Yang demikian itu karena Allah tidak akan pernah mengubah karunia yang telah dilimpahkan-Nya kepada suatu kaum sampai mereka sendiri mengubah yang ada dalam diri mereka, dan karena Allah Maha Mendengar dan Mahatahu (Q.S 8:53).
Apakah sebenarnya yang berubah dalam diri kita, sehingga kita mengalami pembalikan keadaan yang demikian drastis? Fantastis, memang: dalam tempo sekejap, bayangan kemakmuran Negara Republik Indonesia yang dikatakan sudah layak diimpikan bersama, dan memang dalam kenyataan sudah dikccap pinggir- pinggirnya oleh banyak sekali mulut, musnah bagai dilembur gelombang besar tsunami. Seluruh kualitas hidup tiba-tiba merosot—sampai hampir ke titik nol. Pertumbuhan ekonomi (GDP, gross domestic product) yang ajaib, yang pada 1995 terhitung 8,1%, dan dua tahun berikutnya masih 7,5%, hingga pendapatan per kapita waktu itu mencapai US$1.150 per tahun, tiba-tiba saja anjlok menjadi—ketika nilai dolar Amerika membumbung mencapai Rp.10 ribu menjelang revolusi Mei
1998—hanya US$291, menurut peneliti CIDES Thomas Nugroho (Afkar, V /1, h. 98,103).
Baik kultus, kemunafikan maupun kolusi mendatangkan hukuman Allah. Sunatullah bergerak dengan hukum sosial
Dalam rentang waktu hampir sama, inflasi menggelembung dari 5,17% menjadi, pada dua bulan pertama tahun ini, 19,45%. Penyebab terpenting adalah melejitnya harga-harga kebutuhan pokok yang pada satu saat bahkan mencapai 400%. Sementara itu jumlah penduduk miskin di paruh pertama 1998, menurut Biro Pusat Statistik, sudah 79,4 juta orang (dari 22,5 juta dua tahun lalu), dan itu berarti lebih dari sepertiga rakyat. Sedangkan menurut perkiraan Bank Dunia, tahun ini sekitar 20 juta orang tersungkur menganggur.
Ke manakah perginya kemampuan swasembada pangan, yang memang pernah kita alami barang sebentar, meski selanjutnya hanya kepura-puraan (yang didongkrak impor beras diam-diam, yang menurut Meneg Pangan dan Hortikultura A.M. Saefuddin dilakukan keluarga Soeharto)? Ke mana semboyan “tinggal landas” yang gagah itu, sementara kita sekarang merosot dari kedudukan “negara sedang” ke kelas “negara miskin”?
Adat Allah. Ayat di atas bukan ayat ekonomi, tentu saja. Bahkan dari kalangan mufasir generasi pertama, As-Suddi, misalnya, bisa dipahami tidak adanya hubungan ayat dengan masalah keseharian seperti krisis ekonomi atau yang lain. Yang dimaksudkan dengan “karunia”, katanya, tak lain Muhammad s.a.w. Beliau telah diberikan sebagai anugerah kepada kaum Quraisy di Mekah, tapi mereka tolak—lalu Allah memindahkan anugerah itu ke kaum Anshar di Madinah. (Thabari, Jami’ul Bayan, X:24; lihat juga Razi, At-Tafsirul Kabir, XV:187). Suddi hanya tidak menerangkan bahwa yang berubah dalam diri masyarakat Quraisy, seperti dimaksudkan ayat, adalah sikap mereka kepada Muhammad s.a.w.: dahulu mereka mencintainya, menjulukinya dengan al- amin, “si tepercaya”, tetapi sikap itu berubah begitu beliau memulai dakwah.
Yang khas ialah ini: tafsiran itu tidak mengingat rangkaian ayat. Ayat ini terletak dalam satu gugusan kecil yang berbicara tentang para munafik, lalu menghubungkan * mereka dengan Fir’aun, dan barulah pernyataan tentang pengubahan karunia itu. Kemudian kembali tentang Fir’aun. Tidak ada penyebutan Muhammad s.a.w. di situ, tentu saja, walaupun pemahaman itu jelas berada dalam konteks, Tapi dari situ sesuatu bisa kita tekankan: tidak selalu sebuah ayat berhubungan ketat dengan rangkaiannya— meski tidak pernah terpisah dan menjadi janggal. Perumpamaan yang cocok, barangkali, dengan aria dalam satu opera: ia bagian yang tak lepas dari gubahan, toh bisa dinyanyikan tersendiri. Ayat ini, diambil hanya kalimatnya yang langsung menunjuk isi, termasuk jenis itu. Dan banyak yang seperti ini.
Dan jika ia dipahami secara tersendiri, tafsir ayat juga bisa diberikan seperti dalam kalimat Syaukani: “Adat Allah mengenai para hamba-Nya ialah-tidak adanya pengubahan segala kurnia-Nya yang telah diberikan-Nya kepada mereka, sampai mereka mengubah yang ada dalam diri (atau: pada) mereka: situasi-situasi, moralitas…’’ (Asy-Syaukani, Fathul Qadir, 11:318). Kalimat- kalimat Saiyid Quthub berikut ini bisa lebih memperjelas:
Dari satu sisi, katanya, ayat ini menekankan keadilan Allah dalam muamalah dengan para hamba: Ia tidak merampas karunia yang telah dilimpahkan-Nya kepada mereka, “kecuali setelah mereka mengubah komitmen- komitmen mereka, mengganti jalan-jalan mereka….” Memang, itu berarti Allah menjadikan perubahan kodrati ‘terbina di atas “perubahan aktual dalam hati mereka dan motif-motif mereka…” (Quthub„ Fi zhilalul Quran, 111:1535; lih. juga Abdallah Yousuf Ali, The Glorious Qur’an, 428; Al-Qasimi, Mahasinut Ta’wil, V1II:78 ).