Ads
Cakrawala

Jaringan Campa dan Pengislaman Pulau Jawa

Tidak mudah menumpas sebuah bangsa, lewat asimilasi ataupun pengasingan. Dan legenda Putri Campa selalu terkait dengan tema pengislaman Pulau Jawa.

Dikisahkan, Raja Majapahit suatu ketika jatuh cinta pada seorang putri dari Cina. Ini yang membuat istri tuanya, Putri Campa,  cemburu berat. Padahal Sang Prabu, sebagaimana lazimnya raja Jawa, juga punya banyak istri. Diduga, Putri Campa cemburu lantaran madunya itu amat mirip dengannya karena sama-sama bermata sipit dan berkulit kuning. Ogah diduakan, dan mengamcam minta dipulangkan ke negerinya, jika Brawijaya tetap memelihara Putri Cina. Akhirnya Sang Putri diserahkan kepada Arya Damar, dan boleh diperistri, asal jangan digauli dulu karena dia sedang hamil. Arya Damar pulang ke Palembang, dan di bumi Sriwijaya itu Putri Cina melahirkan Cek Ko Po alias Raden Patah, yang kelak menjadi pendiri Kerajaan Islam Demak. Raden Patah kemudian pergi ke Tanah Jawa dan nyantri ke Sunan Ampel Denta, yang dikenal sebagai sesepuh para wali di Tanah Jawa.

Yang menarik, wali senior yang punya nama asli Raden Rahmat itu punya asal-usul Campa juga. Ayahnya seorang da’i berasal dari Arab, Ibrahim al-Ghazi, sedangkan ibunya dikenal sebagai Putri Campa. Rahmat adalah kelahiran Campa. Pada tahun 1420 ia, bersama ayah  dan saudaranya, Ali Murtadha, mendarat di Tuban, Jawa Timur. Mereka datang untuk mengembangkan Islam di Tanah Jawa yang telah dirintis oleh Maulana Malik Ibrahim, sepupu Rahmat. Juga untuk urusan keluarga, yaitu menengok bibinya di Majapahit, yang tak lain adalah Putri Campa tadi.

Kisah Putri Campa, dengan berbagai versinya, bisa kita baca dalam beberapa naskah sastra Jawa, antara lain Serat Kanda.  Dan yang menarik, legenda Putri Campa selalu dikaitkan dengan tema pengislaman Pulau Jawa.

Menurut sejarawan  Denys Lombard, Raden Rahmat tidak mungkin hanya seorang tokoh mitos. Dia cikal-bakal kaum Muslim di daerah Ampel yang tetap dianggap sebagai salah satu kaum yang paling salih di Kota Surabaya, dan makamnya sendiri yang sayang tidak bertulisan, masih menjadi tempat ziarah yang ramai. Raden Rahmat kemudian memperistri seorang anak dari AdipatI Tuban dan kemudian kedua anaknya, Sunan Drajat dan Sunan Bonang, melanjutkan pengislaman pesisir timur Pulau Jawa. Tapi muridnya yang paling hebat adalah Raden Paku, putra Wali Lanang, seorang keturunan Arab yang menikah dengan Putri Blambangan yang berhasil disembuhkannya dari penyakit yang tidak tersembuhkan. Dialah yang kelak menjadi Sunan Giri, si bekas bayi ajaib: begitu lahir dimasukkan kakeknya yang marah ke dalam peti dan dihanyutkan sehingga terdampar di Gresik.            

Syahdan, pencaplokan negeri Campa oleh orang Vietnam pada tahun 1471 mengakibatkan sebuah gelombang pengungsian yang menurut Lombard, tidak bisa dibandingkan dengan peristiwa yang baru-baru ini terjadi (gelombang manusia perahu:pen). Pencaplokan, serta pengungsian yang menyusulnya dikenang di Nusantara dalam sedikitnya dua naskah: Hikayat Hassanudin yang menceritakan masa awal agama Islam di Jawa, dan Sejarah Melayu yang mengisahkan serangan oleh “Raja Koci”, gugurnya raja Cam Pau Kubah dan larinya dua orang anaknya — Pau Ling yang berlindung di Aceh dan Indra Berma yang lari ke Malaka di Istana Sultan Mansur (1458-1477).

Para pengungsi itu berlangsung mencari perlindungan ke daerah yang mereka ketahui sebagai daerah beragama Islam kuat, yaitu pelabuhan Jawa Timur yang telah dikunjungi Raden Rahmat, pelabuhan-pelabuhan Sumatera Utara yang diislamkan sejak abad ke-14, dan tentu saja Malaka yang telah jadi kesultanan beberapa tahun sebelumnya.

Pada abad ke-17, hampir seluruh wilayah Campa praktis dikuasai oleh  orang-orang Vietnam (Doi Viet). Hanya Pandurangga saja yang relatif “merdeka”, dan pada abad ke-18 akhirnya rajanya diturunkan. Ketika Raja Minh Mong memerintah, banyak orang Campa yang dibunuh atau dipaksa “divietnamkan”. Akibatnya, orang-orang Campa dan para pemimpin mereka melarikan diri ke selatan, ke wilayah yang sekarang dikenal sebagai Kampong Cam di Kamboja, dan di sepanjang Sungai Mekong (wilayah Vietnam sekarang), yang membentuk 13 kampong.

Sejak saat itu bangsa Cam seolah-olah bercabang dua. Kebanyakan penduduk tetap di negerinya sendiri. Meskipun ada pengasingan dan tindakan asimilasi, mereka berusaha mempertahankan kepribadiannya kalau bukan kemerdekaannya. Di pihak lain para pengungsi yang boleh kita sebut  “orang-orang Cam seberang” menyebar ke berbagai tempat di Asia Tenggara, dan akan terus-menerus mempunyai peranan penting dan latar belakang yang selalu Islam. Mereka mengingatkan nasib perantau Bugis yang, setelah Makasar direbut Belanda dan setelah perjanjian Bungaya (1667), lebih suka meninggalkan Sulaweasi dan mengadu nasib di Jawa Timur, Banten, sampai Semenanjung Melayu.

Maka, tidak mengherankan, jika pada abad ke-16 diketemukan nakhoda kapal Cam di Banten, Malaka, Makasar, dan Petani di mana Fernao Mandes Pinto pernah melihat mereka. Pada abad ke-17 kita menemukan kelana-kelana Cam di pihak Sultan Ibrahim yaitu raja Islam terkenal di Kamboja (1642). Juga di Ayuthya, di Siam, pada tahun 1686 sewaktu konspirasi orang Melayu dan Makasar melawan Raja Narai. Sejak masa itu Campa bukan saja nama sebuah kerajaan yang perbatasannya setapak demi setapak menciut di sepanjang pesisir Indocina, melainkan nama sebuah jaringan luas yang merentang antara tempat-tempat terpenting di Asia Tenggara. Dan tentu Pulau Jawa.***

Tentang Penulis

Avatar photo

A.Suryana Sudrajat

Pemimpin Redaksi Panji Masyarakat, pengasuh Pondok Pesantren Al-Ihsan Anyer, Serang, Banten. Ia juga penulis dan editor buku.

Tinggalkan Komentar Anda

Discover more from PANJI MASYARAKAT

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading