Nabi mengangkat Attab jadi gubernur Mekah. Padahal sesaat sebelumnya ia musuh besar. Bagaimana dengan pemimpin negeri ini?
Tahun 630 Nabi Muhammad menaklukan Mekah, delapan tahun setelah hijrah ke Madinah. Waktu itu, 11 Januari, Nabi memerintahkan seseorang untuk mengumumkan: “Semua orang ke muka Ka’bah, Muhammad ingin berkata kepada saudara-saudara.”
Mereka pun berkumpul dengan perasaan cemas. Selain tentara pendudukan Muslim, di sana berkumpul ribuan orang Mekah bukan-Muslim. Karena waktu sembahyang dzuhur sudah tiba, Nabi memerintahkan muadzinnya, Bilal, seorang Negro, untuk mengumandangkan adzan. Bilal naik ke atas atap Ka’bah.
Nah, di antara musyrikin Mekah terdapat seorang pemimpin besar mereka bernama Attab bin Asid. Ia berbisik-bisik ke telinga pengiringnya: “Syukurlah ayah saya sudah mati. Kalau masih hidup, ia tidak akan membiarkan si kedelai hitam itu meringkik-ringkik di atap rumah Tuhan.”
Nabi memimpin orang-orang Muslim sembahyang, sesudah itu lalu ia membalik kepada penduduk Mekah yang bukan-Muslim, dan bertanya apa yang mereka harapkan darinya. Mereka tampak rikuh dan menundukkan kepala. Speechless, untuk meminta kemurahan hati yang tak sepantasnya bagi mereka. Menurut Dr. Muhammad Hamidullah, Nabi bisa dengan mudah memerintahkan pembunuhan besar-besaran terhadap musuh-musuhnya. Tapi ia tidak berbuat begitu. Ia juga berkuasa untuk menyita harta benda semua penduduk Mekah. Itu pun tidak dilakukannya. Begitu pula untuk untuk menjadikan mereka budak. Lalu apa yang dilakukan Nabi ketika ia melihat orang-orang Mekah yang kemalu-maluan itu? Ia berkata: “Hari ini tak ada beban tanggung-jawab buat kalian. Kalian boleh pergi, kalian bebas.”
Kata Hamidullah, dapat dibayangkan bagaimana reaksi orang-orang bukan-Muslim, yang sesaat sebelumnya tidak tahan mendengar suara adzan — suara yang bukan untuk mengecam penduduk Mekah melainkan untuk memuliakan Tuhan. Yang jelas: Attab, si pemimpin besar itu melompat seketika, menghadap kepada Nabi dan berkata: “Muhammad, saya Attab, musuh besar Islam, saya memberi kesaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.”
Tidak hanya Attab seorang, dan dalam semalam saja seluruh kota Mekah memeluk Islam. Tetapi yang menarik adalah sikap Nabi pada waktu Attab berbicara dengannya. Tanpa ragu-ragu barang sekejap pun ia berkata kepada Attab: “Saya angkat Saudara jadi gubernur Mekah,”
Demikian Nabi mengangkat seseorang yang sesaat sebelumnya merupakan musuh besarnya menjadi gubernur. Dan setelah itu, tidak seorang prajurit Medinah disuruh tinggal untuk menduduki kota yang telah ditaklukannya itu. Nabi dan rombonganya mengundurkan diri dan kembali ke Medinah. “Inilah tentang bagaimana Nabi berbuat terhadap orang-orang asing, apakah asing terhadap agamanya atau asing terhadap politiknya,” kata Dr Hamdullah dalam tulisannya “Toleransi dalam gerak langkah Nabi di Madinah” yang disajikan pada Seminar Internasional tentang Islam,yang diselenggarakan UNESCO tahun 1980 di Paris.
Bagaimana dengan para pemimpin di negeri kita? Mereka agaknya lebih suka mengangkat pejabat, kalau bukan kerabat dan teman dekat, ya pendukung dan relawannya. Tidak terlalu penting, apakah mereka kompeten atau tidak.
Sumber: UNESCO, Islam, Filsafat dan Ilmu (1981)