Ibn Taimiyah meninggal di penjara. Pemikir radikal ini punya daya juang tinggi. Ia rujukan dua kelompok sekaligus: modernis dan ‘fundamentalis’. Termasuk Muhammadiyah.
Bagdad dijarah. Ribuan (konon sampai 800-an ribu, tak pandang umur) dibantai. Termasuk Khalifah Al-Mu’tashim dan seluruh keluarga Abbasiyah. Hulaku, yang konon minum dari bejana tengkorak itu, dan tentara Mongolnya membakar isi kota, termasuk perpustakaan terbesar di dunia waktu itu, dan mencampakkan isinya ke Sungai Tigris. Dunia menangis.
Tragedi itu berlangsung 1258 Masehi. Kelak, Imam Ibn Taimiyah akan menyebut peristiwa itu sebagai, dari satu segi, “hunusan pedang terbesar yang disabetkan kaum yang juga mengaku ahli qiblat”– dalam Al-Fatawa, juz XXVIII. Ini karena dalam musibah itu turut berperanan tiga tokoh besar Syi’ah: Nashiruddin At-Thusi, Ibnul ‘Alqami dan Ibn Abil Hadid.
Ibn Taimiyah punya kenangan tersendiri mengenai peristiwa itu karena ia lahir di Harran. Sepuluhan tahun setelah meremuk Bagdad, Mongol menyerbu Harran, dan di antara penduduk yang tereksodus dari Mesopotamia itu termasuk Abdul Halim ibn Abdis Salam, ayahanda Ibn Taimiyah muda. Di pertengahan 1268 itu guru besar fikih Hanbali ini memboyong keluarganya ke Damaskus. Sang ayah wafat pada 1282, dan kedudukannya digantikan oleh Ahmad, nama kecil Ibn Taimiyah – yang waktu itu belum genap 20.
Setelah 17 tahun sebagai profesor, jabatannya tanggal: ia terlibat polemik dengan para ulama mazhab Syafi’i. Untung, di saat yang sama ia, tokoh dengan daya juang yang tinggi itu, ditunjuk untuk mengobarkan jihad melawan tentara Mongol di provinsi lain. Bahkan ikut bertempur – dan sukses. Beberapa tahun kemudian ia ke Mesir, setelah sebelumnya menumpas perlawanan penduduk Jabal Kasrawan di Suriah, pengkultus yang meyakini kemaksuman Sayidina Ali, mengkafirkan sahabat Nabi, tidak sembahyang, tidak puasa, makan babi….
Dialah Taqiuddin Abul Abbas Ahmad ibn Abdi Halim ibn Tamiyah. Lahir 22 Januari 1263. Di Damaskus Ahmad mulai belajar fikih, kalam, filsafat, dan logika, dari sejumlah guru – seperti Zainuddin Ahmad Al-Muqaddasi, Ibn Asakir, Zainab binti Makki, selain ayahnya sendiri. Ia tumbuh sebagai pemikir radikal, yang tidak ada satu pihak yang luput dari kritiknya. Juga Umar ibn Khattab, Ali ibn Abi Thalib (yang dikatakannya punya 300 kesalahan), Ibn Arabi, sampai Imam Ghazali yang dalam karya-karyanya “menyusupkan hadis yang tidak jelas”.
Di Mesir, lagi-lagi dia tidak terbendung memberondong pikiran-pikiran mapan. Dia selalu menekankan, kebenaran bukan terletak pada banyaknya pengikut suatu faham, atau lamanya beredar di masyarakat, melainkan pada dasar argumennya yang benar.
Dibui dan Dibungkam
Akhirnya dia ditangkap. Dan bersama dua saudaranya diinternir selama satu setengah tahun. Dia pun harus menunda keberangkatannya ke Damaskus: dipaksa balik ke Kairo dan, atas alasan politis, ditahan lagi satu setengah tahun. Beberapa hari setelah bebas, dia masih dibungkam delapan bulan di Iskandariah. Lepas, dia kembali ke Kairo, menjadi guru besar di sekolah yang didirikan oleh sultan An-Nasir.
Tujuh tahun mengajar di sana, dia akhirnya diizinkan kembali ke Damaskus – bahkan menempati posnya yang dulu. Tapi pada tahun 1320, lagi-lagi dia terlibat sengketa dengan pihak penguasa sehingga harus mendekam lagi beberapa bulan di penjara.
Ibn Taimiyah tak juga kapok. Kali ini ia mengutuk praktik-praktik pemujaan orang-orang suci dan ziarah kubur, yang kemudian mengantarkannya ke rumah tahanan pada tahun 1326. Di sini ia antara lain menyusun tafsir, dan membuat pamflet tentang berbagai persoalan kontroversial. Ketika karya-karya itu ketahuan musuh-musuhnya, dia pun disingkirkan dari buku-buku, kertas dan tinta. Ahmad begitu terpukul.
Ia jatuh sakit dan 20 hari kemudian, pembaru ini meninggal: Ahad malam atau Senin dinihari , 23 Setember 1238. Damaskus berkabung. Dilaporkan 200.000 orang, termasuk 13.000 wanita, menghadiri acara penguburanya.
Eksponen mazhab Hanbali itu sejatinya bukan oposan. Sikap politiknya lebih mengutamakan stabilitas, seperti tampak pada doktrin yang dipegangnya: “Enam puluh hari pemerintahan yang zalim masih lebih baik daripada sehari dalam kekacauan.” Tapi, sebagaimana Imam Ghazali, dia sangat mengecam ulama-ulama yang terkooptasi kekuasaan. Bedanya dengan kaum tradisi: Ibn Taimiyah tidak mengharuskan kaum Muslim hanya punya satu khalifah – jadi silakan saja ada beberapa negara.
Tapi yang terpenting dari Ibn Tamiyah, di samping integritas keilmuannya, adalah penekanannya pada pegangan yang jelas ke sumber-sumber ajaran yang bersih, yang menjadikan karya-karyanya rujukan penting umat Muslim yang berkecenderungan “fundamentalis”. Dari segi ini tokoh yang berangkat dari latar mazhab Ahmad ibn Hanbal (Hanbali) ini menginspirasi gerakan pembaruan (pemurnian) Muhammad ibn Abdil Wahhab (Wahhabiah) di Jazirah Arab sejak abad ke-18.
Bedanya dari Imam Ahmad: Ibn Taimiyah lebih jelas menjebol dinding-dinding mazhab. Dari dialah, dan bukan Imam Ahmad atau siapa pun, orang bisa menyebut “Islam” tanpa sama sekali mengingat mazhab. Dengan prinsip membersihkan diri dari semua penafsiran di luar ajaran baku, Islam pada Ibn Taimiyah (yang sebenarnya juga kampiun filsafat) menjadi lebih mudah “digerakkan”.
Dari situlah bisa dipahami penilaian Gibb dan Kramers, bahwa “tidak ada gerakan pembaruan dalam Islam yang tidak bisa menemukan titik berangkatnya dari Ibn Taimiyah.” Termasuk Muhammadiyah, di Indonesia, lewat pikiran-pikiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.
Sumber: H.A.R. Gibb dan J.H. Kramers, Shorter Encyclopaedia of Islam (1963); Khwaja Jamil Ahmad, Hundred Greater Muslims (1984); Nurcholish Madjid (editor), Khazanah intelektual Muslim (1984).