Spiritualitas politik memang memandang politik sebuah jihad. Bukan sekadar pekerjaan untuk memperoleh imbalan atau karier dan mencapai jabatan atau kekuasaan.
Musim kampanye segera berakhir. Tapi luka-luka yang ditorehkan dalam adu kuat Joko Widodo versus Prabowo Subianto tampaknya cukup dalam. Dan perlu waktu untuk menyembuhkannya. Disebut-sebut kontestasi Pilpres 2019 adalah yang paling brutal dibandingkan dengan tiga pemilihan presiden sebelumnya. Setiap calon memang telah menyampaikan program masing-masing, antara lain dalam acara debat yang ditayangkan stasiun televisi. Tapi ajang fastabiqul khairat, berlomba-lomba dalam kebaikan itu ditelan oleh kampanye yang lebih massif: mencerca dan mengungkap keburukan lawan. Tak peduli apa itu benar atau bohong.
Dalam pada itu, kita juga menyaksikan panggung selama pilpres penuh riuh dengan simbol-simbol keislaman. Penggunaan simbol-simbol dan atribut-atribut keislaman ini terutama untuk membentuk citra diri yang religius dalam rangka meraih suara dari para pemilih Muslim. Apakah dalam tingkah laku politik mereka juga mencerminkan sebagai seorang yang religius, itulah yang menjadi persoalan. Sebab jika tidak, para politisi muslim itu boleh dikatakan telah gagal menghayati dan mentransformasikan nilai-nilai di balik yang simbolik dan ritualistik itu dalam laku yang lebih substantif. Inilah model keberagamaan politisi muslim yang lebih mengedepankan “cap Islam” ketimbang substansi. Kontestasi dalam pemilihan gubernur Jakarta tahun 2017 sarat dengan penggunaan simbol-simbol dan atribut-atribut atau “cap Islam”, yang kemudian menjurus pada penggunaan agama sebagai instrumen untuk mencapai tujuan politik.
Bergesernya Orentasi Politik Ulama
Para politisi, dalam mencapai tujuan politik, biasanya bertindak pragmatis, dengan cara membebaskan diri dari semua tuntutan atau prinsip-prinsip dasar yang bersifat universal. Dengan bersikap pragmatis ia menolak adanya ukuran tunggal yang menjadi dasar penilaian bagi semua tindakan manusia. Satu-satunya pegangan dalam tindakan pragmatis adalah pencapaian tujuan yang dikejar, dan tujuan itu bermanfaat atau berguna bagi dirinya secara praktis. Lebih jauh, pragmatisme politik ini bisa dipahami dalam kerangka politik transaksional. Dalam pemilihan umum kegiatan politik transaksional bisa berupa politik uang dalam rangka mempengaruhi pemilih, baik secara langsung maupun melalui para broker politik, pembelian suara pada masa rekapitulasi, dan pemberian mahar politik. Selain itu, politik transaksional bisa juga berupa dalam bentuk pembuatan kebijakan yang menguntungkan pihak-pihak tertentu yang memiliki kepentingan dengan si politisi. Dengan demikian, konsep dasar politik sebagai sarana untuk mengabdi kepada masyarakat yaitu untuk menciptakan hidup bersama yang adil dan merata dikalahkan dalam politik pragmatis. Kekuasaan bukan lagi sebagai sarana pelayanan kepada masyarakat melainkan sebagai tujuan akhir dari seluruh perjuangan politik.
Ironisnya, pragmatisme politik juga tampak pada peran politik ulama. Orientasi politik mereka telah bergeser dari garis perjuangan yang selama ini dijadikan sebagai pusat pengabdian hidupnya sebagai ahli agama dan tokoh masyarakat. Pergeseran itu terjadi karena banyaknya kiai yang masuk dalam arus politik praktis jangka pendek. Pemikiran keagamaan mereka yang dalam serta kebijaksanaan mereka dalam mengayomi umat yang selama ini mereka tunjukkan tergusur oleh semangat politisasi dan mobilisasi sumber daya Yang mereka miliki untuk kepentingan yang sebenarnya di luar kebiasaan politik ulama pada masa lampau. Keterlibatan ulama atau kiai dalam politik sejatinya lebih diorentasikan kepada upaya mentransendensikan hal-hal yang bersifat praktis-pragmatis sehingga proses politik punya dimensi etis dan spiritual, yang mendorong para pelaku politik punya tanggung jawab moral.
Perilaku politik para politisi dan pergeseran orientasi politik ulama tersebut berlawanan dengan moralitas dan spiritualitas politik. Maka, kegiatan politik pun, bukan lagi ladang untuk menanam kebajikan. Tetapi justru yang menonjol adalah untuk menanamkan kepentingan dan mengambil keuntungan. Di satu sisi liberalisasi politik telah membuka ruang partisipasi rakyat lebih lebar, namun disisi lain telah menjadikan aktivitas politik, yang didukung oleh kekuatan uang, bukan lagi sebagai panggilan (beruf). Pekerjaan politik pun tampil lebih sebagai profesi atau karier, dan dengan itu pula politisi bekerja untuk dibayar. Hal ini berbeda dengan para politisi pada masa zaman kolonial atau masa rezim otoritarian yang menjadikan politik sebagai sebuah panggilan yang penuh risiko. Panggilan itu datang dari dalam diri seseorang yang berupa rasa tanggung jawab dan berasal dari realitas sosial yang harus diubah. Pada akhirnya jalan politik yang ditempuh berdasarkan panggilan ini menciptakan semacam hubungan metafisikal antara politisi dengan Dzat yang memanggilnya itu. Mereka menempuh jalan politik untuk sebuah cita-cita atau idealisme. Mereka hidup untuk politik, bukan yang hidup dari politik sebagaimana umumnya para politisi sekarang.
Spiritualitas politik memang memandang politik sebuah jihad. Bukan sekadar pekerjaan untuk memperoleh imbalan atau karier dan mencapai jabatan atau kekuasaan