Haji Abdul Karim Amrullah mengajari murid-muridnya kemerdekaan berpikir dan mendirikan organisasi. Tetapi dia sendiri tidak mau dibantah, dan cepat marah jika yang telah diputuskannya ada yang menyanggah.
Haji Abdul Malik Karim Amrullah alias Hamka menggambarkan ayahnya Haji Abdul Karim Amrullah atau Haji Rasul sebagai orang yang pantang dibantah dan lekas marah. Ia memang mengajarkan kepada murid-muridnya tentang kemerdekaan menyatakan pikiran. Tidak hanya taklid kepada guru. Ia pun memberikan kelapangan kepada muridnya mendirikan perserikatan. Sebab itu murid-muridnya telah mengenal apa yang dinamakan musyawarah. Tetapi ya itu tadi, dia sendiri tidak mau dibantah, dan cepat marah jika yang telah diputuskannya ada yang menyanggah.
Haji Rasul, menurut Hamka, juga dikenal sebagai seorang yang konsisten dalam memurnikan ajaran Islam dari takhayul, bidah, dan khurafat di ranah Minang. Toh dibandingkan dengan gerakan kaum Padri sebelumnya, Haji Rasul masih tergolong lunak. Ia tidak hanya melakukan tablig atau ceramah sampai ke pelosok-pelosok Minankabau, atau mendidik murid-muridnya di Surau Jembatan Besi dan Sumatera Thawalib, tetapi juga menyebarluaskan pengetahuannya melalui buku-buku yang dikarangnya. Beberapa karya antara lain Qāthi’u Riqāb al-Mulhidin fi ‘Aqa′idil Mufsidin; ‘Umdatul Anām fi ‘Ilmil Kalam; Al-Fawaid al-‘Aliyyah fi Ikhtilafil Ulama fi Hukmi Talafuzh bin Niyyah; Izhhar Assthir al-Mulhidin fi Tasyabbuhim bi al-Muhtadin; dan Qāthi’u Riqāb.
Konsistensi Haji Rasul dalam menegakkan ajaran agama diuji pada zaman pendudukan Jepang. Waktu itu pemerintah pendudukan Jepang mengharuskan orang Indonesia menundukkan kepala setiap pagi ke arah matahari terbit, sebagai bentuk penghormatan kepada Kaisar Jepang , Haji Abdul Karim Amrullah dengan tegas menolak upacara tersebut. Ia menganggap kegiatan tersebut sebagai perbuatan syirik. Oleh karena itu, selain gerak-geriknya diawasi dengan ketat, ia juga menjadi tahanan balatentara Dai Nippon. Pada zaman ini pula ia wafat, 2 Juni 1945. Hal ini berbeda dengan sikap Hamka yang bersedia berkolaborasi dengan Dai Nippon sehingga orang-orang Jepang memanggilnya Hamka San. Tokoh pergerakan nasional yang kala itu bersedia kerja sama dengan Jepang adalah Soekarno, Hatta, dan KH Mas Mansyur yang waktu itu menjabat ketua Pengurus Besar Muhammadiyah.
Abdul Karim Amrullah lahir pada 10 Februari 1879 di Maninjau, Sumatera Barat. Ayahnya, Muhammad Amrullah Tuanku Abdullah Saleh dikenal dengan sebutan ‘Tuan Kisai’ merupakan seorang guru Tarekat Naqsyabandiah yang istiqomah dalam mengikut mazhab Syafi’i di Maninjau. Sang ayah mengarahkan anaknya untuk belajar agama dengan ulama-ulama Minangkabau, selain kepada dirinya. Dia tidak memasukkan ke sekolah umum yang didirikan oleh Pemerintah Belanda seperti Sekolah Raja, tempat gurunya Ahmad Khatib serta rekan-rekannya belajar.
Pada 1894 Abdul Karim berangkat ke Mekah untuk menunaikan ibadah sekaligus memperdalam ilmu-ilmu agama. Dia belajar di Mekah selama lebih kurang tujuh tahun bersama dengan guru-guru, diantaranya Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi dan Syaikh Taher Jalaluddin (kedua gurunya itu berasal dari Bukittinggi, Sumatera Barat), Syaikh Abdul Hamid, Syaikh Usman Serawak, Syaikh Umar Bajened, Syaikh Shalih Bafadal, Syaikh Hamid Jeddah, Syaikh Sa’id Yamani.yang tinggal di Mekah, dan Syaikh Yusuf Nabbani.Pada 1901 ia pulang kampung tapi pada 1904 ia kembali ke Mekah. Kepergian yang kedua kalinya ini, disuruh ayahnya untuk mengantar adiknya belajar di sana. Namun, kesempatan ini dimanfaatkannya untuk mengajar pada halaqah di rumah Syaikh Muhammad Nur al-Khalidi di Samiyah. Setelah dua tahun bermukim, ia kembali ke kampung halamannya.
Selama belajar di Mekah Abdul Karim rupanya berkenalan dengan pemikiran modernisme Islamnya Muhammad Abduh. Maka, tidak heran jika ia kemudian berseberangan faham dengan ayahnya yang tokoh tarekat Naqsabandiah. Tuan Kisai sebagai Kaum Tuo yang berpegang teguh pada Tarekat Naqsyabandiah, sedangkan Inyiak Rasul sendiri sebagai tokoh besar Kaum Mudo yang menolak ikatan taklid dan Tarekat Naqsyabandiah dan lebih cenderung kepada pemikiran pembaharuan Syaikh Muhammad Abduh. Sehingga keduanya diberi gelar yang berbeda dengan suatu upacara penobatan. Abdul Karim Amrullah Inyiak Rasul dinobatkan sebagai seorang ulama muda dengan gelar Syaikh Tuanku Nan Mudo, sedangkan ayahnya, diberi gelar Syaikh Tuanku Nan Tuo.
Pada 1911 Haji Rasul menetap di Padang Panjang dan memimpin pengajian Surau Jembatan Besi, yang kemudian berkembang pesat menjadi lembaga pendidikan modern diberi nama Sumatera Tawalib pada tahun 1918. Di antara murid-muridnya adalah Abdul Hamid Hakim, Rahmah El-Yunusiyah, Adam B.B., dan A.R. Sutan Mansur. Bersama teman-temannya tokoh pembaharuan Abdullah Ahmad, Syaikh Muhammad Djamil Jambek, dia mendirikan Persatuan Guru-Guru Agama Islam. Kemudian untuk melanjutkan program pembaruannya, Haji Abdul Karim Amrullah mengembangkan persyarikatan Muhammadiyah di Minangkabau setelah brtemu dengan KH Ahmad Dahlan di Yogyakarta pada tahun 1925. Dan bersama Abdullah Ahmad, Haji Rasul mendirikan majalah Al-Munir. Majalah ini memuat artikel untuk meningkatkan pengetahuan para pembacanya dan sekaligus sebagai pembawa suara kelompok Kaum Mudo dalam menyuarakan pemurnian ajaran Islam.
Sumber: Hamka, Ayahku, Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amarullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera (1967).