Pemimpin, di depan dan dibelakang layar, adalah pribadi dengan kekuatan dan kelemahan. Juga para calon presiden dan wakil presiden kita. Resep Mu’awiyah dalam menghadapi lawan politik
Pertama, tentang empat pemuka sahabat Nabi. Ahli-ahli politik menasihati Mu’awiyah agar mengangkat putranya sebagai calon khalifah. Alasanya: menghindari berulangnya perebutan kekuasaan berdarah. Mu’awiyah pun menobatkan Yazid. Di antara yang tidak setuju, terdapat empat tokoh: Husain ibn Ali, Abdullah ibn Umar, Abdurrahman ibn Abu Bakr, dan Abdullah ibn Zubair. Mereka tidak satu barisan. Juga tidak pernah dipertemukan para pendukung agar berkoalisi melawan Damaskus.
Sebelum mangkat, 60 H (580 M), Mu’awiyah sempat menaklimat, memberi briefing, Yazid dengan “wasiat politik” ini : “Yazid, kamu sudah tahu ‘kan, orang-orang yang menentang pengangkatanmu?”
“Saya Ayahanda.”
“Bagaimana kamu berhadapan dengan mereka?”
“Ayahanda lebih mahfum.”
(Yazid lahir pada 26 H, dari seorang ibu penduduk dusun di Najd bernama Asma alias Maisun binti Bahdal. Mu’awiyah membawanya ke Damaskus, tetapi ia tak betah. Malah minta dipulangkan ke kampung selagi mengandung Yazid. Syair-syair menyebutkan, istri Pak Gubernur ini lebih menyukai lolongan anjing malam ketimbang kilat pedang prajurit istana, lebih enjoy dengan angin di celah-celah kemah daripada kipas yang digerakkan oleh dayang-dayangnya. Setelah agak besar, sang anak diboyong ke kota. Sebagai galibnya anak penggede semasa, selain berburu, dan cewek, Yazid juga menyukai puisi.)
“Pertama, Husain ibn Ali,” kata sang bapak. “Kautangkap saja. Jangan dibunuh, kecuali melawan. Penuhi kebutuhan diri dan keluarganya.”
(Ketika orang-orang Kufah yang setia kepada Ali, kemudian dikenal sebagai Syi’ah, mendengar kematian Mu’awiyah, mereka berkirim surat kepada Husain, memintanya ke sana untuk dibaiat. Beberapa pemuka — termasuk Abdullah ibn Umar, di samping Ibn Abbas — menasihatinya agar tidak berangkat, tetapi Husain menyakini benar ketulusan warga Kufah yang dulu mengecewakan ayahandanya itu. Diikuti keluarga dan sejumlah pengikut, di jalan ia mendengar pasukan Ubaidullah ibn Ziad sudah siap menghadang. Pantang surut, Husain terus ke Karbala dan di sana ia menghadapi pasukan yang jauh di atas kekuatan mereka. terjadilah pembantaian itu. Husain tewas.)
“Bagaimana dengan Abdullah ibn Umar?” tanya si putra mahkota.
“Orang pintar yang satu ini sebenarnya tidak begitu berbahaya. Dia ahli ibadah. Karena itu jangan kamu ganggu urusan akhiratnya supaya jangan diganggunya urusan duniamu.”
(Kata Ibn Khaldun, Ibn Umar tidak suka ikut campur dalam persoalan apa pun, baik hal-hal yang boleh maupun yang terlarang.)
“Abdurrahman ibn Abu Bakr?”
“Anak muda gagah berani. Tapi dia punya kelemahan — suka cewek (kawin-cerai) dan hidup royal. Kau iming-imingi harta dan wanita, dia akan diam.”
“Kalau Abdullah yang satunya?”
“Orang ini, Anakku, yang paling berbahaya. Cerdas, pemberani, punya pengaruh. Kalau kamu biarkan, kamu bisa celaka. Karena itu kamu habisi.”
(Ibn Zubair, yang selain didukung penduduk Hijaz, termasuk Mekah dan Madinah, juga rakyat Yaman, Irak, dan Khurasan, nyatanya baru bisa ditumpas bukan oleh Yazid, bukan pula oleh penggantinya, Marwan ibn Al-Hakam, melainkan tentara Abdul Malik ibn Marwan yang naik tahta pada 65 H. Di bawah Panglima Hajjaj ibn Yusuf, tentara ini mengepung Mekah dan membuat Ka’bah terbakar oleh lemparan majaniq, meriam batu dan api. Toh keponakan Aisyah itu malah makin berani setelah mendapat wejangan ibundanya, Asma binti Abu Bakr: “Lebih baik gugur dalam kemuliaan, dengan pedang di tangan, daripada mati dihukum musuh.” Dia tewas di dekat Ka’bah; kepalanya dibawa ke Damaskus, badannya digantungkan di Masjidil Haram.)
Bagaimana dengan Mu’awiyah sendiri? Baru masuk Islam semasa penaklukan Mekah, putra Abu Sufyan ini pindah ke Madinah. Rasulullah mengangkatnya sebagai juru tulis, terutama untuk mencatat wahyu. Dia adalah seorang yang cerdas, licin, pemaaf, dan sangat ahli merangkul orang.
Setelah Ali ibn Ali Thalib r.a. dibunuh oleh kaum Khawarij, para pengikutnya mengangkat Hasan, putranya. Belum lagi enam bulan, dia menyerahkan jabatan kepada Mu’awiyah — resminya untuk menghindari pertumpahan darah. Mu’awiyah menyambut baik, lalu mengirimkan selembar kertas kosong yang telah dicap dan ditandatanganinya, dan Hasan boleh menuliskan apa saja yang dia inginkan. Hasan meminta jaminan hidup dan jabatan khalifah setelah Mu’awiyah meninggal, di samping beberapa tunjangan. Hanya jabatan khalifah yang tidak dipenuhinya.
Bagaimana dengan Ali? Menantu Nabi, cendekia, dan zuhud, hanya dikenal punya kelemahan: kurang menghargai pendapat orang dan kurang bermusyawarah. Lobinya kurang bagus. Pembelanya sendiri, Abdullah ibn Abbas, meninggalkannya. Kelihatan benar kesadaran Ali mengenai haknya untuk jabatan khalifah: dia lebih pintar juga dalam strategi perang, lebih lurus, sebagai intelektual merasa lebih banyak tahu dan dalam banyak hal memang lebih mulia ketimbang Mu’awiyah. Tapi Ali bukan negarawan — paling tidak, lebih moralis dibanding politikus, dua sifat yang mestinya menyatu. Sialnya lagi, massa pendukungnya kebanyakan pemberontak: kalau ada ucapannya yang tidak mereka setujui, mereka bantah terus terang. Ujung-ujungnya , bukan mereka yang mengikuti Ali, tetapi sebaliknya. Ali pernah mengatakan ini kepada Thalhah dan Zubair, ketika mereka minta kasus pembunuhan Utsman ibn Affan r.a. segera diusut.
Bagaimana dengan tokoh-tokoh kita di Indonesia? Sebutlah mereka yang sedang bertarung memperebutkan kursi DPR, atau nama-nama yang diperkirakan bakal menduduki jabatan menteri, selain pasangan calon presiden dan wakil presiden: Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Sandiaga Uno. Silakan pertimbangkan ‘ideologi’-nya, keluasan wawasannya, watak atau temperamennya, kemampuan kepemimpinannya, kebersihan dirinya, otoriter-tidaknya, dan seterusnya. Teliti sebelum membeli – dari sekarang