Ulama harus menjadi ruh gerakan Muhammadiyah. Mengapa dia memprioritaskan ukhuwah dengan ormas Islam khususnya NU?
Ketika memimpin Muhammadiyah Ahmad Azhar Basyir sering mengingatkan kelangkaan ulama di organisasi modernis ini. Menurut dia ulama adalah ruh gerakan Muhammadiyah ber tafaqquh fid-din, mampu menggali ajaran Islam dari sumbernya Alquran dan Sunnah Rasul, mengamalkan ilmunya, sehingga sanggup berperan sebagai pembimbing umat untuk menjalani kehidupan sesuai ajaran Islam. Kedudukan ulama sangat penting sebagai pembimbing dan pemersatu umat dalam memahami, menghayati dan mengamalkan agama Islam. Bertemunya ulama dan intelektual Muslim dalam bermacam disiplin ilmu mutlak diperlukan. Pendekatan holistik dan multi-disipliner dalam memahami dan menyajikan ajaran Islam sangat penting seiring dengan perkembangan zaman.
Azhar Basyir sering menjadi rujukan dalam pembahasan fikih karena ia menguasai kitab klasik alias kitab kuning. Ini sekaigus menepis anggapan bahwa pengurus Muhammadiyah tidak pandai membaca kitab kuning. Kemampuan Kiai Azhar Basyir membaca literatur Islam klasik itu karena pernah menempuh pendidikan agama di Irak dan Mesir. Menteri Agama waktu itu Munawir Sjadzali melontarkan guyonan, Azhar Basyir itu orang NU yang ada di Muhammadiyah. Guyonan Munawir Sjadzali itu bukan tanpa alasan. Selain menguasai ilmu-ilmu klasik keagaamaan sebagaimana orang nahdliyin, dalam kesehariannya ia selalu menggunakan peci. Gus Dur yang pada waktu itu Ketua Umum PBNU menimpali, bahwa dirinya yang jarang menggunakan peci sebagai orang Muhammadiyah yang ada di NU.
Kiai Ahmad Azhar Basyir punya dua agenda penting semasa memimpin Muammadiyah. Pertama, mengembangkan ukhuwah dengan ormas-ormas Islam terutama NU, baik di tingkat elite maupun di level akar rumput. Kita ketahui, hubungan kedua ormas terbesar di Indonesia ini, dan dengan sendirinya di dunia, boleh dikatakan renggang. Kerenggangan ini bukan hanya di kalangan bawah tetapi juga terjadi di cabang atasnya. Debat panjang yang tak selesai mengenai masalah-masalah furu’ aias ranting ikut memperparah kekurangharmonisan itu.
Sebuah seminar bertema “Muhamadiyah dan NU: Reorientasi Wawasan Keislaman” pun dilangsungkan di Yogyakarta pada tahun 1993. Pada seminar yang dihadiri kalangan intelektual Muhammadiyah dan NU ini Ahmad Basyir menyatakan, “Bukan suatu kebetulan, tetapi merupakan ilham yang berasal dari Allah, bahwa Muhammadiyah menjadikan ayat 104 surah Ali Imran sebagai semboyan gerakannya, dan Nahdhatul Ulama menjadikan surat 103 surat yang sama sebagai semboyan gerakannya. Kedua ayat Al-Qur’an itu beriringan.” Lebih jauh Ahmad Basyir menjelaskan, Muhammadiyah mengambil ayat 104 sebagai semboyannya, yang menegaskan fungsi gerakan Islam. Sedangkan NU mengambil ayat yang menegaskan suatu syarat mutlak bagi terpenuhinya fungsi gerakan islam itu. Fungsi gerakan Islam adalah amar ma’ruf nahi munkar sebagaimana tercantum dalam surah Ali Imran ayat 104. Dan syarat mutlak untuk dapat terpenuhinya fungsi tersebut adalah berpegang kepada agama Allah dalam kebersamaan, tidak tercerai-berai, tercantum pada ayat 103.
Tak kurang KH Ali Yafie yang waktu itu berada di jajaran pimpinan Syuriah PBNU, mengakui betapa keras usaha Azhar membangun ukhuwah. “Azhar Basyir telah menjalin hubungan dengan organisasi Islam lainnya dengan sangat rasional. Pendekatannya senantiasa dalam pola ukhuwah islamiyah. Tentu Ahmad Azhar semasa hidupnya mendahulukan organisasi yang beliau pimpin, tapi beliau tidak pernah mendiskreditkan kelompok lain.”
Agenda kedua yang menjadi prioritas kepemimpinan Kiai Azhar Basyir adalah kaderisasi ulama. Menurut dia, kaderisasi ulama dalam Muhammmadiyah merupakan keharusan. Kedudukan ulama dalam organisasi ini amat strategis dan urgen. Di tangan merekalah hidup-matinya organisasi ini, terutama Majelis Tarjih. Selain itu, ulama adalah suluh penerang dan tempat kembalinya umat untuk mendapat bimbingan hidup beragama. Meski begitu, terhormatnya posisi ulama, menurut Azhar, tidak seharusnya menempatkan mereka dalam posisi kelompok elite. Ulama adalah bagian dari umat. Ulama tak hanya menanti didatangi umat, namun sebaliknya, aktif mendatangi umat. Mendengar detak jantung dan persoalan kehidupan mereka dari hari ke hari.
Sejalan dengan itu, Kiai Azhar Basyir mengharapkan Muhammadiyah memprioritaskan pembenahan Majelis Tarjih. Ia merasakan di persyarikatan telah terjadi krisis ulama. Saat ulama sepuh dipanggil Allah, yang muda-muda pun tak kunjung datang. Bagai tak bosan-bosannya dia pun mengingatkan bahwa telah terjadi kemunduran yang serius di Muhamadiyah, betapa angkatan Muhammadiyah sangat kurang tampil di dunia keulamaan. Ironisnya, hal itu justru terjadi di zaman ketika kehadiran ulama berpikiran modern, yang mampu memandang komprehensif persoalan kontemporer, mampu menatap realita sosial secara tajam, dan memperhitungkan hari esok secara lebih akurat, amat dibutuhkan.
Bagi Azhar, Majelis Tarjih adalah jantung organisasi Muhammadiyah. Institusi ini berfungsi mengawasi dan mengawal perjalanan Muhammadiyah dari masa ke masa, agar gerak dan langkahnya tidak menyimpang dari ajaran Islam. Dia melihat, betapa kenyataan telah berbeda dari harapan. Majelis Tarjih dinilai amat lamban, lesu, lembek. Azhar mengakui, produk Majelis Tarjih masih amat sedikit dan tidak sebanding dengan usianya yang sudah lanjut. Produk yang sangat sedikit itu pun tidak mengalami perkembangan yang berarti, bahkan tidak memasyarakat di kalangan keluarga Muhammadiyah sendiri. (Bersambung)
Alhamdulillah Panji Masayarakat telah terbit Kembali semoga bisa menjadi panji pencerah masyarakat yg sekarang ini sulit menemukan tulisan tulisan yg jujur.