Ads
Mutiara

Yang Menghancurkan Para Pemimpin

Apa yang menghancurkan tokoh-tokoh seperti Soekarno, juga Aidit dan Kartosuwirjo? Cerita tentang Amir Sjarifudin

“Perjuangan yang kami adakan waktu ini hanya buat memberi koreksi kepada revolusi-revolusi kita. Jadi dasarnya tidak berubah sama sekali. Revolusi ini tidak berubah dari corak nasionalismenya, yang sebenarnya adalah revolusi merah putih, dan lagu kebangsaan kami tetap Indonesia Raya.’’


Itu pidato terakhir Amir Sjarifudin, 23 Sepetember 1948. Dan Dokter Abu Hanifah, yang berkali-kali mendengarnya di radio, ikut kasihan. Tokoh Masyumi yang sastrawan ini merasa kawannya itu sedang mengalami frustrasi, bingung, dan putus asa. “Mungkin, ya mungkin, di tengah-tengah kehancuran perjuangannya dan dalam malam sepi, ia ingat kembali cita-cita yang ia kandung ketika muda,” kata pengarang naskah-naskah drama Taufan di Atas Asia dan Insan Kamil ini.

Amir Sjarifudin memang sedang terdesak. Revolusi komunisnya bersama Muso, untuk membangun sebuah “Republik Protelar Indonesia”, hampir dipastikan gagal. Mereka gugup ketika tiba-tiba pasukan pro-PKI begitu saja menduduki Madiun, lalu tidak ada pilihan kecuali mendukung pemberontakan. Akhirnya, meski diikuti ribuan anggota PKI dan simpatisan, karena tidak terkordinasi, pemberontakan itu gampang dipatahkan. Pada 28 Oktober satuan-satuan tempur komunis dihabisi. Tiga hari kemudian Muso tewas dalam satu kontak senjata, dan Amir Sjarifudin bersama pemimpin PKI lainnya ditangkap. Mereka dihukum mati.

Menurut Abu Hanifah (1977), pidato Amir tadi bukan pidato seorang pemimpin komunis yang fanatik dan terdidik. Abu tidak percaya bahwa Amir, yang selalu membawa Injil kecil di sakunya, seorang komunis. “Mentalitasnya, cara hidupnya, jalan pikirannya, jalan perjuangan politiknya, tidak cocok dengan predikat komunis dalam arti klasik.” Ketika muda pun Amir lebih mirip seorang bohemien. Seorang yang, juga dikatakan abang Umar Ismail ini, penuh emosi, sentimentil, lekas marah tetapi lekas baik, suka ketawa, dan bila sedang main biola menyebarkan suasana sedih dan gembira. Tidak berarti seorang komunis tidak bisa punya sifat-sifat itu, tetapi, katanya, “Sukar melihat Amir sebagai seorang stalinis”.


Tetapi pada 29 Agustus 1948, mantan perdana menteri ini mengaku komunis. Diakuinya bahwa sejak 1935, di Surabaya, dia sudah anggota “PKI-Illegal”-nya Muso. Ini barang tentu mengejutkan baik kawan-kawannya maupun pemerintah. Dan sebagai lazimnya seorang komunis, ia kemudian melakukan otokritik. “Sebagai komunis, saya akui kesalahan saya, dan saya berjanji tidak akan membikin kesalahan lagi. Saya menerima f 25.000 dari Belanda sebelum pendudukan Jepang, buat menjalankan gerakan-gerakan bawah tanah. Tetapi saya terima uang itu karena Comintern (Communist-internationale) mengusulkan supaya kita bekerja sama dengan kekuatan kolonial dalam satu front melawan fasisme.”


Tapi, Injil itu, mengapa? Sejak mahasiswa, Amir mendekati Gereja Kristen, meski dia Muslim. Sekitar 1936 muncul kabar dia sudah Kristen. Malah akan mendirikan partai politik Kristen, tetapi urung karena situasi. Yang jelas, ia masuk Gerindo (Gerakan Rakjat Indonesia) yang diketuai Sartono. Di sini terdapat pula Wikana, yang kemudian tercatat sebagai pemimpin komunis. Pada 1939 Amir ditangkap karena aktivitasnya di GAPI (Gaboengan Politik Indonesia). Dalam tahanan, kabarnya dia sering dikunjungi Prof. Schepper, Kristen yang taat, yang kemudian meyakinkan pemerintah bahwa Amir lebih baik “dipakai”. Dan ketika Jepang datang, dia memang menerima duit dari Belanda. Dalam pada itu boleh jadi dia bekerja sama dengan “PKI-Illegal”-nya Muso.

Boleh jadi Amir seperti yang digambarkan Abu Hanifah: pejuang yang kecewa, apa pun jenis perjuangannya. Tapi selain itu, kata Abu, dari segi watak, ambisinya terhitung besar, karena keyakinan dan kapasitasnya. “Memang dia seorang yang brilian, tetapi tampaknya ia tidak stabil, dan tidak sabar. Juga kelemahannya terletak pada emosi….”


Ambisi dan ketidaksabaran ini pula yang diperlihatkan Soekarno pada 1959. Dalam pidato Manipol, 17 Agustus, ia mengatakan, “Undang-Undang Dasar 1945 tidak pernah mati, melainkan hanya terpaksa berbaring diam di atas ombang-ambingnya gelombang Renville, gelombang Linggarjati, gelombang KMB, gelombang konstitusi Republik Indonesia Serikat dan konstitusi 1950… yang semuanya telah amblas…. Demikian pula makna demokrasi liberal yang dilahirkan sebagai buih daripada gelombang-gelombang kompromis yang jahat itu, dan yang membendung dan mengacau Revolusi Indonesia itu, kini telah ditiup lenyap… dan mulailah kini dikibarkan Demokrasi Terpimpin, milik asli daripada bangsa Indonesia.”

Padahal dalam pidato 18 Agustus 1945 ia bilang, “….. bahwa yang kita buat ini adalah undang-undang dasar kilat. Nanti kalau kita telah bernegara di dalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat undang-undang dasar yang lebih sempurna dan lengkap.”
Hanya saja, seperti dikatakan Hatta dalam artikelnya “Demokrasi Kita” (Panji Masyarakat, 1 Mei 1960), “Sungguhpun tindakan Presiden itu bertentangan dengan konstitusi dan merupakan suatu coup d’etat, ia dibenarkan oleh partai-partai. Golongan minoritet menganggap perbuatan Presiden itu sebagai tindakan perkosa, tetapi menyesuaikan dirinya kepada kenyataan yang baru itu.”
Sebagaimana pada Amir, ambisi dan temperamen itu mengakhiri riwayat politik Soekarno dengan tragis. Juga Aidit. Juga Kartosuwirjo.


Sumber: Deliar Noer, Biografi Politik Mohammad Hatta (1990); “Manusia dalam Kemelut Sejarah”, Prisma No. 8, 1977; Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi (1964).

Tentang Penulis

Avatar photo

A.Suryana Sudrajat

Pemimpin Redaksi Panji Masyarakat, pengasuh Pondok Pesantren Al-Ihsan Anyer, Serang, Banten. Ia juga penulis dan editor buku.

Tinggalkan Komentar Anda

Discover more from PANJI MASYARAKAT

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading