Salman Al-Farisi, yang sedang sakit, menangis ketika dijenguk Gubernur Madain Sa’d ibn Mas’ud bersama Sa’d ibn Malik. “Apa yang membuat Anda menangis, wahai Aba Abdillah,” tanya mereka. “Ada satu pesan Rasulullah s.a.w. yang sekarang tidak lagi dipegang orang. Beliau bersabda, ‘Sebaiknya orang mengambil secukupnya saja dari dunia ini seperti halnya bekal musafir’,” jawabnya.
Itulah Salman yang memilih cara hidup sederhana, yang kemudian diteguhkan orang sebagai tokoh sufi. Itulah Salman, satu-satunya sahabat Nabi yang berdarah Persi, yang sejak kecil memiliki jiwa keagamaan yang kuat. Ia sangat tekun beribadah menurut agamanya waktu itu, Majusi (Zoroaster), sehingga ia dipercaya menjaga api, sesembahan Majusi, di kampungnya agar tidak padam. Itulah anak seorang tokoh penting (dihqan) di Desa Jai atau Jayan, dekat Isfahan (versi lain, lahir di kota Ramhurmuz, sebuah kota terkenal di Persi, dekat Irak). Seorang anak yang, sebenarnya, selalu haus akan kebenaran.
Perjalanan Salman mencari kebenaran dimulai ketika ayahnya, yang tak ingin terganggu selama memperbaiki salah satu bagian rumahnya, menyuruh ia ke kebun. Di tengah jalan langkahnya terhenti ketika didapati sebuah gereja. Cara mereka sembahyang sungguh membuat hati anak ini takjub. Cara yang aneh, tetapi mengesankan. “Ini lebih baik dari yang aku anut selama ini,” katanya dalam hati. “Dari mana asal agama mereka?” tanyanya kepada orang- orang Nasrani. “Di Syam (Siria),” jawab orang-orang itu.
Begitu terkesimanya Salman kecil hingga ia tetap tinggal di situ sampai matahari terbenam, membuat ayahnya panik. Sudah disuruh orang untuk mencari anaknya itu, tetapi tak ditemukan juga. Eh, tiba-tiba dia nongol sendiri. “Dari mana saja kau?” hardik sang ayah. Dia ceritakan pengalaman sepanjang siang tadi. “Saya lihat agama mereka lebih baik dari yang kita peluk,” katanya. “Anakku, agamamu dan agama nenek moyangmu lebih baik dari agama mereka.” Si anak, yang bernama asli Mahbeh atau Ruzye, tetap ngeyel. ‘Tidak, Ayah, demi Tuhan.” Ini isyarat buruk, pikir sang ayah. Dia rantai kaki anak itu. Namun, hati si bocah tak ikut terantai. Hatinya, yang telanjur kepincut pada agama baru tadi, tetap mengembara. Lalu dikirimnya pesan kepada gereja bahwa dia sudah menjadi bagian dari keluarga Nasrani dan jika datang kafilah Siria agar dia diberi tahu. Ia ingin ikut ke tempat asal agama itu agar dapat mendalaminya. Ketika rombongan kafilah Siria tiba dan hendak kembali, ia patahkan rantai kakinya dengan besi, lalu ikut mereka.
Di Siria, Salman menemui uskup Nasrani lalu tinggal bersamanya sebagai pelayan dan murid. Ternyata uskup itu bukan uskup yang baik. Disuruhnya orang-orang memberi sumbangan ke gereja, tetapi dana itu lalu dia simpan sendiri. Rahasia ini dia ungkapkan kepada para jamaah ketika sang uskup meninggal. Setelah itu, dia berpindah dari satu uskup ke uskup lain. Setiap kali uskup yang diikutinya mendekati ajal, dia selalu bertanya, kepada siapa ; dia bisa berguru. Sampai kemudian dia berguru kepada seorang uskup di Romawi yang saat ajal hendak menjemput memberi tahu akan datangnya seorang nabi yang menghidupkan ajaran Nabi Ibrahim yang murni. Ia tinggal di tempat hijrahnya yang ditumbuhi pohon kurma dan diapit dua gunung bebatuan. “Dia tidak menerima sedekah (maksudnya sumbangan wajib untuk dirinya), tetapi bersedia menerima hadiah dan di pundaknya ada cap kenabian,” kata sang uskup.
Dengan penuh semangat Salman mencari keterangan tentang orang dan tempat yang disarankan tersebut,
sampai akhirnya lewat kafilah dari jazirah Arab. Dengan jaminan sapi dan
kambing yang dia miliki, Salman dibolehkan ikut rombongan ke Wadil Qura. Namun ia ditipu mentah-
mentah. Ia tidak dibawa ke tempat
Nabi, tetapi dijual kepada orang Yahudi. Kembali ia berpindah dari satu tangan
ke tangan lain—bukan sebagai murid lagi tetapi sebagai budak—hingga akhirnya
ada seorang Yahudi dari Bani Quraizhah yang membeli dan membawanya ke Madinah.
Di Atas Pohon Kurma. Meski kedatangan seorang nabi dengan agama barunya sudah membuat heboh Mekah dan jadi perbincangan kalangan terbatas di Madinah, Salman belum mendengar apa-apa. Maklum ia hanya seorang budak yang kerjanya mengurus kebun kurma Bani Quraizhah, setiap hari, dibantu seorang teman Yahudinya. Suatu hari, ketika ia sedang berada di atas pohon kurma, datang seorang lelaki Yahudi. “Celakalah Bani Qailah. Mereka kini berkumpul hendak menyambut seorang lelaki di Quba yang datang dari Mekah, yang mereka kira nabi,” katanya kepada teman Salman yang sedang duduk di bawah pohon. Salman nyaris saja jatuh saking kagetnya. Pas benar dengan yang dikatakan uskupku, pikirnya. Lalu ia turun. “Apa Anda bilang tadi?” tanyanya. “Hei, ngapain kamu? Bekerja sana!” tuannya membentak sambil menampar.
Salman memang kembali bekerja, tetapi diam-diam dikumpulkannya beberapa butir kurma dan sore harinya dia bawa ke Quba untuk dihadiahkan kepada Nabi. Kegiatan ini dia teruskan setelah Nabi tinggal di Madinah. Kalau malam tiba, diam-diam ia datang membawa kurma. “Ini bukan sedekah, tetapi hadiah sebagai penghormatan kepada Baginda,” katanya. Kurma itu beliau makan bersama sahabat.
Setelah bertemu berkali-kali dengan Rasulullah, Salman makin yakin, inilah yang diramalkan uskupnya. Lebih-lebih setelah dia lihat cap kenabian di punggung beliau. Cintanya kian hari kian menebal. Ia pun makin yakin dengan kebenaran ajaran yang dibawanya. Lalu ia mengucap syahadat di hadapan beliau. Meski begitu, ia harus pandai-pandai menyembunyikan keislamannya hingga ia tidak bisa mengikuti Perang Badr dan Perang Uhud. “Hei, Salman, mengangsurlah untuk kemerdekaanmu!” kata Nabi suatu ketika. Beliau lalu minta para sahabat mengumpulkan dana untuk pembebasannya, yaitu 300 pohon kurma dan 40 uqiyah emas. Dan, merdekalah Salman.
Gelap. Menurut Dairatul Ma’arifil Islamiyah, sosok Salman penuh dengan sisi gelap. Cerita tentang dirinya pun, seperti dituturkan di atas, hanya berasal dari satu sumber, yaitu Ibnu Ishak. Terlalu banyak legenda dan mitos yang dilekatkan padanya, buku ensiklopedia itu sendiri meragukan cerita masa lalunya sebagai budak. Hanya saja, Shahihul Bukhari mengutip satu penggalan dari cerita panjang hikayat hidupnya, yang diriwayatkan Ibnu Ishak, meski mengutip begitu saja sebagai subjudul dan tanpa sanad, yaitu pada bagian sabda Nabi, “Mengangsurlah untuk kemerdekaanmu.”
Tak banyak yang diketahui, kecuali ketika Nabi wafat, Salman berada di barisan orang-orang yang menjagokan Ali sebagai penggantinya (bukan Abu Bakar). Salman juga pernah diangkat sebagai gubernur Madain oleh Umar dan ia meninggal di kota itu. Tak diketahui berapa umurnya saat ia meninggal, tetapi dipastikan sudah sangat tua. Tahun kematiannya pun diperselisihkan. Perkiraan yang paling mendekati kebenaran adalah tahun pertama kepemimpinan Utsman ibn Affan.
Yang pasti pula, gara-gara sikapnya dalam soal penerus Rasul dan mungkin pula karena kepersiaannya, Salman menjadi tokoh yang dibanggakan kalangan Syiah. Kuburannya di Madain menjadi tempat ziarah yang ramai dikunjungi. Setelah mengunjungi Karbala, orang Syiah selalu menziarahi kuburannya. Maka, beredarlah banyak mitos. Di kalangan Syiah ekstrem dia digambarkan sebagai sosok yang mewakili Tuhan dalam proses emanasi di bumi untuk waktu tertentu. Lalu, sebagai bagian dari trinitas ketuhanan, dia disebut Sin (singkatan dari Salman), yang lainnya adalah Ain (Ali), dan Mim (Muhammad). Ain adalah elemen pusat ketuhanan yang statis, Mim elemen yang dinamis, dan Sin merupakan elemen penghubung antara keduanya.
