Ada yang mengatakan bahwa persoalan terbesar yang dihadapi bangsa Indonesia bukan krisis ekonomi, krisis pangan, krisis energi, atau krisis politik, melainkan yang lebih dalam dari itu semua. Yakni krisis ideologi atau nilai-nilai, dan krisis kepemimpinan. Sebab ketidakjelasan arah pembangunan, carut-marutnya penerapan kebijakan ekonomi, dan tidak jelasnya arah pelembagaan politik, sebenarnya merupakan refleksi dari krisis ideologi. Jika situasi demikian terus berlanjut maka proses menuju negara gagal (failed state) hampir bisa dipastikan sulit dibendung.
Sejumlah sarjana Barat memang telah mengampanyekan bahwa ideologi sudah berakhir (the end of ideology). Diskursus tentang ideologi dianggap telah selesai dan usang. Pandangan ini didasarkan pada pandangan bahwa sains dan teknologi mampu mengambil alih dan menyelesaikan semua persoalan manusia atau masyarakat. Namun, sejatinya pemikiran seperti itu merupakan legitimasi dan rasionalisasi terhadap upaya pemapanan secara sistematis ideologi liberalisme yang sudah menguasai hampir seluruh muka bumi. Dengan menganggap bahwa ideologi sudah berakhir, masyarakat dipaksa untuk menerima hanya satu jenis ideologi, yaitu kapitalisme liberal. Pada awal 1990an, Francis Fukuyama menguatkan argumentasi itu dengan istilahnya “sejarah telah berakhir” (the end of history) dan Kenichi Ohmae menyebut dengan “berakhirnya negara bangsa” (the end of nation state).
Imam Al-Mawardi (Adab ad-Dunya wad-Din) menyebutkan bahwa suatu negara bisa mewujudkan kesejahteraan umum jika di situ ada pemimpin yang kuat dan berwibawa (as-sulthan al-qahir). Diyakini kepemimpinan yang kuat akan membangun landasan yang kokoh dan titik-titik pertahanan yang kuat untuk pembangunan bangsa dalam jangka pendek dan jangka panjang. Dengan landasan dan titik pertahanan itulah pembangunan bisa berjalan maju dan akumulatif, sementara persoalan persoalan darurat-jangka pendek bisa diselesaikan secara cepat dan tepat. Itu yang petama.
Kedua, kepemimpinan yang kuat akan mampu menyatukan seluruh potensi bangsa dan pluralitas yang melekat di dalamnya. Kepemimpinan demikian selalu berdiri di tengah, melindungi semua golongan dan merangkum semua kekuatan. Ketiga, kepemimpinan yang kuat memiliki orientasi pembangunan yang jelas dan mampu menentukan skala prioritas. Tanpa orientasi yang jelas, pembangunan bukan saja akan tumpang tindih, tetapi juga saling mengunci. Sementara tanpa skala prioritas, pembangunan hanya akan menghasilkan kegagalan karena tidak ada kejelasan mana yang harus segera dikerjakan dan mana yang bisa dicapai secara bertahap karena menjadi turunan atau melengkapi kebijakan yang lain.
Keempat, kepemimpinan yang kuat bisa membangkitkan etos kerja masyarakat, semangat pengabdian, solidaritas, martabat dan semangat kuat di saat krisis, serta memberi harapan akan kejayaan dalam waktu yang tidak lama. Ketika para pemimpin terlihat optimis, mau bekerja keras, dan punya integritas, saya yakin masyarakat juga akan memiliki jiwa yang sama untuk kemajuan bangsanya Harus diakui, sampai sekarang kita belum mempunyai pemimpin yang kuat dan berani. Pemimpin pembaru, negarawan, dan pemimpin spiritualitas sekaligus.
Pertanyaannya, apakah mesin elektoral bisa memunculkan pemimpin, baik di tingkat nasional maupun lokal, yang mampu mengatasi berbagai persoalan sebagaimana disebutkan di atas? Pertanyaan ini layak diajukan karena sampai sekarang kita masih menghadapi krisis kepemimpinan. Melalui pemilihan umum secara reguler, sesungguhnya bisa diharapkan terjadi sirkulasi elite. Dan dari perputaran elite itu akan muncul kepemimpinan yang memenuhi kriteria moral sebagaimana telah disebutkan. Pertanyaan berikutnya adalah, siapakah sekelompok kecil orang yang telah dipilih melalui mekanisme pemilihan umum itu? Benarkah mereka sungguh-sungguh dipilih berkat kemampuannya memobilisasi rakyat, bukan dipilih berkat kemampuan finansialnya?
Di sini kemudian orang membedakan antara kaum elite dan kaum oligarki. Jika kaum elite tidak memiliki agenda bersama, atau secara individul mereka memiliki agenda masing-masing partainya, maka kaum oligrki relatif memiliki agenda yang sama walupun partai mereka berbeda. Agenda yang mereka bawa adalah bagaimana mempertahankan kekayaan dan keinginan untuk menambah kekayaan. Jadi, yang disimbolisasi kaum oligarki adalah bukan kekuatan rakyat tetapi kekayaan mereka dalam rangka menambah kekayaan. Sebuah pertanyaan dapat diajukan, apakah pemilu-pemilu yang diselenggarakan pasca Orde Baru merupakan sarana sirkulasi elite atau hanya wahana perputaran kaum oligarkis?
Menurunnya kepercayaan rakyat kepada partai politik, sangat boleh jadi karena pergantian elite penguasa dari pemilu ke pemilu tidak membawa dampak perubahan yang berarti dalam kehidupan mereka, alias sama saja nasibnya siapa pun yang berkuasa. Bahkan dalam konteks demokrasi lokal, alih-alih terjadi sirkulasi elite, pemilihan kepala daerah dan atau anggota DPRD hanya melanggengkan kekuasaan dinasti politik