Ads
Aktualita

Program Darurat Presiden Terpilih

Pemilu termasuk Pilpres sudah kita laksanakan Rabu 17 April 2019.  Lepas dari segala kelemahan dan pro-kontranya, itu sudah berlangsung. Biarlah nanti waktu yang mencatat. Sebagai warga negara, kita berharap siapapun  Presiden dan anggota legislatif yang terpilih, hendaklah kita semua bisa memetik pelajaran dan hikmah dari perjalanan demokrasi prosedural multipartai yang dari waktu ke waktu cenderung membelah bangsa dalam taburan bibit-bibit konflik SARA.

Dalam politik pemerintahan, kita sering mendengar ada  “Program  100 hari Pemerintahan atau Kabinet Baru”. Istilah ini berasal dari Jenderal Perancis yang amat terkenal yaitu, Napoleon Bonaparte. Begitu ia dapat meloloskan diri dari pengasingannya di Pulau Elba Maret 1815, ia merancang program perang 100 hari.

Dalam suasana musim semi yang nyaman itu tentara Napoleon bergerak ke timur menuju Rusia. Namun Tuhan Sang Maha Sutradara punya skenario lain, dengan memerintahkan balatentaranya dari kepulauan Nusantara, Gunung Tambora, agar meletus sedahsyat-dahsyatnya. Maka selama periode 10 – 15 April 1815 Tambora meletus, dengan puncak letusan pada 12 April 1815. Inilah letusan terdahsyat selama 10.000 tahun, empat kali lipat dari letusan Gunung Krakatau. Letusan ini menimbulkan gempa vulkanik sebesar 7 SR serta memuntahkan asap pekat setinggi 43 km. Dampaknya selama setahun terjadi dunia tanpa musim panas. Di seluruh dunia matahari tertutup, bahkan di sebagian Eropa curah hujan dingin hampir berlangsung sepanjang tahun. Akibatnya rencana dahsyat Napoleon berantakan.

Tokoh dunia berikutnya yang menggunakan istilah Program 100 Hari adalah Presiden Amerika Serikat ke 32: Franklin D. Roosevelt, dikenal dengan FDR. Apakah FDR sedang menghadapi situasi perang? Jawabnya ya. AS tengah menghadapi perang besar dibidang sosial ekonomi, “Great Depression”, yang mengancam kehidupan rakyat dan bangsanya. Demikianlah, pada tahun 1933, dalam pidato pelantikannya sebagai Presiden, ia melancarkan program-program pemulihan situasi, agar AS keluar dari jurang resesi dengan melakukan reformasi ekonomi, sosial dan politik.

Apakah Program 100 hari yang kemudian dikenal sebagai New Deal, segera dapat mengentaskan AS dari resesi besar? Tentu saja tidak. Program 100 Hari FDR dipakai pertama-tama untuk mengokohkan kepemimpinannya, menggalang dukungan rakyat, menegakkan disiplin masyarakat, membangun harapan dan membuat 15 Undang-Undang yang akan dijadikan sebagai arah dan pedoman bergerak bersama keluar dari jurang resesi.

FDR yang fisiknya lemah karena terserang folio pada tahun 1921, ternyata berhasil membawa negara raksasa AS mengalahkan “Great Depression”, dengan melancarkan program-program penghematan nasional yang dimulai dari atas, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan harga-harga produk pertanian, meningkatkan daya beli rakyat, membangun infrastrukstur dan menghentikan spekulasi pasar uang. Semboyannya yang amat terkenal adalah: “ Action now. We must act and act quickly.” Model Program 100 Hari ini selanjutnya dipakai oleh Presiden-Presiden AS berikutnya.

Apakah Pemerintahan hasil Pemilu 2019 nanti harus meniru membuat Program 100 Hari sebagaimana juga dilakukan Presiden SBY tempo hari? Tentu saja tidak. Meskipun demikian tetap harus membuat program-program prioritas, baik yang bersifat jangka pendek bahkan sangat pendek atau darurat, jangka menengah maupun jangka panjang.

Program darurat yang harus dilakukan adalah mengubur jauh ke dalam kerak bumi, kecenderungan para petarung zalim yang bersemboyan “the winner takes all”, alias menang-menangan. Berikutnya, cepat menghentikan kecenderungan pembelahan bangsa khususnya benih-benih konflik SARA yang mencekam selama beberapa tahun terakhir. Untuk itu Presiden terpilih harus meneguhkan dirinya sebagai Presiden seluruh rakyat tanpa  kecuali, dan bukan hanya Presiden para relawan dan pengusungnya saja, karena ia akan mengelola negara dengan uang pajak dari seluruh rakyat dari semenjak bayi dalam kandungan sampai masuk ke liang kubur.

Presiden terpilih harus langsung menyatakan rekonsiliasi nasional, berbesar jiwa untuk merangkul lawan tandingnya. Di mana pun boleh jadi lawan yang kalah dirundung dendam, tetapi Sang Pemenang tidak boleh terpancing melayani. Untuk itu segenap potensi yang memungkinkan terus berlangsungnya perang tanding harus dilenyapkan, di antaranya adalah kubu-kubu relawan.

Selanjutnya adalah meninjau ulang sistem demokrasi prosedural formal multi partai, yang telah terbukti melahirkan oligarki-oligarki kekuasan yang mencengkeram berbagai sendi kekuatan masyarakat, khususnya empat sendi demokrasi, yakni pertama sistem hukum dan penegakan hukumnya; kedua sistem kepartaian; ketiga sistem pengembangan media massa dan keempat masyarakat sipil. Jika tidak cepat diatasi, oligarki-oligarki kekuasaan tersebut niscaya akan terus membelenggu siapapun Presiden terpilihnya.

Insya Allah tentang ini kita bahas di lain kesempatan.

B.Wiwoho.

Tentang Penulis

Avatar photo

B.Wiwoho

Wartawan, praktisi komunikasi dan aktivis LSM. Pemimpin Umum Majalah Panji Masyarakat (1996 – 2001, 2019 - sekarang), penulis 40 judul buku, baik sendiri maupun bersama teman. Beberapa bukunya antara lain; Bertasawuf di Zaman Edan, Mutiara Hikmah Puasa, Rumah Bagi Muslim-Indonesia dan Keturunan Tionghoa, Islam Mencintai Nusantara: Jalan Dakwah Sunan Kalijaga, Operasi Woyla, Jenderal Yoga: Loyalis di Balik Layar, Mengapa Kita Harus Kembali ke UUD 1945 serta Pancasila Jatidiri Bangsa.

Tinggalkan Komentar Anda