Adab Rasul

Sikap Nabi Terhadap Pemecah Belah Umat dan Penebar Fitnah

Nabi  tidak mendendam terhadap seseorang yang telah meninggal, meskipun orang itu telah berbuat sangat jahat kepadanya, dan hampir menghancurkan kehidupan keluarganya.

Syahdan, pada masa Rasulullah di Madinah dikenal  seorang tokoh berpengaruh bernama Abdullah bin Ubay. Ucapan-ucapan dan perbuatan pemuka suku Khazraj ini sering dinilai   merugikan kaum Muslim. Hampir setiap fitnah di Madinah selalu melibatkan Abdullah bin Ubay. Di antaranya menjadikan masjid yang ia dirikan  untuk memprovokasi dan memecah kaum muslim, sehingga Nabi memerintahkan masjid itu dibakar. Yang tidak kalah dahsyatnya adalah menyebarluaskan berita bohong (haditsul ifki) bahwa  istri Nabi, Aisyah r.a. berselingkuh dengan seorang prajurit. Sebelum turun ayat yang menyatakan bahwa tuduhan itu palsu, Nabi pun sempat terpengaruh oleh hoaks yang menyebar ke antero Madinah itu, sehingga Aisyah terpaksa pulang ke rumah orangtuanya, Abu Bakar. Badai fitnah itu nyaris menghancurkan kehidupan keluarga Rasulullah.  

Meski begitu, ketika   Abdullah bin Ubay sakit,  Rasulullah s.a.w. menyempatkan diri untuk membesuknya. Betapapun, di permukaan Abdullah bin Ubay menunjukkan dirinya sebagai seorang Muslim. Oleh karena itu pula, ketika putra Abdullah bin Ubay, yang juga bernama Abdullah,   datang menemui Rasulullah saw, meminta salah satu kain Rasulullah saw untuk dijadikan sebagai kafan bagi ayahnya, Rasulullah mengabulkannya. Kemudian ketika Abdullah juga meminta Rasulullah untuk menshalatinya, beliau pun berkenan.

Waktu itu Umar bin Khaththab sempat menarik baju Rasulullah,  dan berkata: “Wahai Rasulullah, Anda akan menshalatinya? Bukankah Allah melarangmu untuk menshalatinya?”

Rasulullah menjawab: “Sesungguhnya Allah SWT memberikan kepadaku dua pilihan kamu memohonkan ampun bagi mereka atau tidak kamu mohonkan ampun bagi mereka.  Meskipun kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali, Allah tidak akan memberi ampunan kepada mereka. Yang demikian itu adalah karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya. dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik. (QS at-Taubah:80) Dan saya akan menambahnya lebih dari tujuh puluh kali.”

Umar berkata: “Sesungguhnya dia itu orang munafik.”

Setelah Rasulullah s.a.w. menshalati jenazah Abdullah bin Ubay,  barulah turun ayat: “Dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangi  (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam Keadaan fasik. (QS. At-Taubah:84).  Rasulullah menshalati Abdullah bin Ubay ketika itu mengacu kepada pengakuan Abdullah bin Ubay bahwa ia seorang Muslim. Dan Islam mengajarkan umatnya untuk memperlakukan manusia sesuai dengan kondisi yang diperlihatkan, sedangkan  urusan hati dan batinnya adalah kewenangan Allah SWT.

Sebelum Allah memberitahunya, Rasulullah memang tidak mengetahui persis apakah Abdullah bin Ubay seorang munafik. Yakni orang yang berpura-pura mengikuti ajaran agama Islam, namun sebenarnya hati mereka memungkirinya. Mereka  tidak beriman namun berpura-pura beriman. “Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: “Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah”, dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta. Mereka itu menjadikan sumpah mereka sebagai perisai, lalu mereka menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Sesungguhnya amat buruklah apa yang telah mereka kerjakan. Yang demikian itu adalah karena bahwa sesungguhnya mereka telah beriman, kemudian menjadi kafir (lagi) lalu hati mereka dikunci mati; karena itu mereka tidak dapat mengerti. (Q.S Surah Al-Munafiqun:1-3) ”

Dalam pada itu, sikap Nabi yang tidak mendendam terhadap seseorang yang telah meninggal, meskipun orang itu telah berbuat sangat jahat kepadanya, menunjukkan betapa tingginya akhlak Rasulullah. Dari sikap Rasulullah ini, kita bisa menarik hikmah bahwa kita tidak boleh menyimpan dendam, alias harus mengikhlaskan, terhadap seseorang yang telah meninggal

Sumber: Haekal, Sejarah Hidup Muhammad

About the author

Avatar photo

A.Suryana Sudrajat

Pemimpin Redaksi Panji Masyarakat, pengasuh Pondok Pesantren Al-Ihsan Anyer, Serang, Banten. Ia juga penulis dan editor buku.

Tinggalkan Komentar Anda