Kehidupan politik bisa menjauh dari moral, juga moral agama. Tak heran jika Nabi pernah mengungkapkan kata-kata yang kadang-kadang terdengar seperti sebuah tanda “frustasi”: La’natullah ‘alas siasah (Laknat Tuhan kepada politik).
Dari Abu Musa, seperti diriwayatkan Imam Bukhari, Rasulullah s.a.w bersabda: “Perumpamaan ilmu dan petunjuk yang diberikan Allah kepadaku laksana air hujan yang turun ke bumi. Di antaranya ada tanah yang subur, yang menyerap air hujan sehingga menumbuhkan rerumputan ijo royo-royo. Sebagian lagi tanah dan bebatuan yang manfaatnya untuk minum, menyiram serta menanam. Hujan itu jua menimpa tanah yang lain, tanah yang gundul yang tak dapat menahan air dan tak bisa menumbuhkan tanaman. Itulah perumpamaan orang yang memahami agama Allah, dan orang yang mengambil manfaat dari ilmu yang diberikan Allah kepadaku, lalu mempelajarinya dan kemudian mengajarkannya, serta orang yang tidak mau mengerti ilmu itu dan tidak mau menerima penunjuk yang kubawa.”
Dalam hubungannya dengan adab penyelenggaraan kekuasaan, memang sudah sepatutnya seseorang, atau sekelompok orang pemegang wewenang, berlaku seumpama awan tebal yang siap menurunkan hujan yang melingkupi seluruh pelosok negeri. Tanpa pilih kasih, alias tidak menjalankan politik diskriminasi. Setiap orang berhak memperoleh perlakuan yang sama di segala lapangan kehidupan. Seperti juga menerima anugerah agung dari Nabi, dalam memperoleh manfaat dari para pemegang urusan negera pun kita hanya bergantung pada derajat kemampuan dan kadar keseriusan kita sendiri. Selebihnya adalah faktor rahmat Allah. Bukan manfaat diperoleh lantaran kita punya kunci akses ke wilayah kewenangan, tempat segala sesuatu bisa “dibicarakan”, lalu digelindingkan, praktek kolusi atau perlakuan anak emas yang memuakkan tapi terus dijalankan dengan intens dan dalam skala yang luas.
Dikisahkan, anak Amr ibn Ash, gubernur Mesir pada masa Khalifah Umar ibn Khattab, suatu hari menghajar seorang penduduk pribumi dari suku Koptik. Dengan sombongnya dia membentak, “Rasakanlah pukulan anak orang terhormat ini!” Ketika kabar penganiayaan itu sampai ke Khalifah, beliau memutuskan hukum balas (qisbash) kepada anak Pak Gubernur tadi, disertai peringatan yang terkenal in : “Matasta’badtuman-naas, waqad waladat-hum ummabaatuhum ahraaraa (Sejak kapan kalian berhak mempermudak manusia, sedangkan mereka dilahirkan ibunya sebagai orang merdeka?).”
Tetapi kepemimpinan yang tegak pada landasan moral memang bisa absen. Bisa terjadi bahwa hanya sedikit dari wakil rakyat, misalnya, yang merupakan pribadi-pribadi yang bersih, menjaga diri, terpercaya, mendahulukan kepentingan orang lain dari kepentingannya sendiri, dan tidak haus kekuasaan. “Kampung akhirat Kami sediakan buat orang-orang yang tidak haus kekuasaan (sewenang-wenang) serta tidak berbuat kejahatan di muka bumi. Dan akhir yang bahagia bagi orang-orang yang bertakwa” (Q. 28:83).
Karena itu seorang pemimpin, atau calon pemimpin semestinya tidak meletakkan tujuannya pertama kali pada garis perburuan kekuasaan itu sendiri. “Saya tidak mengejar kursi” memang layak diucapkan seorang calon yang sadar. Malah mungkin ia akan berusaha menolak kursi itu jika ia memang merasa bukan orangnya, atau jika ia takut tergoda menyelewengkan penggunaannya, atau jika ia yakin tidak mungkin mendapatkannya. Pada kali lain ia mungkin mengejar kursi itu jika ia memandangnya sebagai satu-satunya jalan yang mungkin untuk mewujudkan amanat rakyat yang diembannya dengan ikhlas dalam wujud program-program yang ia yakini.
Jadinya, posisi atau jabatan bukan sesuatu yang dengan sendirinya diterima dengan suka cita, sebagai anugerah, tetapi sebagai sarana, dan juga ujian. Sebab kelak di akhirat dia harus mempertanggungjawabkan kekuasaannya., besar maupun kecil, pada pengadilan Allah. “Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu untuk menunaikan segala amanat kepada yang berhak, dan apabila kamu memutuskan hukum di antara manusia hendaklah kamu memutuskannya secara adil” (Q.S 4:58). Dan Dialah yang menjadikan kalian di atas sebagian yang lain beberapa derajat, untuk menguji kalian lewat yang dikaruniakan-Nya kepada kalian.” (Q.S 6:165).
Tetapi kehidupan politik, di mana pun, memang bisa menjauh dari moral, juga moral agama. Tak heran jika Nabi Muhammad pernah mengungkapkan kata-kata yang kadang-kadang terdengar seperti sebuah tanda “frustasi”: La’natullah ‘alas siasah (Laknat Tuhan kepada politik).” Dalam keadaan politik amoral seperti itu, hanya jika dipandang perlu para ulama dimintai jasanya untuk nasihat-nasihat “khusus”, bagi keberlangsungan kekuasaan. Keadaan demikian, menurut Al-Nadwi (1988), telah memecah kaum agama (juga cendekiawan) dalam berbagai kelompok. Pertama, kaum oposan yang membelot. Kedua, golongan apatis yang menarik diri dari medan, menutup mata dan telinga dari perkembangan , hanya mengurus diri sendiri, putus asa dari usaha perbaikan. Ketiga, kelompok yang suka melancarkan kritik dan mengembus-embuskan desas-desus, tetapi usaha mereka tak ada artinya sama sekali. Keempat, kaum kompromis yang suka berkolaborasi atau selalu bersedia dikooptasi, baik dengan tujuan keuntungan pribadi maupun barangkali yang lain.
Sumber: Abu’l Hasan Ali Al-Nadwi, Islam Membangun Peradaban Dunia (1988)