Buatlah orang baik merasa aman dan orang jahat merasa takut. Jika pemimpin menyimpang, rakyat pun akan menyimpang. Dan orang paling celaka adalah yang mencelakakan orang.
“Teruslah begitu, Mughirah, biar orang baik merasa aman dengan kamu dan orang jahat merasa takut.”
Pesan itu disampaikan oleh Khalifah Umar ibn Khattab r.a. kepada Mughirah ibn Syu’bah ketika ia berpamitan untuk berangkat ke Kufah, Irak, sebagai penguaasa daerah. Sebelum menugasi Mughirah, menurut Sa’id ibn Amr, Khalifah menjajakinya terlebih dulu. Berkata Umar, “Apa pendapatmu tentang bedanya memberi kekuasaan kepada seorang Islam yang lemah dengan kepada orang yang kuat dan kasar?’
“Seorang Islam yang lemah,” jawab yang diuji, “keislamannya adalah untuk dirinya sendiri, sedangkan kelemahannya adalah tanggung jawab Anda. Adapun seorang yang kuat dan kasar, kekasarannya adalah untuk dirinya sendiri dan kekuatannya untuk kaum muslimin.
“………. Baiklah, aku akan mengirimmu ke Kufah.”
Tidak kalah mengesankannya adalah pesan panjang Khalifah ketika melepas Utbah ibn Ghazwan sebagai penguasa di Basrah. Dia berkata, “Utbah, takutlah selalu kepada Allah sehubungan dengan kekuasaan yang aku percayakan kepadamu ini. Jangan bersikap arogan karena yang akan rugi bukan hanya kamu, tetapi juga kawan-kawanmu. Cukup lama kamu bersahabat dengan Rasulullah s.a.w.,karenanya kamu menjadi mulia, padahal sebelumnya hina; menjadi kuat, padahal sebelumnya lemah. Bahkan sebentar lagi kamu menjadi gubernur yang berkuasa. Ucapanmu akan didengar dan perintahmu ditaati. Apalah arti ni’mat kalau tidak bisa meningkatkan derajatmu, dan justru membuatmu congkak kepada orang lain di bawahmu?
Peliharalah ni’mat sebagaimana kamu memelihara diri dari maksiat. Yang aku khawatirkan, gara-gara bergelimang ni’mat kamu terpedaya dan tersungkur ke neraka, na’udzu billah. Orang-orang bergegas menuju Allah ketika dunia diperlihatkan kepada mereka dari kejauhan, sedangkan mereka mengingikannya. Namun aku berpesan kepadamu, inginkanlah Allah, jangan inginkan dunia; jangan ikuti jejak orang-orang zalim.”
Kepada Kadi (hakim) Abu Musa Al-Asy’ ari, yang diterpa berbagai isu yang menyudutkan, Khalifah Umar ibn Khattab mengirim surat seperti ini: “Amma ba’du. Manusia itu cenderung tidak menyukai penguasanya. Hati-hati jagalah kalau kamu berlaku seperti itu padaku. Waspadalah terhadap fitnah yang membabi buta, kedengkian yang mengikutimu, nafsu yang dituruti, dan dunia yang dibiarkan mengalahkan akhirat.”
“Tegakkanlah hukum. Seretlah orang-orang yang berbuat zalim ke pengadilan. Walau sesaat, lecehkanlah kaum fasik dan pisahkan mereka. Jika terjadi ketegangan antarsuku, serukanlah kepada mereka bahwa itu termasuk bisikan setan. Ajaklah mereka ke jalan Allah dan ajaran Islam.”
“Abadikanlah ni’mat dengan bersyukur, kemampuan dengan permohonan ampun, dan kemenangan dengan sikap rendah hati serta mencintai sesama. Jenguklah kaum muslimin yang sakit. Antarkan jenazahnya sampai ke pemakaman. Berikan perhatian yang besar kepada urusan mereka. Dan, bukalah terus pintumu karena kamu salah seorang dari mereka, hanya saja Allah menjadikan kamu paling berat memikul beban.
“Aku sudah mendengar isu-isu tentang gaya berpakaian, makanan, dan kendaraanmu serta keluargamu, yang tidak sama dengan kaum muslimin umumnya. Aku peringatkan kamu: jangan seperti binatang yang ingin gemuk dan kemudian binasa oleh kegemukannya. Kalau pemimpin menyimpang, rakyat pun akan menyimpang. Dan orang paling celaka ialah yang mencelakakan orang. Wassalam.”
Adapun Umar, seperti disadarinya sendiri, adalah pemimpin yang berwatak keras dan sangat menjunjung tinggi hukum. (Di Asia Tenggara, di lingkungan yang lain, dan di “Panggung yang kecil”, mungkin Lee Kuan Yew mengarah-arah menyamainya.) Simaklah bagian pidatonya ketika dia diangkat menjadi khalifah menggantikan Abu Bakr.
“Aku tahu, di antara kalian ada yang mengatakan, ‘Apa jadinya urusan kita dipimpin Umar yang berwatak keras seperti itu?’ Tanpa perlu bertanya kepada siapa pun tentang diriku, kalian sudah tahu siapa aku. Bahkan sudah sangat berpengalaman mengenai pribadi dan tindakanku. Ketahuilah, kekerasanku terhadap orang yang zalim, yang jahat, dan orang-orang kuat yang menindas yang lemah. Namun terhadap mereka yang baik di antara kalian, aku berlaku sopan dan hormat. Jika ada sengketa antara aku dan siapa pun di antara kalian, aku bersedia pergi bersamanya menemui orang yang kalian anggap bisa menyelesaikannya. Biarlah dia yang menilik persoalannya. Wahai para hamba Allah, bertakwalah kepada Tuhan kalian. Bantulah aku mengatasi nafsu kalian dengan cara mengendalikannya. Bantulah diriku menjalankan amar makruf nahi mugkar.”
Di Indonesia, dalam latar yang juga berbeda, seorang pemimpin ormas Islam pernah menyatakan bahwa kemerosotan ekonomi, ancaman pengangguran, dan merebaknya kejahatan, sebagai disebabkan oleh sikap sebagian kita, para pemimpin, terutama, yang telah menggantikan ni’mat dengan kufr (sikap ingkar). Katanya, “Bersediakah para pemimpin dan sebagian warga negara menghentikan berbagai kemaksiatan, kemunkaran, korupsi, kolusi, keserakahan, kemewahan, kesombongan, yang selama ini dipertontonkan?”
Bung Hatta pernah mengatakan, kurang lebih, yang membuat sebuah pemerintahan berwibawa adalah ketinggian martabat para pemimpinnya. Martabat itu bukan harta, kita pahami, dan bukan kekuasaan. Dengan para pemimpin seperti itu pemerintah tidak akan menghadapi krisis kepercayaan.