Gagal masuk perguruan bergengsi, Syekh Abdul Qadir Jailani sukses mengembangkan madrasah kecil dan menjadi pemimpin spiritual. Apa pesan ibu dia yang selalu dikenang para pengikutnya?
Kebersihan jiwa, kebeningan hati, ketulusan, keterusterangan, yang dimiliki Abu Shalih Zangi Dost sang ayah, ternyata menurun kepada putranya, Muhyiddin. Apalagi istrinya, Fathimah, selalu menanamkan nilai-nilai kejujuran kepada putranya itu. Dan ujian mental-spiritual itu datang ketika Muhyiddin beranjak dewasa dan dikirim orangtua mereka ke Bagdad untuk menempuh pendidikan tinggi di Madrasah Nizhamiyah.
Dikisahkan, Muhyiddin, yang kelak populer dengan sebutan Syekh Abdul Qadir Jailani dan pendiri Tarekat Qadiriah dan digelari sulthanul auliya alias penghulu para wali, berangkat bersama serombongan kafilah. Ia meninggalkan kampung halamannya tahun 1095. Dalam perjalanan mereka diserang kawanan penyamun. Satu per satu anggota rombongan dirampas hartanya. Dan ketika tiba giliran anak muda yang hanya berbekal seadanya itu, para garong tidak menemukan sesuatu apa pun kecuali tempat tidur kumal dan beberapa potong pakaian lusuh. Seorang begundal dengan garang bertanya, apakah dia membawa sesuatu selain hartanya yang sudah diacak-acak itu. Muhyiddin menjawab bahwa dia bawa uang 40 dinar. Tetapi ketika para begal mengaduk-aduk tempat tidur dan pakaiannya, hasilnya nihil. Mereka mengira anak ini pasti seorang miskin yang sombong. Lalu ditinggalkan, dan mereka menggeladah yang lain.
Setelah seluruh harta benda anggota kafilah dilucuti, kawanan itu melapor kepada pemimpin mereka soal pengakuan Muhyiddin tadi. Benggolan perampok minta Muhyiddin dibawa menghadapnya. Ia pun bertanya, apa benar Muhyiddin punya uang 40 dinar. Setelah Muhyiddin meembenarkan, ia menyuruh agar uang itu ditunjukkan.
Anak muda itu mengoyak bajunya, dan mengeluarkan kepingan uang 40 dinar. Para penyamun hanya melongo seakan tidak percaya.
“Mengapa kamu perlihatkan hartamu yang berharga itu? Toh tidak ada yang bakal curiga seandainya tidak kamu tunjukkan,” kata pemimpin perampok.
“Kata ibu saya, yang menjahit uang ke dalam baju ini, sekali-kali kamu tidak boleh berbohong.”
Allah Mahabesar, pemimpin rampok itu bagai kena pukulan telak dengan kata-kata itu. Bukan amarah yang bangkit, justru air mata yang jatuh. Pikirnya, anak ini masih ingin taat kepada kata-kata ibunya, sedangkan aku tidak taat meskipun kepada Penciptaku. Segala puji bagi Allah, pemimpin perampok, diikuti anak-anak buahnya, mengembalikan semua harta yang mereka rampas kepada anggota kafilah. Mereka bertobat, kembali ke jalan yang lempang. Kelak dikisahkan, bahwa Syekh Abdul Qadir tidak hanya membuat beribu orang bertobat, tapi juga berhasil mengajak ribuan orang masuk Islam.
Madrasah Nizhamiyah, tempat belajar yang dituju Muhyiddin Abdul Qadir, adalah sebuah perguruan tinggi bergengsi yang menjadi salah satu penanda Zaman Keemasan Islam pada masa Abbasiyah. Di perguruan ini pernah belajar dan kemudian mengajar antara lain Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali. Sayang, Muhyiddin tidak diterima di peguruan tinggi bergengsi ini, yang kala itu dipimpin oleh Ahmad Ghazali, yang menggantikan saudaranya Abu Hamid Al-Ghazali, ya hujjatul Islam tadi.
Namun demikian, ia tidak lantas pulang. Di Bagdad dia antara lain belajar kepada Abu Sa’ad al-Muharrimi, yang membuka sebuah madrasah kecil. Melihat kemampuan sang murid, Al-Muharrimi kemudian menyerahkan pengelolaan madrasah ini kepada Muhyiddin. Dan berkat kemampuan Muhyiddin pula madrasah ini terus berkembang sehingga tidak mampu menampung murid lagi. Dari madrasah ini, Syekh Abdul Qadir Jailani tidak hanya dikenal sebagai seorang faqih, yang menguasai ilmu-ilmu agama tetapi menjadi pemimpin spiritual, dan dijuluki sulthanul auliya atau raja para wali oleh para pengamal tarekatnya, Qadiriyah, di seluruh dunia.
Sumber: Ja’far ibn Hasan ibn Abd al-Karim al-Barjanzi, Al-Lujain al-Dani fi Manaqib al-Syaikh Abd al-Qadir Jailani, Semarang: Maktabah al-‘Alawiyah, t.t