Bohong dan kesaksian palsu, demi apa pun, termasuk untuk kepentingan agama, merupakan perbuatan hina dan dosa besar. Kisah Syekh Al-Badawini dari India dan seorang ulama yang lain.
India tak hanya Mahatma Gandhi, asketis yang kemudian menghabiskan hayatnya di ashram. Laki-laki kurus berkacamata ini – yang hanya mengenakan lancingan (sarung yang bagian tengah-bawahnya ditarik di antara dua kaki ke belakangan dan disangkutkan pada gulungan di atas pantat) dari hasil tenunannya sendiri – memang sudah menjadi bapak rohani para pejuang anti kekerasan. Tidak hanya dia, memang. Di sana juga terdapat para ulama berkarakter – pejuang kemerdekaan seperti juga Gandhi, meskipun mungkin kini kisah mereka hanya menjadi catatan kaki sejarah negeri itu.
Pada 1857 meletus pemberontakan melawan Inggris. Syekh Al-Badawini, salah seorang ulama, dituduh terlibat. Dia diajukan ke pengadlan. Tak nyana, hakim yang memeriksa perkaranya ternyata adalah salah seorang muridnya. Melalui kawan-kawannya, hakim berpesan agar Syekh menolak tuduhan itu dan dia akan membebaskannya. Namun Badawini tak hendak. “Aku memang sudah ikut serta melawan kekuasaan Inggris. Bagaimana aku harus berbohong?” katanya. Terpaksa hakim menjatuhkan vonis mati.
Ketika syekh bersiap menuju gantungan, sang murid menangis. “Sampai detik ini pun jika Tuan Guru mau mengatakan sekali saja bahwa tuduhan itu palsu dan Tuan Guru tidak terlibat, saya akan berusaha membebaskan Tuan Guru.”
Orang tua itu marah. “Kamu ingin merusak amalku dengan menyuruhku berbohong kepada diri sendiri? Sungguh rugi dan sia-sia jika aku begitu. Aku memang terlibat dalam pemberontakan itu. Perbuatlah yang kalian kehendaki.
Syekh Badawini dieksekusi. Al-Badawini tampaknya yakin benar bahwa bohong dan kesaksian palsu, demi apa pun, termasuk untuk kepentingan agama merupakan perbuata hina dan dosa besar. “Wahai orang-orang beriman, jadilah kamu para penegak keadilan, menjadi saksi demi Allah walaupun terhadap diri sendiri atau ibu-bapak dan kaum kerabat.” (Q.S 4: 135).
Nah. Bagaimana dengan para pembesar di negeri ini jika menadapi kasus hukum? Bohong, rekayasa, nyogok dan seterusnya, tampaknya sudah lumrah digunakan untuk meloloskan diri dari jeratan hukum, sekurang-kurangnya tidak dihukum berat.
Pada masa kolonial, juga di India, terdapat kisah ulama yang berkaitan dengan hukum. Syahdan, di Kandahla, distrik Muzaffarragar, terjadi perebutan sebidang tanah antara orang-orang Hindu dan kaum muslimin. Pihak Hindu mengklaim lokasi itu sebagai tempat peribadatan mereka; begitu pihak Islam. Karena tidak tercapai kesepakatan, kemudian mereka membawa perkara ke pengadilan. Hakim, yang sudah mendengarkan alasan mereka, tidak dapat memutuskan. Kemudian dia bertanya kepada orang Hindu, apakah di desa mereka ada seorang muslim yang mereka akui kejujurannya dan mereka percayai, untuk dia mintai pendapatnya.
Orang-orang Hindu ini kemudian menyebut seorang syekh yang terkenal saleh. Hakim meminta ulama itu dihadirkan ke pengadilan. Malangnya, kepada utusan Pak Hakim orangtua itu mengatakan, Aku sudah terlanjur bersumpah tidak akan melihat wajah orang Eropa.
Hakim masih berkeras agar dia bisa hadir. Katanya, “Boleh saja dia bersikap seperti itu, tetapi dia harus datang memberikan kesaksiaannya.”
Syekh pun hadir di pengadilan. Seraya membalikkan punggungnya, dia berkata, “Yang benar, dalam kasus ini, adalah orang-orang Hindu. Tanah itu milik mereka.” Dengan pernyataan “saksi ahli” ini Hakim memutuskan perkara. Kaum muslimin kalah, tetapi peristiwa itu amat membekas di hati kalangan Hindu. “Dan janganlah sekali-kali kebencian kepada suatu kaum mendorong kalian bertindak tidak adil. Berlakulah adil karena yang lebih dekat kepada Takwa. Dan bertakwalah kepada Allah…..” (Q.S 5:8).