Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah. (Q.S 5:119; 98:8). Tentang spiritualitas Rabi’ah Al-Adawiah
“Ya Allah, jika aku beribadah lantaran takut neraka, bakarlah aku dalam api neraka-Mu. Dan jika aku beribadah karena mengharap surga-Mu, tutuplah pintunya bagiku. Tetapi jika aku beribadah hanya karena ridha-Mu, jangan sembunyikan keindahan-abadi-Mu dari pandangku.”
Ah, siapa di antara kalangan tasawuf yang tidak mengenal baris-baris doa itu. Bagi Rabi’ah Al-Adawiyah, seperti diungkapkan penulis biografinya, Fariduddin Aththar (Tadzkiratul Auliya, Memoir of Saints), doa lebih merupakan “percakapan cinta” dengan Tuhan, dan sikap ridha. Bukan permohonan atas nama dirinya atau yang lainnya. Rabi’ah memang tidak memberikan ruang apa pun di dalam hatinya kecuali cintanya untuk Tuhan. Kecintaan itu ia tumpahkan lewat doa dan salat. Kabarnya, dalam semalam saja ia sembahyang ratusan rakaat.
Apatah lagi untuk aktivitas duniawi. Perempuan yang emoh kawin ini hampir-hampir tidak punya waktu. Baginya waktu adalah untuk Tuhan. Lain tidak. Pernah suatu hari sahabatnya, Malik ibn Dinar, mendapatkan Rabi’ah sedang terbaring sakit. Beralaskan tikar lusuh dan berbantal batu bata. Kendinya, tempat menyimpan air wudu dan minum, sudah pecah pula. Murid Hasan Al-Bashri itu tidak tega. “Aku punya beberapa teman yang kaya,” katanya. “Kalau kauperlu bantuan, aku bisa kontak mereka.”
“Malik, kamu salah besar,” kata Rabi’ah. “Bukankah yang memberi mereka dan aku sama?”
“Memang,” sahut Malik.
“Apakah Allah akan lupa kepada hamba-Nya yang miskin karena kemiskinannya? Akankah pula Dia ingat kepada hamba-Nya yang kaya, seperti temen-temen ente itu, lantaran kekayaannya?”
“Ya, tidak tentunya.”
“Karena Dia mengetahui keadaanku, ngapain pula repot-repot mengingatkan-Nya. Apa yang diinginkan-Nya, kita harus menerimanya.”
Memang sulit merayu Rabi’ah. Hasan Al-Bashri yang sering disebut-sebut sebagai guru Rabi’ah, konon pernah mental pula.
Syahdan, Al-Hasan dan kawan-kawan mendesak agar Rabi’ah menikah. “Oke,” jawab Rabi’ah. “Aku akan kawin dengan seseorang yang paling pintar di antara kalian. Siapa?”
Rame-rame mereka menunjuk Al-Hasan van Basrah itu.
“Jika Bapak dapat menjawab empat pertanyaan ini, saya siap jadi istri Bapak,” kata Rabi’ah seraya menghampiri orang tua itu.
“Silakan, dan jika Allah mengizinkan saya akan menjawab pertanyaan Saudari,” jawab Hasan, kalem.
“Apakah yang akan dikatakan hakim dunia ini saat kematianku nanti? Akankah aku mati dalam keadaan Islam atau murtad?”
“Hanya Allah Yang Maha Mengetahui yang dapat menjawab?”
“Waktu aku di kubur nanti, apakah aku dapat menjawab pertanyaan Munkar dan Nakir?”
“Hanya Allah yang tahu.”
“Ketika manusia dikumpulkan di Padang Mahsyar, dan di hari perhitungan itu semua manusia akan menerima buku. Apakah aku akan menerima di tangan kanan atau di tangan kiriku?”
“Hanya Allah yang tahu.”
Jawaban Al-Hasan juga sama ketika Rabi’ah apakah kelak ia akan masuk dalam kelompok orang-orang yang masuk surga atau yang masuk neraka.
“Aku sudah mengajukan empat pertanyaan tentang diriku. Bagaimana aku harus bersuami yang kepadanya aku harus menghabiskan waktu dengannya.”
Menurut Margaret Smith yang menulis disertasi tentang Rabi’ah Al-Adawiyah (1928), kisah lamaran Hasan Al-Basri itu, sebagaimana diceritakan tulisan sebelumnya, digambarkan lebih dalam satu versi. Meskipun secara kronologis tidak mungkin Al-Hasan meminang Rabi’ah, mungkin kisah itu menceritakan pinangan orang lain. Harap dimaklum, ulama besar itu wafat 70 tahun sebelum kematian Rabi’ah. Kisah tentang Rabi’ah memang tidak ditulis pada zamannya. Faridudin Aththar sendiri, yang pertama kali menulis biografinya, terpaut jarak tiga abad.
Tapi mengapa Rabi’ah tak hendak kawin? Lebih memilih jadi istri di surga kelak? “Sebuah pernikahan,” katanya, “hanya bagi mereka yang memiliki suatu wujud. Yakni mereka yang masih menginginkan keindahan dunia. Padaku, wujud itu sudah lebur.”