Rezim mana pun, yang tampak megah dan jaya, bisa tidak sadar menimbun ketidakpuasan dari bawah akibat banyak sekali kejanggalan yang di pertahankan. Dari tragedi Khalifah Ustman ibn Affan.
“Adapun perkara maut, aku tidak takut. Kematian bagiku sepele. Bertempur? Ribuan orang akan datang mendampingiku melawan kalian, kalau aku menginginkannya. Tapi tidak, Saudara-saudara. Saya tidak mau menjadi penyebab tertumpahnya darah kaum muslimin. Walau setetes.”
Pidato mencekam itu disampaikan oleh Khalifah Utsman ibn Affan r.a. di hadapan para pemberontak, yang mendesak Khalifah menyerahkan sekretarisnya, Marwan ibn Hakam. Darah memang tidak menjadi tumpah, waktu itu. Tapi krisis berlanjut, bahkan mencapai puncaknya pada 17 Juni 659 Masehi. Menjelang pagi, para pemberontak menyerbu rumah Khalifah. Mereka memanjat dinding bagian belakang, tidak melalui pintu gerbang yang dijaga oleh putra-putra Ali ibn Abi Thalib atas permintaan ayah mereka. Khalifah berusia 82 tahun itu tewas ditikam sewaktu mengaji. Darahnya berceceran di antara lembaran mushaf yang baru saja selesai ditulis dalam ejaan baru. Jari manis istrinya terpotong saat membela sang suami. Waktu itu Madinah relatif sepi: sebagian penduduknya berangkat ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji.
Tragedi itu berawal dari ketidakpuasan sebagian penduduk (khususnya di luar Hijaz, wilayah yang antara lain meliputi Mekah dan Madinah) terhadap beberapa kebijaksanaan Khalifah, sebagian lantaran nasihat-nasihat yang menyesatkan dari Marwan, sekretarisnya tadi, ditambah hasutan Ibn Saba (Yahudi Yaman yang masuk Islam di masa Umar) dan pengikutnya. Yang menjadi sorotan terutama adalah nepotisme, kesenjangan ekonomi, serta perilaku para pejabat yang korup dan mewah, yang sulit dikontrol Khalifah yang tua dan capek.
Utsman dipilih oleh satu tim formatur beranggotakan enam orang yang dibentuk oleh Umar ibn Khattab di hari-hari terakhir hidupnya. Ada kandidat lain yang lebih kuat sebenarnya yaitu Ali. Utsman terpilih karena dia menyatakan komitmennya untuk melanjutkan kebijaksanaan dua khalifah terdahulu. Sedangkan Ali tidak. Dia dilantik tiga hari sesudah Umar mangkat.
Utsman yang berjasa dalam menyeragamkan naskah Aquran dikenal sebagai sahabat Nabi yang dermawan. Tidak terhitung jumlah harta yang dibelanjakannya untuk kepentingan kaum muslimin. Pembebasan tanah untuk perluasan Masjid Nabi di Madinah berasal dari kocek saudagar kaya itu. Dalam salah satu pidatonya ia mengatakan:
“Ketika kekhalifahan dipercayakan kepadaku, aku adalah pemilik unta dan kambing paling banyak di negeri ini. Sekarang aku tidak punya kambing lagi. Ada dua ekor unta untuk pergi berhaji. Demi Allah, tidak ada kota yang aku kenai pajak di luar kemampuan penduduknya, sehingga aku dapat disalahkan. Apa pun yang aku ambil dari rakyat, aku gunakan untuk kemaslahatan mereka. Hanya seperlima bagian aku ambil (dari Baitul Mal) untuk keperluan pribadi. Namun uang itu akan aku belanjakan untuk orang-orang yang berhak menerimanya, dan bukan untukku sendiri. Tidak satu keping uang masyarakat pun yang aku selewengkan. Yang aku makan pun berasal dari sumber penghasilanku sendiri.”
