Bagaimana memadukan tradisi dan rasio, dan memilih salah satu bentuk pilihan sikap politik terhadap penguasa. Tentang Imam Syafi’i.
Sembilan orang tewas. Tapi bagaimana Syafi’i bisa lolos? Berbekal rekomendasi wali kota Mekah dan hafalan kitab Muwaththa’, Imam Syafi’i, waktu itu 20 tahun, berangkat ke Madinah. Di sana ia menjadi murid Imam Malik, yang sekaligus, anehnya, menopang hidupnya. Malik ibn Anas pula yang membiayai perjalanan murid kesayangan ini ke beberapa tempat. “Dari beliau aku dapat belajar, dan tidak seorang lebih banyak memberi bantuan kepadaku selain beliau,” tuturnya. Imam wafat pada 179 H (796 M), dan Muhammad, nama kecil Syafi’i, tak lagi punya tempat bergantung selain Allah.
Pertolongan Allah itu datang melalui gubernur Yaman, yang sedang berkunjung ke Madinah. Cerita tentang kepandaian pemuda Syafi’i sampai ke telinga Pak Gubernur. Ia diminta menghadap, dan mendapat tawaran kerja di Yaman, di kantor pemda. Di sana nanti Syafi’i juga mengajar, dan sesekali diminta fatwa. Selain mendalami “ilmu firasat”, semacam pengetahuan mengenai sifat dan tabiat seseorang, di Yaman pula bujangan 29 tahun ini ketemu jodoh: Hamidah binti Nafi’, terhitung cucu Utsman ibn Affan.
Tapi tak hanya itu. Syafi’i diduga terlibat dalam intrik kaum Alawi (keturunan Ali ibn Abi Thalib r.a) yang menentang pemerintah Abbasiah. Karena itu, bersama sembilan tertuduh lainnya imam muda ini diringkus, dirantai, dan dibawa ke Khalifah Harun Ar-Rasyid. Itu tahun 187 H (803 M). Satu per satu mereka masuk kamar pemeriksaan, yang sekaligus tempat eksekusi, dengan Khalifah berada di balik tabir. Mereka dihukum mati. Tapi bagaimana Syafi’i bisa lolos?
“Assalamu’alika ya Amiral Mukminin, wabarakatuh,” kata Syafi’i ketika sampai gilirannya.
“Wa’alaikassalam warahmatullahi wabarakatuh,” suara Khalifah bergema dari balik tabir. “Tapi, mengapa salam Saudara menyalahi sunnah, sedangkan kami membalasnya dengan seksama?”
Syafi’i membacakan ayat An-Nur 55 (tentang janji Allah bagi kekhalifahan orang mukmin dan anugerah rasa aman). Lalu, katanya, “Allah selalu menepati janji-Nya. Dia telah menempatkan Paduka menjadi khalifah di bumi-Nya, dan Paduka telah mendatangkan keamanan kepada saya sesudah ketakutan, yaitu setelah Paduka menjawab salam saya. Saya sudah beroleh rahmat Allah melalui kemurahan Baginda.”
“Baiklah. Bisakah Saudara membuktikan tidak bersalah? Tidak ikut berkomplot, untuk menggulingkan pemerintahan yang sah?”
“Saya tidak mungkin menjawab dengan baik selama kedua kaki saya terbelenggu. Karena itu, Amirul Mukminin, please. Biar saya sedikit rileks.”
“Siraj !” Khalifah Rasyid memanggil . “Lepas rantai kaki orang itu.”.
“Terima kasih, Yang Mulia.”
Lalu Syafi’i menyampaikan pleidoinya. “Hai orang-orang beriman. Jika datang orang durhaka kepadamu membawa berita, selidikilah kebenarannya (Q. 49:6). Jauh sekali tuduhan itu, Amirul Mukminin. Dusta orang-orang yang membawa berita kepada Paduka. Sesungguhnya saya selalu menjaga kehormatan Islam, dan menjunjung bangsa. Cukuplah kedua hal itu menjadi bahan pertimbangan Paduka.”
Singkat kata, oleh kecemerlangan dan sikap santun Syafi’i, Rasyid pun puas. Malahan minta nasihat segala. Pulang, Imam diberi 2.000 dinar. Ditolak. Kata Syafi’i, “Hadiah itu akan mengaburkan arti nasihat saya.”

