Disadari atau tidak, dalam kehidupan sehari-hari kita cenderung memperlakukan seseorang berdasarkan status sosial orang itu. Allah pun menegur Rasulullah saat bermuka masam.
Rasulullah s.a.w. tidak dapat menyembunyikan kegusarannya ketika seseorang datang saat beliau terlibat pembicaraan dengan sejumlah orang penting Quraisy. Kehadiran orang itu jelas amat mengganggu dan merusak suasana.
Bagaimana tidak gusar. Orang yang mengganggu obrolannya itu hanyalah orang buta bernama Abdullah bin Ummi Maktum. Lantaran tidak melihat, mungkin ia tidak tahu bahwa Nabi sedang terlibat pembicaraan serius dengan para penggede. Orang-orang terpandang, dihormati dan begitu disegani. Mereka para pemimpin Quraisy macam Utbah bin Rabi’ah, Abu Jahl bin Hisyam, Ummayyah bin Khalaf dan Ubay bin Khalaf. Apalagi yang sedang diperbincangkan adalah persoalan yang begitu penting menyangkut dakwah Rasulullah kepada mereka agar mau memeluk Islam.
Adapun tujuan Ibnu Ummi Maktum datang ke majelis tempat Nabi berbincang itu untuk meminta nasihat dan minta dibacakan ayat Alquran untuknya. “Ajarkanlah aku dari apa yang Allah ajarkan kepadamu,” pinta orang buta itu kepada Rasulullah. Mendengar permintaan orang yang tidak diharapkan kehadirannya itu wajah Nabi pun berubah menjadi masam dan berpaling darinya. Nabi tidak hanya merasa terganggu, tetapi juga khawatir bila para pembesar Quraisy akan merasa tidak dihormati dan balik merendahkannya, sehingga harapan mereka memeluk Islam menjadi sirna.
Sikap Rasulullah yang bermuka masam dan berpaling dari Ibnu Ummi Maktum demi menghormati para pembesar Quraisy langsung mendapat teguran dari Allah sesaat setelah peristiwa itu terjadi. Allah rupanya tidak senang terhadap sikap hamba-Nya yang selama ini dikenal memiliki suri tauladan yang baik, tiba-tiba berlaku tidak empatik terhadap orang buta itu yang tak lain adalah sahabatnya sendiri.
Peristiwa itu diabadikan dalam surat Abasa (berarti bermuka masam): “Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling. Karena seorang buta telah datang kepadanya. Dan tahukah engkau (Muhammad) barangkali dia ingin menyucikan dirinya (dari dosa). Atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, yang memberi manfaat kepadanya?” [Q.S. Abasa 1-4]
Setelah wahyu peringatan itu turun, Rasul menjadi tersadar dan segera menyambut kehadiran Ibnu Ummi Maktum dengan muka berseri. Rasul juga mengabulkan apa yang dia minta. Dan bahkan Rasulullah selalu menyambutnya dengan gembira ketika bertemu dengan sahabat istimewa ini. Dengan senang hati Nabi akan menghamparkan sorbannya untuk tempat duduknya sambil berkata: “Selamat datang wahai orang yang menyebabkan Tuhanku menegurku karenamu.”
Dari peristiwa itu kita bisa mengambil berbagai hikmah, pertama mengenai pentingnya untuk segera menyadari kesalahan atau kekeliruan sebagaimana ditunjukkan oleh Nabi. Kedua, hendaknya kita tidak berlaku diskriminatif terhadap sesama manusia, ketiga hendaknya kita memperlakukan siapa pun dengan baik tanpa melihat kedudukan orang itu, dan keempat bersikap empatik terhadap mereka yang hidupnya tidak beruntung. Disadari atau tidak, dalam kehidupan sosial sehari-hari kita cenderung memperlakukan seseorang berdasarkan status sosial orang itu.
Sumber: M. Yusuf Al-Kandahlawy, Kehidupan Para Sahabat Rasulullah SAW