Tafsir

Guncangan Demi Guncangan

Akan Kami timpakan cobaan kepada kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, dan kekurangan harta benda, jiwa dan buah-buahan. Berikanlah kabar gembira kepada mereka yang tahan uji. (Q.S 2:155).

Imam Syafi’i, rahimahullah, membuat satu tafsiran yang agak musykil ketika menguraikan ayat di atas. Katanya, ketakutan dalam kalimat itu adalah takut (khauf) kepada Allah. (Kita tahu, salah satu tema hidup muslim, seperti yang dirumuskan, adalah khauf dan rajaa’, takut dan harap, kepada Allah). Kelaparan, selanjutnya, menunjuk pada puasa Ramadan. Kekurangan harta benda terjadi akibat pembayaran zakat dan segala sadakah. Kekurangan jiwa diakibatkan oleh berbagai penyakit. Sedangkan kekurangan buah-buahan menunjuk pada kematian anak. Demikian Syafi’i.

Imam Syafi’i praktis memberi contoh bagaimana sebuah ayat mungkin dipahami secara lepas dari konteks masa turunnya. Masalahnya: setelah meninggalkan asbabun nuzul atau kaitan latar belakang sebagai pangkal bertolak, apakah tempat-tempat berlabuh masih berada di sungai atau danau yang sama.

Baik Razi maupun Zamakhsyari, yang menukil tafsir itu (Razi, At-Tafsirul Kabir, IV, 167; Zamakhsyari, Al-Kasy- syaf, 1,323-324), tidak memberi tanggapan. Tapi komentar datang misalnya dari Ahmad, pensyarah Kasysyaf, yang menganggap tafsiran itu “bisa dipertimbangkan”. Katanya, ‘cobaan’ yang dimaksudkan dalam ayat di atas itu menunjuk kepada sesuatu yang* belum terjadi, dan diberikan sebagai penyiapan diri para mukmin. Sedangkan semua ‘cobaan’ yang disebut Imam Syafi’i sudah berlangsung sebelum turunnya ayat. Takut (khauf) kepada Allah, misalnya, selamanya memenuhi hati orang beriman. Sementara itu pengibaratan sadakah dengan ‘kekurangan’ terasa jauh, bila diingat Syariat sendiri memakai istilah zakat, yang berarti pertumbuhan (di samping pensucian), lawan pengurangan. Hadis Nabi s.a.w. menyebutkan, “Tidak berkurang harta karena sadakah.” (Zamakhsyari, ibid., 324).

Rasyid Ridha, sejalan dengan itu, menyatakan bahwa sebenarnya tafsir untuk ‘ketakutan’ dalam ayat di atas itu jelas—untuk suatu zaman ketika musuh-musuh Islam, di masa turunnya ayat ini, begitu banyak dan begitu kuat. Karena itu keterangan sebagian mufasir (Rasyid tidak menyebut nama Syafi’i) bahwa yang dimaksud adalah khauf kepada Allah adalah bathil—mengingat bahwa khauf itu justru salah satu buah terbesar iman, bukan musibah yang merupakan ujian; dengan kata lain suatu anugerah yang justru mendukung sikap tahan uji, dan bukan musibah yang menuntut sikap sabar. (Rasyid Ridha, Al-Manar, II, 40).

Berkata Al-Qaffal: Adapun ketakutan yang sangat, itu sudah terjadi ketika orang Arab menyadari dan mulai meng-hadapi para mukmin pertama itu semata-mata dengan alasan agama. Waktu itu kaum muslimin tidak bisa merasa aman terhadap maksud mereka dan berhimpunnya orang-orang kafir di hadapan mereka. Kecemasan yang meliputi mereka di sekitar Perang Gabungan (Al-Ahzab), misalnya, tercatat dalam sejarah. Juga dalam Al-Qur’an:

“Di situlah kaum mukminin diuji dan diguncangkan dengan guncangan yang dahsyat” (Q. 33:11).

Adapun kelaparan, kata Al-Qaffal, sudah menimpa mereka di masa awal hijrah Nabi s.a.w. ke Madinah, karena sedikitnya harta mereka, sampai-sampai Rasulullah sendiri pernah mengganjalkan batu ke perut beliau karena lapar. Diriwayatkan oleh Abu Haitsam ibn At-Tihan bahwa Nabi s.a.w. suatu kali berjumpa dengan Abu Bakr r.a., dan bertanya: “Apa yang menyebabkan kamu keluar?” Jawab Abu Bakr: “Lapar.” Sahut Nabi pula, “Itu juga yang membuat aku keluar.”

Adapun kekurangan dalam harta benda dan jiwa, itu terjadi pada ketika memerangi musuh: orang-orang menginfakkan harta mereka bagi keperluan jihad, dan mereka sendiri bisa terbunuh. Tetapi kelaparan juga bisa muncul di tengah perang, ketika mereka kehabisan bekal. (“Yang demikian itu karena tidak pernah mereka ditimpa kehausan, kecapekan dan kelaparan di Jalan Allah, tidak pula mereka menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir dan tidak pula menimpakan suatu pukulan kepada musuh, yang tidak dituliskan bagi mereka, dengan segala (yang tersebut) itu, amal kebajikan”; Q. 9:120).

Sementara itu kekurangan buah-buahan bisa muncul akibat musim kering, bisa juga karena ditinggalkannya pengelolaan tanah dan kebun akibat kesibukan jihad. Juga dapat terjadi karena pengeluaran biaya untuk pengiriman pasukan atau ekspedisi yang menjawab seruan Rasul. (Razi, op. cit., 166-167).