Enam tahun pertama, masa kekhalifahannya berlangsung stabil. Sayang kemakmuran yang muncul tidak diikuti usaha pemerataaan, sehingga “pendekar persamaan dan keadilan” seperti Abu Dzarr semakin vokal dan ikut memanaskan situasi. Keadaan semakin runcing menyusul penggantian besar-besaran aparat pemerintah, dengan para pejabat baru yang sebagian kerabat Khalifah. Benar, untuk menepis kesan nepotisme, Utsman mencopot beberapa gubernur dari marganya, Bani Umaiyah. Padahal di antara yang dicopot itu terdapat administrator yang andal. Tapi itu belum cukup.
Berbagai unsur ketidakpuasaan itu menyatu dalam gelombang protes yang terus membesar. Mereka mengepung Kota Madinah. Ketegangan memuncak: penduduk Kota yang bertekad mempertahankan Khalifah mereka sampai darah penghabisan dilarang Utsman karena dia tidak menginginkan timbulnya pertumpahan darah. Ali memang tidak mengindahkannya: ia menempatkan dua putranya untuk mengawal rumah Khalifah.
Para pemberontak akhirnya menarik diri setelah Utsman memenuhi salah satu tuntutan mereka: mengangkat Muhammad ibn Abi Bakr Ash-Shiddiq sebagai gubernur Mesir. Tapi beberapa hari kemudian, para pemberontak kembali mengepung kota. Mereka mengaku menemukan sepucuk surat rahasia Khalifah kepada gubernur Mesir. Isinya: perintah agar gubernur memenggal kepala Muhammad ibn Abi Bakr setibanya di sana. Para pemberontak tidak bisa menunjukkan siapa kurir pembawa surat itu. Mereka menerima pernyataan Khalifah, tapi kini menuduh Marwan, sang sekretaris sebagai yang bertanggung jawab, dan menuntut agar Marwan diserahkan. Khalifah menolak. Tidak ada bukti.
Sejarah kemudian mencatat: pertumpahan darah yang dikhawatirkan itu menemui kenyataan. Malahan kematiannya tidak cukup menghalangi massa dari penumpahan darah sesama. Sebab sesudah itu terjadi berbagai kemelut politik yang menyeret perang saudara. Ali, yang mereka angkat sebagai pengganti, menghadap Aisyah yang mengangkat senjata. Mu’awiah muncul pula sebagai khalifah tandingan, dan Ali gugur di tangan para mantan pengikutnya sendiri, kaum Khawarij. Disusul putranya, Husain, yang bersama keluarga dan pengikut dibantai di Karbala oleh pasukan gubernur Umaiyah di Irak, Abdullah ibn Ziad. Kemudian perang Umaiyah melawan Ibn Zubair dari kubu keluarga Aisyah, terakhir di Masjidil Haram, yang antara lain merusakkan Ka’bah.
Orang menyebut kematian Utsman dan seterusnya sebagai malapetaka terbesar (al-fitnatul kubra) dalam sejarah Islam. Sepatutnya orang tetap memelihara sikap fair menghadapi tema ini. Dan sepatutnya orang mengambil ‘ibrah, ibarat, pelajaran — bahwa rezim mana pun, yang tampak megah dan jaya, bisa secara tidak sadar menimbun ketidakpuasan dari bawah akibat banyak sekali kejanggalan yang dipertahankan. Ia bisa diam-diam kehilangan kepercayaan, dan (dalam keadaan masih kuat) menjadi sasaran sikap sinis dan desas-desus. Bila ia sampai tumbang, maka, seperti yang mungkin terjadi di masa Utsman, ada yang membusuk, katakanlah, di semua sel tubuhnya, sementara perbaikan tidak bisa dilakukan karena menyangkut banyak sekali kepentingan.
Sumber: Taha Hussein, Al-Fitnatul Kubra; M.A. Shaban, Islamic History, A New Interpretation Vol. I (976)