Abu Abdullah Muhammad ibn Idris Asy-Syafi’i adalah orang Quraisy. Ia masih keluarga jauh Nabi s.a.w. Ibunya bersuku Azd, meski sebagian orang mengatakannya seorang Alawiah. Lahir di Gaza, Palestina, 150 H (767 M), ia yatim sejak bayi. Ibunya membawanya ke Mekah, dan hidup miskin. Di sini Muhammad banyak menghabiskan waktu di kalangan Badui, belajar syair-syair kuno. Dalam kumpulan tulisan fikihnya, Al-Umm (Ibu), ia banyak menyisipkan syair-syair Zuhair dan Imru’l Qais. Lalu belajar hadis dan fikih kepada Muslim Az-Zanji (w. 180 H) dan Sufyan ibn Uyainah (w. 198 H), selain mendatangi majelis Imam Malik, yang juga pernah dikunjungi Khalifah Rasyid sendiri.
Setelah periode Yaman, Syafi’i menetap di Bagdad. Berkawan antara lain dengan Muhammad ibn Al-Hasan Asy-Syaibani, murid Abu Hanifah (yang juga pernah hadir di majelis Malik). Meski Syafi’i, seperti Malik maupun Abu Hanifah, juga menolak menjadi hakim, hubungannya dengan istana mulus. Malahan banyak menerima hadiah dari Khalifah, meski hampir tak pernah bersisa — selalu habis dibagi-bagi.
“Saudara Syafi’i. Jika Anda ingin menetap di Mesir,” kata Abdullah ibn Abdil Hakam, “Anda harus menyimpan bahan makanan untuk setahun. Juga ikut acara-acara di gubernuran. Anda bakal menjadi mulia.”
“Abu Muhammad,” jawabnya. “Siapa yang tidak merasa mulia dengan takwa, tak ada lagi kemuliaannya. Anda tahu, saya lahir di Gaza, besar dan dididik di Hijaz. Saya tidak pernah punya makanan untuk hanya satu malam, tapi tidak pernah tidur lapar.”
Abdullah, yang memberinya nasihat itu, kawan lamanya di Madinah, dulu adalah sama-sama murid Imam Malik, dan sekarang seorang ulama berpengaruh di Mesir. Tapi pada 804 M Syafi’i berangkat ke sana — nah, memenuhi undangan gubernur baru, Abbas ibn Musa. Di Kairo ia mengajar fikih enam tahun. Lalu kembali ke Bagdad, yang pernah mengantarkannya ke kedudukan seorang guru yang sukses. Salah satu muridnya di sana adalah Imam Ahmad ibn Hanbal. Pada 814, ia balik lagi ke Mesir, tetapi, karena kerusuhan, terpaksa berbelok ke Mekah. Syafi’i baru bisa kembali ke Mesir pada 815 M: mengajar, menulis, merevisi karya-karyanya, dan meletakkan dasar-dasar mazhab barunya (qaul jadid). Ini sintesis antara fikih Maliki yang ahlul hadis (Syafi’i menulis Khilaf Malik, sebagian besarnya merupakan kritik terhadap mazhab gurunya itu), dan fikih Hanafi yang ahlur ra’y (aliran rasio). Karena itu dia disebut imam kaum moderat.
Hanya, sikap politiknya lebih dekat dengan Malik ketimbang dengan Abu Hanifah. Menurut dia, khilafah harus dibentuk melalui baiat — kecuali dalam keadaan darurat — dan pemangkunya harus golongan Quraisy. Jika satu kelompok, dengan kekuatannya, tampil dan menang, dan masyarakat setuju, kepemimpinannya sah. Tapi setiap pemberontakan (bughat) kepada pemerintah yang sah adalah haram jika menimbulkan bahaya.
Syafi’i wafat pada hari Kamis malam Jumat 29 Rajab 204 H (820 M), ditunggui sejumlah murid. Dia berwasiat agar Gubernur menyucikannya. Pejabat itu paham maksud Imam: di samping memandikannya juga melunasi utang-utangnya.
Sumber: Farouq Abu Zaid, Hukum Islam Antara Tradisional dan Modernis (1986);Khwaja Jamil Ahmad, Hundred Greater Muslims (1984).