Sudah menjadi tradisi penguasa mengakrabi ulama berpengaruh. Di dalam lektur-lektur keagamaan lama kita banyak mendapati nasihat agar rakyat patuh kepada penguasa, dan sabar terhadap pemerintahannya yang zalim. Sekarang?
Hendaknya orang yang bersahabat dengan “orang di atas”. tidak takut mengungkap borok yang harus disembuhkan dan kekurangan yang harus diperbaiki. Sebab tiga orang yang beroleh celaka di dunia dan diancam oleh bahaya besar adalah, pertama, sahabat raja yang tidak mau menerangkan kepada raja apa cacat kerajaan. Kedua, orang sakit yang tidak mau mengatakan kepada dokter apa yang dideritanya. Dan, seorang teman yang tidak mau menyatakan rasa hatinya kepada sahabatnya. Mereka itulah orang-orang yang “khianat kepada diri sendiri”.
Demikian antara lain nasihat seorang ahli pikir kepada muridnya, seorang putra raja. Guru itu juga mewejang bahwa pemegang pemerintahan, sesungguhnya, adalah penjaga keadilan. Dan sebaik-baik pemerintah, katanya, adalah yang diangkat dan diakui masyarakat, serta dapat diteliti caranya menjaga keadilan itu. Pemerintahan yang tidak dari rakyat dan tidak untuk rakyat tidak dijamin dapat menciptakan undang-undang yang adil.
Menurut Buya Hamka, di dalam lektur-lektur Arab zaman pertengahan, jika berkenaan dengan pemerintah dan politik, kita hanya mendapati nasihat kepada rakyat supaya taat kepada imam, raja dan sultan, dan sabar atas pemerintahannya yang zalim alias sewenang-wenang. Adapun raja-raja, untuk mereka disalinkan nasihat-nasihat supaya adil dalam memerintah. Jika ada seorang alim yang berani menasihati raja berhadapan, perbuatannya akan dipandang luar biasa (nawadir). Karena itu, merupakan taktik raja-raja, jika ada ulama yang berpengaruh, mereka diakrabi. Lantaran itu kita tidak akan menemukan di dalam kitab-kitab klasik itu, kata Hamka, misalnya teori tentang pemerintahan yang sehat atau teori mengenai “demokrasi”.
Di masa awal Orde Baru, Bung Hatta termasuk yang suka mengingatkan “orang-orang di atas” itu. Biasanya melalui surat-menyurat. Kepada Menteri Keuangan Frans Seda, misalnya, Hatta mengungkap temuan yang diperoleh dari perjalanannya ke Sumatera Barat dan Sumatera Utara. Yakni, soal kemunduran ekonomi rakyat di mana-mana, sebagai akibat kebijaksanaan pemerintah pusat yang “terlalu memusatkan perhatian kepada segi moneter dan mengabaikan segi produksi.” Selain itu, Hatta mengecam keputusan menurunkan nilai obligasi pemerintah dan nilai pinjaman beberapa bank negara, yang dikatakannya sebagai politik sewenang-wenang yang lazim dijalankan pada masa Demokrasi Terpimpin.
“Negara kita negara hukum dan pemerintah tidak dapat berbuat semau-maunya. Tiap-tiap beban yang ditimpakan kepada rakyat, beban harta maupun jiwa (perang) hanya dapat diadakan setelah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam negara hukum, yang tujuannya menegakkan keadilan, tiap-tiap utang pemerintah kepada rakyat tidak dapat dihapuskan atau dikurangi oleh pemerintah dengan semau-maunya.” kata Hatta dalam satu suratnya.
Kepada Deputi Ketua Bappenas Emil Salim, Hatta menganjurkan agar yang bersangkutan berjalan-jalan ke kampung-kampung di pinggiran kota dan desa. Rupanya sang proklamator tidak begitu percaya kepada salah satu isi memo Emil tentang nota keuangan RAPBN 1970/1971, yang menyebut pendapatan rata-rata orang Indonesia waktu itu US$ 85 setahun. Ia mencontohkan dirinya sebagai bekas wakil presiden, yang pada akhir 1969 menerima pensiun Rp 12.000/bulan, jadi Rp 144.000 setahun atau US$ 375. Dengan keluarga berjumlah lima orang (satu istri tiga anak), kata Hatta, berarti pendapatannya adalah US$ 75 setahun. “Kalau hidup saya tidak dibantu oleh keluarga dan kawan-kawan yang setia dari dahulu, barangkali saya sudah mesti pindah (dari rumahnya di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, Red) ke kampung, atau sebaik-baiknya ke Tebet,” kata Hatta.
Kalau Hatta saja begitu, bagaimana dengan pendapatan petani di Jawa yang rata-rata mengerjakan sawah lebih kecil dari setengah hektare, dengan hasil satu kuintal seorang/tahun? Bila pukul rata satu orang hidup dari 100 kg setahun, kata Hatta, dan harga beras Rp 40/kg, berarti petani Jawa hidup dengan Rp 4.000 setahun, termasuk untuk lauk-pauk. Ini kurang dari US$ 11, dan tentu saja jauh lebih kecil dari US$ 85.
Sejak Repelita I, Bapak Koperasi itu memang banyak mengecam kebijaksanaan ekonomi Orde Baru yang mengakibatkan “lingkaran ekonomi yang dicapai tidak merata kepada rakyat.” Dalam beberapa tahun saja, katanya, jurang antara kaya dan miskin sudah mengembang, dan pengembangannya sudah mengarah ke pertentangan sosial. Dalam suratnya kepada sahabatnya, Anak Agung Gede Agung, ia antara lain menulis: “Saya sangsi apa sanggup teknokrat-teknokrasi sekarang ini melakukan pembangunan nasional. Mereka akan menambah kaya yang sudah kaya, tapi lebih menindih kehidupan rakyat.”
Itu dulu. Bagaimana sekarang?
Kini pun jurang antara kelompok yang berpunya dan kaum yang tidak punya masih terus menganga. Begitu pula dengan jumlah orang miskin, pengangguran, daya beli yang merosot, dan seterusnya. Sebagian lantaran diabaikannya borok-borok sebagaimana diungkap oleh orang-orang seperti Hatta. Atau, justru karena tidak adanya kemauan politik untuk menjaga keadilan, atau karena menolak diteliti caranya menjaga keadilan. Tapi, dalam pada itu, korupsi terus berlanjut dan tak mudah distop. Dan rakyat, seperti biasa, diharap mengerti kesulitan yang dihadapi pemerintah.
Rasulullah s.a.w. mengingatkan kita , bahwa kemenangan akan diraih dengan memperhatikan nasib kaum yang lemah.. Kekuatan para pemimpin memang terletak di tangan mereka yang lemah itu.
Sumber: Deliar Noer, Mohammad Hatta: Biografi Politik (1990 ); Hamka. Falsafah Hidup (1994)