Dalam kehidupan kita sekarang, kejujuran bukan lagi sesuatu yang mesti dipegang teguh. Di di dunia politik, misalnya, kebohongan atau dusta sudah menjadi seni.
Muhyiddin Abdul Qadir Al-Jilani (1077-1166 M) dikirim keluarganya ke Bagdad untuk menempuh pendidikan di Madrasah Nizhamiah. Ia berangkat bersama serombongan kafilah. Malang, dalam perjalanan mereka diserang perampok. Satu per satu anggota rombongan dirampas hartanya.
Tiba giliran Muhyiddin mereka hanya menemukan tempat tidur kumal dan beberapa potong pakaian lusuh. Seorang penyamun bertanya apakah ia bawa barang yang lain, “Ya, saya membawa 40 dinar,” jawab pemuda itu. Tetapi ketika para begal mengaduk-aduk tempat tidur dan pakaiannya, mereka tidak menemukan uang itu. Lalu ditinggalkan, dan mereka menggeledah yang lain.
Setelah seluruh harta benda anggota kafilah dilucuti, kawanan itu melapor kepada pemimpin mereka tentang Muhyiddin. Benggolan perampok minta supaya dia menghadap.
“Hei, katanya kamu punya 40 dinar?”
“Betul.”
“Mana? Ayo tunjukkan!”
Anak muda itu mengoyak bajunya, dan mengeluarkan kepingan uang 40 dinar. Para penyamun hanya melongo seakan tidak percaya.
“Mengapa kamu perlihatkan hartamu yang berharga itu? Toh tidak ada yang bakal curiga seandainya tidak kamu tunjukkan,” kata pemimpin perampok.
“Kata ibu saya, yang menjahit uang ke dalam baju ini, sekali-kali kamu tidak boleh berbohong.”
Ringkas cerita, pemimpin perampok, diikuti anak-anak buahnya, mengembalikan semua harta yang mereka rampas kepada anggota kafilah. Merek bertobat, kembali ke jalan yang lempang.
Potongan kisah hidup Abdul Qadir muda itu bukan sebuah epos, yang dalam kisah-kisah masa lampau dimonopoli kaum bangsawan dan para ksatria istana. Ini cerita orang biasa yang masih percaya nilai-nilai kejujuran, meskipun orang sekarang mungkinn menilainya sebagai tindakan naif atau bahkan bodoh.
Mengapa orang di negeri ini sekarang berkukuh untuk berdusta, padahal sudah tidak ada celah lagi baginya untuk menyembunyikan kebohongannya? Apa benar, jika orang jujur bakal hancur?
Kisah pendiri tarekat Qadiriyah itu mengisyaratkan bahwa kejujuran tidak bersifat kondisional. Tetapi sesuatu yang tertanam kuat di dasar hati, dan telah menjadi bagian dari prinsip hidup. Oleh karena itu, sungguh mengena apa yang dikemukakan Syekh Al-Junaid. Seperti dikutip kitab Risalah al-Qusyairiyah karya Imam Al-Qusyairi, ia menyatakan, “Inti kejujuran bahwa engkau berkata jujur di wilayah yang, jika seseorang berkata jujur, ia tidak akan selamat kecuali berdusta.”
Ungkapan sufi besar dari Bagdad mengenai kejujuran itu mengacu kepada sebuah hadis Nabi dari Abdullah ibn Mas’ud, yang menyatakan: “Jika seorang hamba tetap bertindak jujur dan berteguh hati untuk bertindak jujur, maka ia akan ditulis di sisi Allah Ta’ala sebagai orang yang jujur. Dan jika ia tetap berdusta dan berteguh hati untuk berbuat dusta, maka ia akan ditulis Allah sebagai pendusta.” (H.R. Abu Daud dan Tirmidzi).
Akan tetapi, dalam kehidupan kita sekarang, kejujuran tampaknya bukan lagi sesuatu yang mesti dipegang teguh. Di di dunia politik, misalnya, kebohongan atau dusta sudah menjadi seni. Ada yang mengemasnya secara halus, dan ada pula yang membungkusnya secara kasar. Namun apa pun bungkusannya, dusta tetaplah dusta. Kita, dengan itu, mungkin bisa mengelabui orang, tetapi tidak pada diri sendiri.