Ads
Tasawuf

Lalu di Mana Allah?

Muraqabah, yakni kesadaran tentang kehadiran Allah yang selalu mengawasi ketika kita tenggelam dalam kesibukan sehari-hari, kapanpun dan di manapun.

“Anak itu berkata, ‘Lalu di mana Allah’?” Demikian selalu Abdullah ibn Umar berkata kepada sahabat-sahabatnya. Ceritanya: Ketika melintasi sebuah bukit kecil, dalam suatu  perjalanan, Ibn Umar atawa putra Umar ibn Khaththab itu  bertemu dengan seorang anak yang sedang menggembalakan kambing. Ia bertanya apakah anak itu mau menjual seekor anak kambingnya.

“Tidak,” jawab penggembala itu.

“Mengapa?” Abdullah bertanya

“Kambing-kambing ini bukan milikku. Tapi milik tuanku dan aku adalah budaknya,” jawab bocah itu

“Memangnya, kenapa?” kata ibn Umar. “Ayolah, kau ambil uang ini dan berikan anak kambing itu. Katakan kepada tuanmu, seekor serigala telah menerkam dan membawa anak kambing itu. Beres, kan?”

Sejurus anak itu menatap Ibn Umar. Katanya, “Faainallah, lalu di mana Allah?”

Syahdan, seorang syekh punya beberapa murid. Seorang di antaranya mendapat perhatian yang lebih ketimbang murid-murid yang lain. Ketika ditanya  mengapa dia mengistimewakan murid yang satu itu, guru sufi itu menjawab: “Aku akan menunjukkan kepadamu mengapa aku bersikap demikian kepadanya.”

Lalu ia memberikan setiap murid seekor burung. “Sembelihlah burung-burung itu di suatu tempat yang tidak ada yang bakal melihat kalian,” kata sang guru. Mereka pun berangkat, kemudian kembali dengan sembelihan masing-masing. Hanya murid kesayangan Syekh yang membawanya hidup-hidup.

“Mengapa kamu tidak memotongnya?”

“Guru memerintahkan saya menyembelih binatang ini di tempat yang tidak dilihat oleh siapa pun,”  jawab sang murid. “Tapi saya tidak bisa menemukan tempat seperti itu.”

“Inilah sebabnya mengapa aku lebih memberikan perhatian kepadanya,” kata Syekh kepada murid-muridnya yang lain.

Kedua cerita itu merupakan esensi dari muraqabah, yakni kesadaran tentang Allah yang selalu mengawasi ketika kita tenggelam dalam kesibukan sehari-hari. Orang mengatakan, masyarakat Indonesia itu religius. Bahkan tidak kurang dari ulama Mesir mengagumi orang-orang Indonesia taat beragama. Namun di masyarakat yang religius ini ternyata tingkat korupsinya tinggi. Boleh jadi, tingginya keberagamaan itu hanya bersifat artifisial dan ritual belaka. Tetapi tidak sampai masuk ke dalam jantung kesadaran. Allah Yang Maha Melihat pun dianggap tidak sedang mengawasinya.     

Akan tetapi, sangat boleh jadi, seseorang tampak sibuk dengan berbagai urusan duniawi, tetapi hatinya terbebas dari segala belenggu materi dan sepenuhnya terserap dalam diri Allah.  Inilah yang oleh kalangan sufi disebut masygul farig (seorang yang sibuk tapi bebas), lawannya  farig masygul (bebas tapi sibuk) —  seorang yang melakukan kontemplasi tetapi pikirannya gelisah oleh bisikan-bisikan yang jahat dan kotor.

Nah, bagaimana kita menjadi seorang yang sibuk tapi bebas? Caranya ternyata simpel saja: bebaskan diri Anda dari hawa alias nafsu. Jangan salah, bukan mematikan (yang berarti terjebak ekstrem kedua), tapi mengeksploitasinya. Bukan membiarkan diri dikuasai (pada ekstrem yang lain), tetapi menguasai. Sa’di, penyair-sufi,  menggambarkan kondisi mental orang yang “sibuk tetapi bebas”, melalui syairnya:

                        Hatiku bersama-Mu

                        Tetapi mataku entah melihat ke mana

                        Agar tak seorang pun curiga

                        Kalau aku tengah menatap-Mu

Alangkah indahnya!

Sumber: Mir Valiudin, Contemplative Diciplines in Sufism (1980) .

Tentang Penulis

Avatar photo

A.Suryana Sudrajat

Pemimpin Redaksi Panji Masyarakat, pengasuh Pondok Pesantren Al-Ihsan Anyer, Serang, Banten. Ia juga penulis dan editor buku.

Tinggalkan Komentar Anda