Alasan lain mengapa ia sangat dibanggakan Syiah adalah sebutan Nabi kepada dirinya sebagai ahlul bait. Sebutan ini muncul, konon, ketika selama penggalian parit (khandaq) dia yang kuat menjadi rebutan orang Anshar dan Muhajirin. “Dia dari golongan kami, ahlul bait,” kata Nabi menengahi.
Tokoh Tasawuf. Yang sering pula dilekatkan pada Salman adalah dia bersama ahlus shuffah merupakan pelopor (paham) tasawuf. Setelah masuk Islam, ia tampil sebagai figur yang hidup sederhana dan zuhud serta suka beribadah.
Cara hidup sederhana ini dia pertahankan saat menjadi gubernur Madain. Pernah ketika Salman sedang berjalan dia didatangi seorang laki-laki dari Siria yang membawa sepikul buah tin dan kurma. Beban itu cukup berat hingga begitu melihat Salman yang tampak seperti orang tak punya, orang Siria ini menyuruhnya membawakan barangnya dengan imbalan. Maka dibawanya barang itu oleh Salman.
Dalam perjalanan keduanya berpapasan dengan satu rombongan. Sesuai adab bahwa orang yang sedikit harus mendahului memberikan salam kepada orang yang lebih banyak, Salman memberi salam. Jawaban dari rombongan itu membuat tercengang orang Syria. “Salam juga untuk Amir.” Masih belum habis rasa heran di hati orang Syria itu, seorang anggota rombongan meraih beban dari Salman. “Biarlah kami yang membawa.” Barulah orang Syria ini sadar bahwa yang membawakan barangnya adalah seorang Amir yang dihormati oleh semua orang. Dengan menyesal ia meminta maaf.
Meski suka beribadah, Salman tak suka berlebihan. Pernah suatu ketika ia menginap di rumah Abu Darda. Ia sudah mendengar bahwa orang ini suka berlebihan dalam beribadah. Ternyata betul. Abu Darda selalu berpuasa setiap hari dan pada malamnya melakukan salat tanpa henti. Melihat itu, timbul niat di hati Salman untuk membatalkan puasa sunnah Abu Darda. Di samping itu, pada malam hari ia paksa Abu Darda tidur, tidak terus-menerus salat. Katanya, “Abu Darda, setiap mata mempunyai hak (untuk tidur), keluarga pun mempunyai hak. Maka, di samping berpuasa, berbukalah dan di samping salat, tidurlah. Peristiwa ini dilaporkan kepada Rasulullah. Sabda beliau, “Sungguh Salman telah dipenuhi ilmu.”
Dengan pribadinya seperti itu, Salman menjadi sosok yang dihormati. Ali ibn Abi Thalib memujinya dalam satu syair:
Ia adalah seorang yang datang dari kami dan kembali kepada Ahlul Bait
Siapa pula di antara kalian yang dapat menyamai Luqmanul Hakim
Ia telah beroleh ilmu yang pertama begitu pula ilmu yang terakhir
Tak ubahnya ia bagai lautan yang airnya, tak pernah kering
Amirul Mu’minin Umar ibn Khattab pernah mengajak para sahabat untuk menyambut Salman Al-Farisi yang hendak berkunjung ke Madinah. Umar pun memberinya tunjangan 4.000 dirham, sementara anaknya hanya diberi 3.500. Tunjangan ini disediakan buat seluruh rakyatnya, dengan jumlah yang bervariasi, tergantung bagaimana kedekatannya dengan Nabi dan Islam (yang masuk Islam pertama mendapat lebih banyak dibanding yang masuk kemudian). Banyak sahabat, termasuk Gubernur Sa’d, yang menjenguknya kala ia sakit. “Berwasiatlah kepada kami,” minta sekelompok penjenguk. Ia menjawab, “Barangsiapa di antara kalian bisa mati ketika melaksanakan haji, umrah, berperang atau memintahkan bacaan, maka matilah (dalam keadaan demikian). Dan jangan sekali-kali seorang di antara kalian mati sebagai seorang durhaka atau pengkhianat.”
Emat Suhimat
Artikel ini telah tayang di Majalah Panji Masyarakat No.17 tahun 2 12 Agustus 1998