baru berdiri (1912) dan dipimpin oleh H.O.S. Tjokroaminoto yang mengajak langsung Haji Agus Salim bergabung dengan SI.
Sumber: Hamka, Kenang-kenangan Hidup (1979); Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Perkembangan Islam di Indonesia Abad ke-19 (1984);