Al-Qasimi bisa menambahkan pengertian kekurangan harta benda itu sebagai, selain karena perang, juga karena hijrah, yang menyebabkan mereka meninggalkan sebagian atau sebagian besar harta milik. Adapun kekurangan hasil kebun disebabkan keterlantaran karena tidak ada lagi orang yang mengurus—dikhususkan penyebutannya di dalam ayat karena kebun adalah harta orang Anshar (muslimin Madinah) yang paling penting, sementara orang Anshar, dengan mengingat keadaan waktu turunnya ayat, adalah yang paling layak dimaksudkan oleh penyebutan itu. (Al-Qasimi, Mahasinut Ta’wil, II, 325).

Hijrah itu pulalah yang disebut Muhammad Abduh ketika menerangkan kekurangan harta benda di masa per-juangan pertama itu: orang berpisah dari keluarganya dan sanak familinya, melangkah ke luar rumah untuk berhijrah, biasanya “dengan tangan kosong”. Karena itu, katanya, “Kemiskinan adalah hal yang umum di kalangan muslimin sejak awal pembentukan mereka sampai sesudah Pembebasan Makkah. Dari situ dipahami bahwa yang dimaksudkan dengan kekurangan harta benda cobaan, yang dikatakan akan terjadi itu,

Ia diungkapkan sebagai zakat (yang punya arti pertumbuhan) untuk mempermudah keluarnya harta itu dari yang berkewajiban…” (Zamakhsyari, loc. cit.). Paling tidak, jelas sekali bahwa penunaian zakat bagi banyak orang merupakan suatu cobaan. Kemungkinan pemikiran seperti di atas itu menyebabkan Thantawi Jauhari, misalnya, bisa mengambil dari Syafi’i dengan mengartikan ‘takut dalam ayat di atas sebagai “mungkin dari musuh, berwujud provokasi dan gangguan, dan mungkin juga dari Allah.” Berikutnya, “Kelaparan itu bisa karena paceklik, bisa pula karena puasa Ramadan. Kekurangan harta bisa terjadi oleh beberapa aksiden yang mencelakakan, bisa pula karena zakat dan berbagai sadakah  ” (Thanthawi Jauhari, Al-]awahir,l, 130).

Thanthawi jelas tidak mengingat “syarat” ‘belum terjadi’ pada cobaan allah yang dikatakan akan diberikan-nya kepada kita itu. Tapi bukankah yang sudah terjadi juga, bisa dipahami, akan terjadi lagi, dan lagi? Itu di samping bahwa ketakutan kepada Allah, sekali lagi tanpa mengingat “syarat” di atas, bukan tidak didukung oleh cukup banyak ayat Al-Qur’an sendiri. “Apakah penduduk kota-kota itu merasa aman terhadap datangnya keganasan dari Kami….” (Q. 7:98). Lihat juga misalnya Q.S 2:283; 7:98; 16:45; 7:99).

Yang barangkali tidak dipikirkan ialah kemungkinan ini: Imam Syafi’i, dengan tafsirnya itu, justru ingin memberi contoh betapa ayat Al-Qur’an bisa ditafsirkan dengan tidak selalu bergantung pada konteks ayat-ayat maupun situasi ketika wahyu turun. Sebuah kaidah Ushul Fiqh, teori dan metodologi pengambilan hukum yang Syafi’i sendiri merupakan asiteknya, mengatakan, ‘Yang dipandang adalah keumuman lafal, bukan kekhususan sebab (Al ‘ibratu wa’ummumil lafzh, la bikhushusin sabab)”. Benar, sebab-sebab turun ayat (asbabun nuzul), kalau diketahui, merupakan kunci pemahaman. Tapi sebuah ayat kemudian bisa berangkat dari sana dan meninggalkan pangkalan kecuali kalau Qur’an hanya buku catatan kejadian-kejadian. Itu teorinya. Dalam kenyataan, setelah meninggalkan pangkalan, akan dilihat apakah tempat-tempat mendaratnya nanti tetap di sungai atau danau yang berada dalam rute pelayaran yang satu. Setidak-tidaknya, dalam kasus penafsiran ayat di atas, tempat-tempat mendarat yang diberikan Syafi’i, agaknya, bisa dinilai terlalu spesifik biasanya mudah dihinggapi kontroversi. Berbeda dengan yang umum. Misalnya yang dikemukakan Ar Raghib. Katanya, “Ayat ini mengandung cobaan dunia seluruhnya—yakni bila dipandang keumuman tiap butir yang disebut di situ (ketakutan, kelaparan, kekurangan harta benda, jiwa dan hasil panen; pen.) dan diputuskan pandangan dari kekhususan ihwal mereka yang diajak bicara (Nabi s.a.w. dan para sahabat) di situ….”(Al-Qasimi, op. cit. 326).

Ini firman pertama yang bisa dijumpai dalam Al-Qur’an yang: memberi kita pengajaran tentang musibah. Seperti kata Ar-Raghib, ayat ini mengandung pengertian tentang segala jenis cobaan Tuhan dalam hidup— termasuk, tentunya, untuk konteks kita, krisis ekonomi.

Dengan kata lain, seluruh musibah. Juga guncangan demi guncangan yang kita alami di Indonesia menjelang akhir abad ke-20 ini. Juga krisis ekonomi. Juga krisis moneter. Apapun sebab-sebabnya, setelah pada tingkat sosial orang diseyogyakan mengusut, dan mengambil pelajaran, untuk tingkat pribadi ayat di atas menutup kalimatnya dengan hal yang besar ini. “Berikanlah berita gembira kepada mereka yang tahan uji”.

Syubah ‘Asa

Artikel ini telah terbit di Majalah Panji Masyarakat no.43 tahun 1 1997

About the author

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda